Minggu, 26 Agustus 2007

(Esai): BOHONG, KALAU KEBENARAN RELATIF!!!

Oleh: Nurani Soyomukti



"Bahkan samudera darahpun tak dapat menenggelamkan kebenaran"
(Maxim Gorky, Sastrawan Rusia).


Percayakah kamu bahwa kebenaran itu sifatnya relatif?

Bermula dari pengalaman yang pernah kulakukan saat terjun ke basis rakyat miskin. Pada saat itu kujumpai kesulitan pada saat mengajak orang-orang miskin berorganisasi, membangun gerakan, bahkan untuk melakukan aksi demonstrasi. Di antara orang-orang miskin yang kebanyakan

pernyataan yang saya temui pada saat terjun"Kebenaran itu tidak ada, tergantung pada tiap-tiap orang", begitu kata seorang kawanku. Aku tak habis pikir, bagaimana pada saat aku masih percaya pada prinsip hidup yang kuanggap sebagai kebenaran, juga pada saat masih banyak orang yang percaya bahwa kebenaran itu ada, dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah--bahwa kebenaran itu relatif.

Aku tak tahu dari mana ia menghubungkan antara suatu hal dengan hal lainnya. Bukankah segala sesuatu itu dapat diukur, dinilai, dan akhirnya diketahui mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih maju lagi untuk mencari pemahaman tentang mana yang bermanfaat dan mana yang tidak, mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan (tentunya bagi banyak pihak, bukan bagi segelintir orang).

"Tidak ada kebenaran, semuanya palsu! TAEK lah!", teriak seorang kawan saya yang frustasi karena keinginannya gagal dan ia merasa marah karena apa yang sangat diinginkannya tak dapat terpenuhi. Dan aku bisa memaklumi, ketidakpercayaan orang pada kebenaran memang lahir dari pengalaman psikologis bahwa ia memang tidak pernah menemui fakta bahwa apa yang diinginkannya terpenuhi dalam realitas. KEBENARAN ITU PAHIT, punya makna praktis bahwa MENGETAHUI SECARA BENAR APA YANG KITA INGINKAN JARANG YANG TERPENUHI DALAM REALITAS lebih menyakitkan lagi, lebih pahit lagi.

Tapi bukan berarti bahwa kebenaran tidak ada. Tidak akan ada kebenaran jika ketika 'omongan', penilaian, ungkapan, evaluasi, pengukuran tidak didasarkan pada fakta atau realitas yang secara material ada. Orang bisa bisa berbeda (relatif) dalam menilai jarak antara Bali dan Jakarta. Si A akan mengatakan: "Jauh, dong!"; Si B dapat mengatakan: "Ah, nggak jauh amat. Satu kedipan aja sampai. Coba, you waktu berangkat naik mobil tidur, terus kamu sudah bangun pagi, kamu sudah sampai Jakarta". Keduanya mempunyai pengalaman yang berbeda.

Mungkin Si A adalah orang miskin, sehingga ia terbiasa naik kereta ekonomi. Dari Bali ia harus menyeberang dulu ke Banyuwangi, lalu harus berganti kereta di Surabaya. Sehingga perjalanan yang ditempuh untuk bepergian dari Bali ke Jakarta terasa lambat, lama, dan terasa jauh. Sementara si B adalah orang kaya yang naik mobil pribadi, sopir pribadi, sehingga ia bisa enak tidur di perjalanan karena mobil bagus dan berharga mahal lebih terasa nyaman; maka, jarak yang jauhpun dapat ditempuh secara cepat. (Dapat kita bayangkan jika, yang menempuh jarak antara Bali ke Jakarta dengan naik pesawat pribadi atau Helikopter, seperti konglomerat kaya, Presiden, atau Menteri... tentu jaraknya terasa dekat, waktu tempuh cepat).

Hal lain yang harus dicatat bahwa, masyarakat kita selalu tidak fokus dalam menceritakan segala sesuatu, bahkan menjawab pertanyaan. Sehingga, penilaian terhadap suatu hal biasanya berbelit-belit, abstrak, dan tidak konkrit pada suatu gejala yang ingin diketahui. Ketika ditanya: "Seberapa jauh sih dari Bali ke Jakarta?", ia seringkali gak menjawab sesuai pertanyaan. Kebanyakan orang akan menjawab pertanyaan itu: "Paling sehari, kamu berangkat jam 4 sore, sampai sana siang keesokan harinya".

Jarakpun ditafsirkan sesuai dengan waktu. Pertanyaan soal jarak dijawab dengan pertanyaan soal waktu. Pada hal, kalau dalam masyarakat telah terbiasa menanyakan dan menjawab sesuatu secara pas dan konkrit, antara siapa saja akan sama. Kalau jarak antara Yogyakarta-Jakarta ditanyakan kepada siapapun, pasti kalau dijawab berdasarkan jarak. Semua orang akan menjawab sama kalau mereka sama-sama tahu jarak antara kedua kota. Tetapi kalau kedua orang tidak tahu, biasanya akan dialihkan dengan jawaban lain, ada yang menggunakan patokan waktu, dan ada yang menggunakan pendekatan dari kendaraan apa yang dipakai.

Dari contoh yang saya ambil itu, nampak jelas bahwa untuk ukuran penilaian orang terhadap suatu fakta yang konkrit, misalnya JARAK (yang secara material adalah panjangnya bentangan antara dua tempat atau benda yang diukur), bisa berbeda-beda tetapi KEBENARAN SEJATI tentang JARAK itu sendiri SECARA OBJEKTIF (ada, material, dan bisa diukur) tetaplah tidak relatif.

Kebenaran itu objektif, ada, riil, dapat diukur dengan cara yang benar, dan bukannya relatif.

Perasaan bahwa segala sesuatu itu relatif lahir dari cara berpikir gampangan yang lebih mementingkan kehendak subjektif dan individualistik, sebuah FALLACY, sesat filsafat yang berkembang dalam anggapan orang yang biasanya malas berpikir dan bekerja keras dalam menyelesaikan masalah.

Cara berpikir relatifistik ini benar-benar membodohi dan (kalau mau dirunut) selalu sesuai dengan kepentingan segelintir orang yang ingin hidup enaknya sendiri, karena hidupnya telah enak yang menyebabkan ia malas berpikir dan juga harus menutup-nutupi realitas kebenaran. Mereka, kalau bukan orang yang malas, juga orang yang tak jujur, dan menyembunyikan agenda tertentu untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri dan menginjak-injak orang lain.

Bayangkan, jika di jaman yang konon sudah modern ini, masih ada orang yang beranggapan bahwa kemiskinan rakyat Indonesia disebabkan bukan oleh suatu hal yang bersifat material atau konkrit, misalnya karena adanya sejumlah perusahaan-perusahaan negara yang dijual kepada asing, berapa kekayaan alam yang dirampas penjajah, berapa jumlah subsidi rakyat yang dicabut, berapa uang yang tidak dialokasikan untuk pendidikan dan berapa uang yang banyak digunakan untuk teknologi militer serta uang yang dikorup, dan ukuran-ukuran atau tindakan kuantitatif (quantitative meassures) yang nyata.

Nyata, tindakan dan kebijakan nyata, bukan? Yang karenanya dapat dihitung, dipahami, dan dimengerti.

Tapi apa yang terjadi pada saat masyarakat kita menderita CACAT PENGETAHUAN (dan memang sengaja dibodohkan--terbukti akses terhadap pendidikan sekolah dan pendidikan demokrasi diingkari)?

Banyak orang yang menganggap bahwa bencana dan penderitaan (kemiskinan dan dan penindasan) bukan karena sebab-sebab konkrit, tetapi karena sebab lain, takdir Tuhan dan sebab-sebab lainnya yang berada diluar dialektika material.***

Sabtu, 25 Agustus 2007

(Catatanku): "KEBAHAGIAAN"

(1)
KEBAHAGIAAN adalah kesedihan yang terbuka kedoknya. Hari ini aku bangun pagi, dan kusadari bahwa waktu itu tetap berputar-putar di kepalaku seperti legenda. Hidupku sebagai seorang "petualang"--begitu mereka selalu bilang--hanya akan menunjukkan bahwa hari ini diriku bukan hanya semakin giat dalam melawan stagnasi. Sebagai seorang yang (menderita penyakit jiwa) obsesif-kompulsif, menulis adalah bagian dari kehidupanku, bahkan pagi ini saat terbangun dari tidur dan seakan kehidupan baru dimulai.

(2)
"Aku tak terbiasa bangun pagi dengan cara tidak mendapati dirimu di sisiku", dulu aku terbiasa berkirim sms seperti itu pada kekasihku. Tetapi jarak yang mirip lara telah membiasakan diriku untuk mewarnai kerinduan dengan kekasihku, Ratih. Jarak telah mengukur kerinduan dengan cara-cara yang berbeda. Tapi pagi ini, kehidupanku seperti baru--meski kubuka semua surat kabar dan tidak ada satupun tulisanku yang dimuat, tidak seperti seminggu sebelumnya. Juga tidak ada puisi,cerpen, atau esai kawan-kawanku. Tidak ada pula puisi kekasihku, karena ia hanya melihat bahwa puisi adalah sejenis kecentilan jika kamu memberikannya pada setiap orang.

(3)
Oh, kukira aku perlu mendefinisikan kesedihan. "Hidupmu secara totalitas adalah kesedihan", kata-kata itu berbisik di telingaku, "karena kamu adalah penulis, pengarang, pengeluh, dan penggugat".
Ah, sejak lama memang kusadari bahwa aku adalah orang sentimentil dan aku tidak menyesalinya karena yang telah terjadi tak perlu disesali, tak mungkin aku akan kembali...
Jadi hubungan antara kesedihan dan sentimentalitas seakan begitu dekat, mungkin tak terasakan atau tersadari.
Bukan. "Apa hanya karena aku memiliki banyak penjelasan dan merengkuh dunia dalam otakku lantas berarti aku merasa sedih karena dunia ini memang telah dikutuk menjadi kesedihan karena sedikit orang yang serakah telah mencabik-cabik kemanusiaan dengan memancangkan rasa kemunafikan, ketakutan, kepengecutan? Apakah dengan mengetahui bahwa hidup begitu menyedihkan lantas aku, sebuah agregat kecil dan sombong ini, harus kau kutuk menjadi orang yang sedih?", tanyaku di suatu malam.
Aku tidak mendapatkan jawaban, karena hanya kekasihku yang mengusap keningku dan membelai rambutku, dan mengatakan: "Dah lah Mas, cepetan bobok. Besok hari minggu, kita berjalan bersama anak-anak, jangan sampai telat".

(3)
Dan kamu salah. Ketika jam 06.00 pagi, setiap Hari Minggu, aku melihat kekasihku begitu berbahagia berkumpul bersama anak-anak kecil yang ceria, begitu telatennya mengajari mereka mengenal dunia melalui lagu-lagu dan permainan...aku sangat BAHAGIA. Hidupku adalah KEBAHAGIAAN, karena aku melihat Ratih kekasihku tersenyum, anak-anak juga begitu manja ingin mencubitnya, anak-anak membutuhkan perhatian bukan dengan cara memaksa dan berwajah murung... tapi dengan wajah tersenyum dan berbahagia.

(4)
Dan akhirnya hari ini aku mendapatkan kesimpulan: BAGAIMANAPUN, SENYUM ADALAH LAMBANG KEBAHAGIAAN YANG PALING VALID. KARENA KEBAHAGIAAN YANG DIEKSPRESIKAN DENAN CARA MENANGIS HANYA SEDIKIT, dan hanya terjadi dalam momen-momen tertentu: KEBAHAGIAAN YANG MENGHARUKAN.

Dan pada bentangan jarak yang menyiksa ini, aku masih berharap dia kirim sms: "Sayang, apakah agendamu hari ini? Jakarta kota yang memuakkan, kamu sendiri bilang seperti itu. Jadi, CEPAT PULANG!"***

(Esai): "KENIKMATAN KREATIVITAS"

Oleh: NAWAL EL SAADAW

Kekuatan kreativitas terkait dengan kenikmatan besar yang mengiringi proses kreativitas itu sendiri dengan tidak mengindahkan dampak dan hasilnya. Ia seperti daya naluri kehidupan. Bahkan ia adalah kekuatan naluri kehidupan itu sendiri. Sesungguhnya kekuatan itu adalah kesadaran tertinggi dalam diri manusia yang diabaikan dan dihukumi dosa, serta dinamakan “ketidak-sadaran”.

Kenikmatan ini dirasakan anak-anak dalam fase awal pertumbuhannya, ketika mereka bermain. Mereka tersentak oleh kenikmatan besar yang meliputi fisik, nalar dan jiwa dalam satu kesatuan entitas universal yang tidak mungkin dipisahkan. Kenikmatan itu melebihi kenikmatan seksual, kenikmatan makan dan kenikmatan tidur. Laki-laki dan perempuan yang kreatif pasti merasakan kenikmatan ini. Sebuah kenikmatan yang membuat siapa saja--laki-laki maupun perempuan--melupakan tidur dan seks demi menghabiskan waktu untuk tenggelam dalam menghasilkan tulisan, lukisan atau karya kreatif lainnya.

Kekuatan besar yang berkuasa ini bisa mengalahkan kenikmatan-kenikmatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi lainnya. Kenikmatan ini bahkan bisa mengubah kekalahan menjadi kemenangan, mengubah keputusasaan menjadi harapan, dan mengubah kelemahan menjadi kekuatan.

Kenikmatan ini menyertai proses karya kreatif selama karya itu berlangsung dibuat, dan hilang dengan berakhirnya pembuatan itu. Kenikmatan inilah yang mendorong laki-laki dan perempuan kreatif selalu memulai dan berkarya menciptakan hal yang baru, dan tidak akan berhenti melakukan kreativitas hingga mereka mati. Masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang melebur dalam satu masa, yaitu masa kreativitas. Satu masa yang akan selalu hadir sekarang dan selamanya.

Kalimat “Aku sedang menulis sebuah cerita” akan diucapkan oleh seorang sastrawati dengan sensasi kenikmatan yang lebih besar ketimbang mengatakan “Aku telah menulis sebuah cerita”. Karena kata kerja yang berlaku sekarang adalah suatu kenikmatan dan kreativitas. Sedangkan kata kerja lampau, tidak mengandung arti kreativitas lagi.

Karena alasan inilah, tiap karya kreatif selalu tampak tidak sempurna dan tidak akan pernah selesai. Sesungguhnya, karya kreatif tiada lain adalah isyarat kepada adanya karya kreatif lain yang mengandung unsur kreativitas lebih tinggi.

Jika kita memusatkan perhatian penuh dalam proses pembuatan karya kreatif itu sendiri di sini dan saat ini, maka hal itu akan tampak sebagai sebuah inspirasi besar. Tanpa kita sadari, hal itu menjadi petualangan yang mengasyikkan dalam ketidaktahuan. Bukan produk dari karya-karya, buku-buku, atau lukisan-lukisan yang tampak tidak sempurna dan mandul.
Sesungguhnya kenikmatan kreativitas itu seperti kenikmatan hidup yang sedang mencapai klimaksnya, di sini dan sekarang.

Florida, 13 September 1999

(Cerpen): "BUMI MANUSIA"

Oleh: Nurani Soyomukti


Aku bahagia, Ratih(ku)!
Engkau juga bahagia, bukan?
Akhirnya aku datang, dari kembaraku yang panjang, dan langsung menikahimu. Aku Kamajayamu sekarang.
Akhirnya hubungan kita menjadi resmi—tidak seperti waktu pertemuan kita dulu. Kini kita benar-benar sudah menikah. Kau bisa namakan ini sebagai sebuah kesuksesan yang besar. Kita telah diikat, Ratih. Seorang pengembara selalu pergi dan pasti akan kembali. Perkawinan ini bukanlah persundalan yang hipokrit; kau adalah istriku, kekasihku, bukan sundalku. Karena kita adalah manusia progresif yang mendorong komitmen, dan kita akan meretas tujuan dan cita-cita yang sama: Melahirkan anak-anak peradaban di atas bumi!

Engkau pasti ingat betapa sulitnya mewujudkan kesuksesan ini. Betapa sibuk kita mengisi waktu, aku selalu datang dari kembaraku untuk menemuimu, membawamu ke sebuah tempat yang tidak bisa mereka lihat. Lalu mereka curiga bahwa kita melakukan ‘kumpul kebo’. Dan kita hanya ngikik mendengarnya: Apakah dulu ketika Adam dan Hawa berjalan-jalan ke tempat yang jauh sambil memadu cinta, apakah itu juga kumpul kebo? (Oya, kalau mereka manusia pertama—siapakah yang menikahkan mereka? Dan siapakah yang melarang mereka untuk memadu cinta, bersetubuh, dan menuntaskan gundah gulana?).

Aku bukan ‘kebo’. Engkau juga bukan. Kita hanya dua pasang manusia yang dimabuk cinta. Kita adalah manusia beradab, terutama karena kita punya nafsu. Cinta kita adalah puisi. Puisi yang indah!

Sedangkan ‘kumpul kebo’ adalah frase yang kedengarannya kotor dan jorok, tak layak bagi keindahan puisiku, puisi kita.

Kucubit kamu, Ratih(ku)! Percayalah bahwa ini bukan mimpi. Ya, kita telah menikah. Kita telah berhasil, resmi. Sah. Dan puisi kita akan semakin indah, tak ada kata ‘kumpul kebo’ di baris manapun. Dan tak akan kutulis kata-kata kotor lainnya, bait-bait pertama maupun terakhir dari hubungan kita. Ini soal diksi dalam puisi, Sayang!

Artinya kita telah mengikat ikrar, diiringi kata-kata pak penghulu dalam upacara yang sakral itu: “Tubuh sepasang pengantin ini sebentar lagi akan menjadi puisi. Jadi mulai sekarang biarkanlah mereka berdua jadi keindahan dan kata-kata!”

Kau ingat awal pemberangkatanku menuju negeri cinta ini dulu? Aku melaut tanpa nahkoda… sampan kecil yang mengikuti elang laut menjauhi kabut… dan aku menyusuri selat-selat kenangan, meminta-minta susu pada perawan-perawan penunggu pelabuhan sepi di senja hari… Aku pernah bercerita bukan? Lalu kau tahu bahwa kepergianku bukan untuk mencari suatu hal yang belum pasti. Karena puisi adalah dunia tersendiri.

Aku menjumpaimu di sebuah pulau yang penduduknya sangat ramah dan mencintai setiap musim. Setiap kali aku datang untuk bercinta denganmu, dan aku selalu mampir setiap waktu. Kini aku akan selalu mampir untuk istriku.Lalu kau pasti akan bahagia bukan? Tentu, sayang. Aku juga. Saking bahagianya di awal November ini, meninggalkan hari-hari gugur bagai musim hujan, hidup kita mulai menjadi puisi; Masa depan yang dulu kita anggap sangat sulit seakan menjelma menjadi rangkaian kata yang penuh makna. Aneh, tapi ini nyata, sayang. Apakah menurutmu ini adalah kekuatan Cinta yang disakralkan oleh pernikahan?

*
“Mungkin cincin kawin inilah yang menyebabkan tubuhku menjadi puisi, Mas!”
Ratih mendekatkan jari-jarinya ke arah tangan suaminya, Broni. Malam itu mereka berdua sedang menikmati bulan madu.

“Entahlah. Tak usah dibahas sekarang, sayang. Pokoknya aku bahagia malam ini. Kamu juga, bukan?”

Dilingkarkan tangan kirinya pada pundak kekasihnya, sedang tangan kanannya menggenggam jemari yang dilingkari cincin kawin darinya beberapa hari yang lalu. Mereka sedang duduk mesra di sebuah kursi kayu, di pinggir laut, di depan beranda tempat penginapan yang disewanya, dekat ombak. Ya, di depannya ombak pantai memang bisa datang dan pergi, seakan menjadi saksi. Penginapan itu terletak di sebuah pulau yang jauh dari perkotaan, yang memiliki beranda menghadap pantai. Saat mereka berdua diam, sesekali mata mereka juga menatap pasir yang dirayapi buih ombak. Dan seperti ada buih sajak.

“Tapi aneh saja, Mas. Seakan yang ada di otak dan hatiku hanyalah kesenangan, segalanya adalah keindahan. Apakah menurutmu ini akan berakhir hingga kita pulang dari bulan madu ini, atau berlangsung dalam batas waktu tertentu?”

“Kita tidak menganggap bahwa Cinta kita adalah masalah keseimbangan hormonal. Dari dulu kita juga sudah sering bercinta, sebelum menikah, keindahan juga masih bersarang di kepala dan dada kita. Jadi kenapa kita harus mengharap tubuh kita akan menjadi sesuatu yang didustai kata-kata… Kita telah menikah, Ratihku. Hubungan kita sudah resmi. Kukira ini berkaitan dengan semangat. Kita juga tak akan disiksa oleh tubuh sampai kapanpun. Tubuh kita telah jadi puisi. Aku juga janji—dan ini adalah hasil pengembaraanku—bahwa kita akan dikendalikan oleh kata-kata. Selamanya.”

“Apakah itulah sebabnya Mas mengajakku untuk segera menikah? Agar kita menjadi puisi… dengan atau tanpa pernikahan pun kukira Mas tetap akan menjadi pengarang dan penulis yang sukses. Dengan atau tanpa menjadi suamiku, kamu akan tetap mampu merubah dunia menjadi puisi. Dan aku tetap akan menjadi kekasihmu. Mas sendiri dulu juga berjanji.”

“Entahlah, mungkin kamu benar. Tapi kukatakan padamu, sayang: kata-kataku, puisi kita, telah disakralkan dengan cara ini. Kata-kata adalah ibu kebudayaan dan peradaban. Ingat! Kita hidup di atas bumi. Kalau pernikahan adalah simbol budaya bumi, lebih baik kita menganggapnya sebagai sesuatu yang akan memberi kata-kata indah lebih banyak lagi. Dan dengan pernikahan ini aku berharap akan jadi penulis yang paling produktif dan kaya kata-kata…”

Mereka berdua diam. Ratih masih berusaha mengerti makna perkataan suaminya. Lalu beberapa detik kemudian ia telah berhasil. Setelahnya, bersamaan dengan datangnya buih ombak yang bergerak menuju ke kursi mereka (tapi tidak sampai), ia seperti terpesona oleh udara malam itu, dengan suaminya yang masing memeluknya. Penjelasan suaminya mempercepat keindahan pemandangan malam. Ia seperti aman dan tenang dalam hatinya.Broni sendiri kemudian mendekapnya erat. Lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Ratih. Dan berbisik:
“Aku berjanji: Seluruh hidupmu akan jadi puisi. Aku janji, Sayang,” sambil diciumnya telinga istrinya. Ratih bergetar. Malam seakan rontok di dadanya. Nafasnya naik turun, melenguh panjang.

“… Aku memang ingin jadi puisi, Mas. Sekarang juga, aku tak tahan lagi…” kata Ratih manja.
“Ya, sekarang. Dan selamanya… Makanya aku tak pernah menikahi orang yang salah. Kamu…, puisiku.”

Kata-kata itu membuat tubuh Ratih bergetar lebih lama seakan dia tak tahu apa yang terjadi. Hanya keinginan. Keinginan untuk meningkatkan kenyamanan dan mengenakkan jiwanya, bahkan ia sadar bahwa tubuhnya merasa butuh kehangatan. Broni mempererat pelukannya. Tapi Ratih tak mampu berkata. Ia diam… lalu ia menangis. Mungkin tangis kebahagiaan. Broni mengusap air mata itu dengan sentuhan, di pipi yang kemerahan.

Suasana hening, penuh romantika di dada. Kebahagiaan sangat stabil dalam puisi malam. Dalam puisi ombak. Puisi bintang. Puisi angin mendesis, yang berbisik di telinga Ratih: “Tidak boleh lagi kamu diciumnya lagi. Ia adalah milikmu, kalian harus saling berciuman. Sebab cinta di atas bumi adalah amanat moyangmu yang tiupannya dititipkan padaku sejak berabad-abad.”Lalu Broni melepas pelukan itu secara lembut. Tapi tangan mereka yang satunya masih saling menggenggam. Lalu dibelainya rambut kekasihnya, dan berkata sambil menatap mata indahnya: “Jadi katakana padaku sekarang, Sayang. Apakah kamu masih takut kalau tubuhmu selamanya jadi puisi?”Ratih menggelengkan kepala dan matanya masih menatap wajah suaminya. Perlahan Broni mendekatkan kepala perempuan itu padanya. Dikecup keningnya. (Ombak pecah di depan mereka. Lalu buih merayap ke arah daratan, tidak sampai lagi ke arah kaki-kaki kursi tempat mereka duduk berpagutan).

Malam semakin dingin dan mereka memutuskan untuk masuk ke penginapan, Penginapan yang seluruh bahannya telah berubah menjadi puisi ketika mereka masuk. Mereka memutuskan dalam hati masing-masing untuk bercumbu, untuk batas waktu yang tidak direncanakan.

Maka mulai saat itulah malam menjadi luruh, tapi sangat sakral. Semuanya sedang berubah menjadi puisi, ada yang sulit ada yang mudah. Lihatlah, kata-kata berpendaran dari langit, juga menyembul dari permukaan laut, ada yang melompat-lompat di sekitar gulungan ombak. Bergerak turun dari angkasa, bahan-bahan impian peradaban masa depan, menyebar ke bawah bagai hujan jatuh ke penginapan mereka, di atas kamar mereka. Berusaha masuk celah-celah kecil atau pori-pori udara.

Yang datang dari bulan membentuk kumpulan zat tipis bercahaya seperti selendang bidadari, mungkin tampak mirip pelangi kalau terjadi di siang hari. Jutaan kata juga datang dari arah laut membentuk barisan, dan gerakan mereka menjadi cepat ketika gelombang pecah. Ada yang melata mengikuti buih ombak.

(Lihatlah, kalau matamu mampu melakukannya, pemandangan malam itu mungkin adalah yang paling indah dari keindahan sepanjang waktu di bumi manusia … lebih indah dari lampu-lampu kota besar yang memendar jika dilihat dari gedung yang paling tinggi. Trilyunan kata barangkali, atau bahkan tak pernah dapat dihitung, memasuki kamar sepasang kekasih yang sedang bercinta di bulan madu. Di atas atap kamar mereka, kata-kata berhamburan seperti laron merubungi lampu neon).

Pusaran kata-kata itu berusaha menerobos masuk ke bawah melalui celah-celah genteng, bersama udara yang diberi ruang oleh susunan atap rumah penginapan. Tapi sebagian besar kata-kata juga berebut memasuki ventilasi jendela kamar mereka yang menghadap ke arah laut… Limpahan kata-kata itu berpendaran sebelum masuk, bingung mencari pasangan masing-masing. Yang ingin disusun adalah suatu makna, makna keindahan dalam percintaan.Ada sedikit kata-kata yang tidak menemukan pasangannya, mereka adalah yang bernasib sial, dan dipaksa angin untuk pergi mengembara ke arah lain, menjauhi kamar dan penginapan itu. Meninggalkan pulau itu, mungkin menuju rumah-rumah pelacuran di kota-kota, mungkin juga ke hutan belantara yang belum pernah dijamah manusia.

Tapi juga ada banyak kata yang terpaksa tidak bisa masuk kamar, tidak bisa menghinggapi tubuh dan jiwa pasangan yang sedang bercinta, tidak bisa menjangkiti hati dan pikiran mereka berdua. Mereka yang bernasib seperti itu hanya berpendaran, berputar-putar di luar jendela dan di atas genteng penginapan itu. Mungkin hanya menunggu dan mengintip.

Sementara dua tubuh yang menjadi puisi akan segera menyatu di atas ranjang, di dalam kamar itu. Menunaikan amanat moyangnya. Mungkin secara tidak sadar juga mengikuti petuah pak penghulu dalam upacara sakral beberapa hari sebelumnya. Dan malam benar-benar menjadi puisi. Udara mulai berubah dan itu menjadi tanda bahwa makna penuh percintaan akan tercapai. Didahului menghilangnya batas waktu dalam kesadaran, lalu keberadaan seluruh zat yang mulai lindap, kaya kata-kata, tapi tak terucap kecuali lewat rintihan dan (kadang) lenguhan nafas. Dua orang kekasih tidak tahu saat itu berada di mana, juga buta akan hamparan waktu. Indra kehidupan hanya mampu mengeja kata: SATU! SATU! SATU! Tidak kurang tidak lebih. Tidak besar tidak kecil. tidak jauh tapi dekat, dekat dengan keberadaan yang melayang. Tidak hidup tidak mati.Dalam momen yang singkat dan cepat, tapi bisa diulang lagi berkali-kali, bahkan ada dari trilyunan kata-kata itu yang memberi makna SATU pada otak dan jiwa mereka yang sempat tertangkap oleh kesadaran: yaitu, KEBODOHAN.

Mungkin itu adalah puncaknya malam itu. Tapi mereka selalu berusaha menegaskan dalam hati, dalam kesadaran yang tersisa dari nikmatnya kebodohan, bahwa tubuh mereka hanyalah puisi. Mereka juga masih bisa membatin bahwa waktu, jarak, dan ruang akan segera dimakan kepandaian. Apalagi mereka telah mempersiapkannya. Kini mereka merasa seperti budak dari kata-kata yang menjangkiti mereka malam itu sampai mereka telah melewati satu puncak yang pertama dari bulan madu di pulau itu… Mereka menuju ke kesadaran lagi. Tapi mereka masih merasa sebagai puisi.Mereka masih telanjang. Dalam berpelukan. Manja tanpa beban apa-apa!

**
Dan semua tahu ada sesuatu yang terulang. Yang melingkar mirip legenda atau misteri itu sendiri.

Lalu bumi manusia telah menyerahkan nasibnya pada musim yang memberi bunga pada kisah yang ada. Matahari mencuci tubuh bumi di danau hati seorang lelaki; dan pelangi menjadi tangga bagi bidadari cinta turun mensucikan nasib jiwa yang merana saat tubuh menjadi bebatuan berlumut sejak ribuan tahun yang lalu. Kekasihnya memendam rindu dengan menyaksikan tubuh sendiri yang tersiksa, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Kelenjar syahwat barangkali juga tidak pernah menelusuri alamat yang salah; kehendak selalu bicara; Kesedihan, tentu saja, bukan hanya perkara kegagalan keinginan: Tapi Tuhan sendiri telah mengirimkan cara-cara untuk diperbuat manusia. Dan dia harus menyepakati penerimaan yang kadang menyakitkan ketika keinginan selalu dipancing-pancing untuk menikmati segala hal yang tidak sanggup dilakukan.

Keinginan yang muluk-muluk mungkin hanya diungkap dari kebahagiaan yang dimiliki orang lain. Dengan jalan apapun ia hendak meniru cara mencapai kebahagiaan yang sama? Dan menganggap bahwa apa yang membahagiakan orang lain akan membahagiakannya? Ia lalu sadar bahwa, itulah jenis kekalahan yang menghantui jiwa!

Pada tahun-tahun berikutnya Ratih dan Broni masih bersama. Suatu waktu lelaki itu membelai rambut kekasihnya dan mengatakan suatu hal yang menegaskan hubungan kasihnya:
“Aku mencintaimu karena aku berpendapat bahwa kebahagiaan akan bercerita dari mulut liku-liku hidupku yang agak unik ini. Sedangkan persoalan yang remeh temeh adalah, bahwa aku memang senantiasa menginginkan darimu apa yang tidak kumiliki; misalnya, bibir manismu yang ingin kurapatkan pada bibirku… wajahmu yang manis tempat aku menatap waktu yang tiba-tiba menghilang. Maaf, semuanya bukanlah untuk menghamba pada kehendak, suatu amanat kakek nenekku yang harus kukemudikan. Aku hanya bisa berharap supaya engkau memelihara kebutuhan yang sama, dan juga memupuknya bagi musim-musim yang akan datang, karena cinta kita ini pada dasarnya adalah pelampiasan kebutuhan yang disepakati bersama.”

Ratih diam.

Ia hanya ingin mendengarkan, dan ingin menikmati belaian. Juga ingin membiarkan dirinya dipuja. Keduanya berpandangan mesra.“Ya, aku tetap tidak tahu kenapa aku selalu ingin berlama-lama menatap wajahmu. Dulu kau selalu malu-malu, menyembunyikannya dari pandangku. Lalu akhirnya musim tiba, kita tidak perlu sama-sama malu pada saat kita bersatu dalam ruang kebutuhan yang sebelumnya ditekan dan disembunyikan. Ohhh, entah kenapa aku selalu menikmati menatap wajahmu. Tak tahu apa yang sebenarnya aku cari dari keindahannya. Apakah aku mencari diriku sendiri? Apakah aku mencari Ibuku yang sudah mati? Apakah aku mencari rohku yang hilang? Aku tak tahu, Sayang….”
Kekasihnya lalu bertukas:
“Keinginan memang sulit sekali didefinisikan. Coba, apa yang kita cari dari kisah cinta ini? Semuanya akan kembali pada kebesaran hati kita untuk berpura-pura menolak ketidaktahumenahuan: Seolah hanya cinta yang melakukannya, tubuh dan jiwa tak pernah dipisahkan… apalagi dibohongi dan digadaikan demi rencana-rencana yang memalukan…”
Ia masih membiarkan dirinya dibelai. Tapi dia terus berkata: “Kukira kerelaan saja sudah cukup, Sayang. Meskipun kita dibatasi oleh teori-teori yang sebenarnya tidak perlu dihiraukan. Kerelaan saja, menurutku, sudah cukup. Tinggal bagaimana kita memelihara keterusterangan dan ketulusan sebaik-baiknya. Sebab di luar cinta ada “oknum jahat” berupa produk-produk dan aliran modal yang tidak berkaitan dengan cinta yang dijanjikan Tuhan pada kita.”

“Ya. Adam-Eva adalah dua manusia penemu cinta murni pertama kalinya yang tak ada hubungannya dengan bra, celana dalam, kosmetik dan obat pembesar payudara, uang, dan keangkuhan untuk menguasai orang lain. Mereka berdua sama-sama telanjang di Firdaus, serta menyelenggarakan cinta tanpa pamrih. Tidak ada status, tidak ada kelas sosial-ekonomi… Tidak ada perbedaan yang mengancam cinta mereka. Segalanya diserahkan pada ketulusan alamiah, bukan pada kecemasan dan kebencian yang mengganyang Sang Jiwa”.

Lalu keduanya juga sadar bahwa mereka telah telanjang di dalam ruangan itu. Telanjang lagi entah keberapa kalinya, untuk memadu keinginan yang sah dan sakral. Untuk menciptakan anak-anak yang pintar dan cerdas bagi peradaban mendatang.

***
Dan waktu akan terus berjalan.
Suatu saat Ratih bertanya lagi, sampai kapan tubuhnya akan tetap jadi puisi sementara suaminya selalu mengembara pada setiap musim dan akan selalu datang pada saat yang dijanjikan.

Broni selalu menjawab: Selamanya! Sampai kapanpun, seperti yang dikatakan kesetiaan.
Kini mereka masih terlentang di atas ranjang itu. Kekasihnya masih ingin dipeluk, dibelai, dan dibisiki kata-kata. Dia merasakan kenyamanan dalam kondisi itu. Kadang terlintas tentang yang bernama keindahan baru baginya, yaitu adalah sebuah keheranan. Dulu ia berpura-pura sebagai anak-anak yang menerima nasib. Kini dia adalah laki-laki yang ingin berterus terang tentang kenyataan.

“Kau adalah keindahan yang paling unik”, mulutnya berbisik, “Aku mengagumimu saat-saat kesepianku hadir, saat kau kira aku tak lagi menulis puisi, dan saat kau kira aku tak lagi bisa menangis dan tersenyum.”Laki-laki itu diam. Mulutnya masih berjarak satu inci dari telinga kekasihnya. Tangan kanannya memeluk tubuh istrinya. Beberapa saat kemudian ia kembali berbisik:
“O, keindahan! Tiap malam ia kupanggil, masa lalu dan masa akan datang menyatu dalam ketidaktahumenahuan pada arah angin malam. Bintang masih bisa bersinar dengan jelas di balik hatiku, mengintip jalanan menuju tempat perjanjian yang telah kita buat. Akupun pernah lama pergi, tapi aku yang terlanjur mencintaimu bisa menggantikannya dengan keindahan baruku di awal purnama itu.”

Wanita manis itu berkata lirih juga: “Jadi kau telah mengetahui, bahwa aku telah menjatuhkan pilihan pada nasib yang berdaulat sebesar secuil pengorbanan yang telah terlampaui. Kau dan puisimu kupilih bukan sekedar untuk menyediakan santapan jiwa bagiku, tapi bagi kehidupan seluruhnya yang masih semakin jelas.”

“Aku akan mencari lagi lebih luas ruang untuk mencipta keperluan yang masih saja dianggap remeh dan hina. Itu kuniati untukmu, sejak cinta di dunia ini mendasarkan diri pada norma-norma dekaden—akupun dengan sisa-sisa keringat harus menempuh cara yang berbeda. Namun, sebagai sebuah sarana dramatis untuk mendahulukan kegelisahanku, aku benar-benar bertuhan pada sepi untuk menuju pada pemenuhan tertinggi dari kebutuhan jiwa saat ini…“Kau menjadi keindahan yang menemaniku, keindahan yang sejak dulu kuharap-harapkan sejak aku belum mengenal apa-apa, kecuali bahwa waktu itu hidup hanyalah keinginan tanpa perasaan, serta airnya mengikuti kerendahan sungai kebijaksanaan… Lalu kau adalah keindahan yang kupahami lewat benang waktu dan logika kehendakku.

“Kau beri aku kehangatan… kau mengajariku menari, suatu yang tak pernah diajarkan oleh manusia dekaden dan ruang pengap dalam peradabanku. Kau semakin indah dalam kesepian yang kuciptakan sendiri, dan semakin mengagumkan… Ah, aku tak ingin mabuk, meskipun aku akan tetap menari dalam kesepian ini.”

Kekasihnya lalu membalikkan wajahnya. Masih dalam posisi tertidur di atas ranjang wanita itu mencium bibirnya. Lalu ia berbisik:
“Apa yang bagi kekacauan umumnya dirusak dan dibinasakan, aku tetap akan menerima harga keajaiban yang kau timpakan dalam kesunyian ini, meskipun menunggu pelunasan kehendak adalah perbuatan yang melelahkan. Aku tentu masih dapat menemukan kesedihan yang bertambah besar atas ketidakmenentuan ini; pada saat yang sama ungkapanmu tentang tragedi disambut oleh angin semilir (bagian dari keindahanku, Sayang?)—dan mungkin kita harus bisa menjelaskan makna kerinduan seperti ini: pengertian-pengertian yang menanam benih lebih banyak dan meruah bagi kekayaan jiwa (pondasi paling mendasar bagi bangunan cinta kita dalam hidup ini)…

“Jika kau menaikkan harga pengharapanmu pada kekuatan romantika cinta, kau ternyata juga memiliki piala indah yang mungkin akan kau persembahkan pada pengorbanan yang belum usai… Benarkan tidak ada pengorbanan cinta tanpa penerimaan luluh atas ungkapan-ungkapan tentang tragedi dari seorang kekasih (dalam ruang dekadensi maha luas ini)?”
Lelaki itu berkata:
“Dunia kita serba dingin dalam segala hal. Di sini, kasih, dan malam ini, keinginan bagai bulan yang lembut; kita nikmati saja nasi dan lauk pauk cinta di atas piring yang juga kedinginan, nasi dan lauk pauk hati kita, dan tubuh kita yang terlentang… kehendak kita yang kadang jalan…”
Wanita itu berbalik, wajahnya memandang mata lelakinya:“Tentang mata, laki-laki memang jarang tahu kalau ia sering diperhatikan; Tentang hati, kau tidak pernah mampu menandingi penantian perempuan. Tapi sebentar, mimpi-mimpiku yang kalaedoskopis kadang menceritakan tentang hamburger, jagung, ketela, dan bunga-bunga indah yang kujaga di taman kita. Dan resiko itu kuambil dari pada akhirnya kita, malam ini, dan malam-malam yang lain, saling terikat karena aku takut kehilangan… Semasa kepergianmu yang amat jauh, aku selalu menunggu malam itu dan malam-malam berikutnya. Malam-malam selalu menyatakan diri dalam kesunyian, Kekasihku! Dan malam ini, tentu saja, kau akan berlaku sebagai nabi…”

“Kematian hari-hari itu memang senantiasa mendekam pada jarak. Bukan kita yang menciptakan, tapi Tuhan barangkali. Kerinduan bagi cinta yang membara telah tertunda. Tetapi bukankah keabadian cinta bisa kita pelajari dari dunia yang dingin dalam segala hal? Dingin dalam segala rindu, kehidupan dan kematian yang ditimbulkannya. Malam ini kau dan aku bertemu, siapa tahu nanti jarum jam berputar tak searah, kau dan aku terbagi dari angka 1 sampai 12. tanpa bekas. Dan tuhan juga mampu menjatuhkan jam yang tergantung, sementara dinding bisa saja tak membekaskan apa-apa.”

“Tidak! Kematian tak harus diawali dengan kisah hidup setragis itu. Tidak. Pada malam semerah ini jangan mengatakan kemungkinan dan ketidakmungkinan, kasihku. Meskipun Tuhan tak pernah mengirimkan kertas bagi keputusan-keputusan yang dibuat, biarlah takdir menjadi bahan cemoohan yang agak masuk akal. Cinta, keturunan, uang, nafsu, biarlah rontok secara alami.

“Tapi sebentar, sayang! Cinta, uang dan nafsu tidak perlu diucapkan bersama; biarlah mereka menjadi persekongkolan yang paling kita benci di luar malam ini…”

“Tentu saja mereka adalah pilihan-pilihan, kekasihku! Mereka memiliki logika dan mulutnya sendiri-sendiri. Dan kita selalu menilai kebajikan—KEINDAHAN!—dan kebusukan di dunia ini. Kita harus memilih yang terbaik bagi kesucian tubuh dan jiwa kita, kasihku!”

“Ya. Tidak kah kau mendengar, cinta telah mengatakan pada keindahan: “Setiap manusia membutuhkan diriku (seolah berupa satu!). Tapi benarkah aku adalah pengertian yang paling tolol sebagaimana mereka sangka?”; Uang juga selalu menyombongkan dirinya dengan berkata: “Bagaimana kusediakan hidup ini jika diriku yang selalu diidolakan tiba-tiba tidak memiliki tuan?... aku bisa mengatasi segalanya termasuk cinta!”; Dan nafsu berkomentar dari balik dada kita: “Segalanya telah jelas, bahwa aku mampu memburu; malam-malam, siang-siang, mengukiri badan—dan wujudmu selalu dipermainkan! Waktu, jarak, ruang yang terpancing akhirnya menjelma jadi sesal yang melingkar!”Wanita itu melenguhkan nafasnya. Ia seperti memahami sebuah arti baru. “Dari mana kamu mendengarnya? Apakah perjalanmu menjumpai banyak hal tentang keindahan dan maukah kau memberikannya untukku?... Mungkin katamu benar, kasihku. Tidak ada yang kekal, seperti aku yang malam ini tiba-tiba sangat jatuh cinta padamu. Perpisahan dan pertemuan barangkali telah mengatur segalanya.”

“Ya, untuk apa kita cari siksa bila pilihan-pilihan menjadi tanda-tanda hayat yang kelak jadi maut. Kini aku telah kembali membawa keindahanmu sendiri!...” Ia mengangkat kepalanya hingga wajahnya berada di atas wanita yang terlentang itu. Ia pandangi wajah kekasihnya, ia seperti mencari, tetapi sebenarnya ia hanya dihinggapi keinginan yang diujarkan sebelum dia kembali. “Baiklah, biar kumulai cintaku malam ini. Biar kukecup, pertama-tama, keningmu”, ia mengecup. “Di sini kau senantiasa memikirkanku saat perpisahan, khususnya waktu terpanjang yang hilang.”

“Panjatlah malam dengan menyebut Dewa-Dewi...,” ucap wanita itu lirih, dan tubuhnya menggeliat.

Laki-laki itu tubuhnya juga bergetar. “Ya. Mereka dapat merasakan keindahan kita. Dewa…Dewi…Oh, Tuhan!”

“Ohhh…”

Demikianlah. Mereka menegaskan hidup dan peradaban. Cinta yang diselenggarakan dengan tingkah suci persetubuhan.

“Hmm… tahukah kamu. Mimpi-mimpiku yang kaleidoskopis itu… menghitung hari, menghitung bulan… dan akhirnya aku terjemput. Aku bahagia karena kau telah menjadikanku sebagai istrimu, kekasihmu! Apakah kita baru saja menyerahkan satu tetes air hidup pada Tuhan? Tidakkah tuhan akan berkomentar tentang cinta kita ini?”

Mereka masih saling merangkul, masih sama-sama telanjang.“Tuhan telah menyediakan argumen-argumen yang melekat pada waktu. Dalam mulut manusia, bahasa kadang tak mampu membikin maknanya sendiri. Kata-kata menguap di atas aspal jalanan yang tertempa matahari…”

“Mungkin juga menguap di kamar ini, juga di luar rumah ini…,” potongnya, “aku merasakannya.”

“Bahasa juga jadi kematian. Dan kita juga melihat manusia menyuarakan firman-firman dari langit. Kita malu untuk menyerah, bahkan mungkin sesudah keindahan malam ini belum sampai babak terakhir. Oh, melelahkan sekali… Argumen-argumen apa yang kita buat? Aku telah menjadi pencerita, tapi mereka ingin jadi pendheta dan nabi yang sukses. PREDIKAT! Kekasihku, tapi musik selalu menyanyikan wajahmu di telingaku, suara-suara yang menghantui kemiskinan dan penderitaan… Kekasihku, O, kekasihku,” bisikknya, “Dan kau biarkan aku menjadi pengembara. Dalam pengembaraanku kudengar argumen-argumen besar yang hanya berujung pada peran. Tubuh mereka memerankan kerja bagi penderitaan jiwa, dan menambah kecongkakan orang lain. Pada hal ada peran yang lebih besar: argument-argumen warung yang kadang lebih rasional dari pada berita radio dan Koran yang menyusun kepintaran atas kebodohan orang lain. PASAR, suatu peran yang dianggap paling mendekati Tuhan pada abad ini, adalah argument-argumen yang benar-benar congkak bagi pertemuan mereka yang melakukan transaksi bagi tuhan barunya masing-masing.”

“Wahai, wahai. Cintaku benar-benar suci padamu kekasihku. Aku senang jadi puisi. Sedangkan uang bukanlah kepasrahanmu dan kepasrahanku. Mungkin ia bisa jadi TV, bangunan-bangunan baru, dan benda-benda purba yang kuharap tidak terkandung dalam perutku kelak. Anak cucu kita akan menjadi MANUSIA ANGKASA, yang telah mensucikan peradaban dengan mimpi dan puisi. Aku ingin anakku mewarisi jiwa bapaknya, seorang pengembara yang selalu rindu bagi kepulangannya..”

“Aku ingin anakku seperti ibunya, yang pasrah pada Tuhan, bukan pada pelukan jaman yang berbadan kecut dan bernafsu besar. Ia kelak akan menjadi wanita yang patuh pada suaminya; dan selalu menyambut hangat kepulangan kembaranya…”

“Ya Dewa, Ya Dewi. Ya Tuhan…”

“Ya Tuhan…”

“Ya Tuhan.”


“Tetes kehidupan membuktikan bahwa keringat tidak harus kecut bagi kehidupan selanjutnya, anak-anak peradaban yang baik pasti akan lahir.”“Biarlah aku kembali memanjat malam ini bagi baya yang akan dilahirkan bagi perutmu kelak, kasihku! O, kekasihku!”
“Ohhh..”

Dan peradaban baru benar-benar lahir. Mungkin sekarang masih di jiwanya, kelak itu akan terbukti nyata.

Lembah Prigi-Trenggalek, 27 Februari 2005.

(Puisi): KUBIARKAN SAJA IA BERKACA

Oleh: Nurani Soyomukti


(1)
Kubiarkan saja ia berkaca, yang kadang tersenyum dan
mencibir pada wajahnya dengan dipaksa hatinya sendiri
Telah ia curi ideologi dari orang buta dan tuli
Dan ia merasa mengantongi dosa dirinya sendiri.

Dan kubiarkan ia berkaca, memandangi wajah yang
seakan dicuri dan sulit kembali
Permohonan kosong malam itu menggilas sepi.

Sungguh,
Bintang membutuhkan teman kencan, batinku.

Lalu esoknya kusuruh ia bermake-up dalam damai angin pagi
Di mana pada menyendiri kesepian seakan memanggil sepoi.
“Tersaruk dalam bayang, genggamlah api ke awan.
Duduklah menunggu di sini. Lantas bangkit berjalan dan cium tangan Ibunda yang
Berbaring di beranda belakang. Sebab lewat kehilanganmu, beliaulah temuan itu!”

(2)
Alam telah miskin kata kata, tak lagi mendendangkan lagu kehidupan, pohon pohonnya tumbang, menerpa nasib terhimpit malang. Kesedihan segera teguk air sucinya, dari puting beliung
Sunyi malam susu perawan. Bulan bugil
Bulat terang dan merangsang,
yang pernah menatap dengan berani diriku dalam sajak sajakku. Kesegaran aksara aksara abadi setelah kau bawa pergi buku harianku
Yang menyimpan kata kata yang pasti akan membuat kita enggan bercumbu esok malam.
Karena kau akan tahu siapa diriku sebenarnya.
Penyesalan pasti akan melingkar dalam bilik hatimu, mengumpat diri
karena telah bertemu dengan
Orang palsu.
*Jakarta, 2007

Essay: THE SPIRIT OF LOVE: MOTHERLY LOVE

By: Nurani Soyomukti

"Homology of meaning directed by cultural globalization also make the people have nothings to define their existence for elucidating in their own world".


THE SPIRIT OF LOVE is being challenged by today Indonesian condition in which social disintegration, violence, and terrorism become real threat for humanism. Terrorism as the practice of how people realize their religious believe is very difficult to prevent. It doesn’t mean that terror will make this world to be difficult to face. Terror is everywhere.

There are some historical epoch that create the dialectical relation between material circumstance with ideological dynamics among society where inter-individuals and inter-groups define their existence. Terrorism as ideology of violence has no roots in human existence but in the material circumstance where human face real economic and material condition for fulfilling their need. Today economic and political contradiction seem to be the basic of how human existence cannot be expressed naturally.

Homology of meaning directed by cultural globalization also make the people have nothings to define their existence for elucidating in their own world. Government should provides the basic of human need because the material things is the most identical with human existence itself. The disintegration of economic suc the dramatic gap between the haves and the haves not will spread out dissatisfaction among the people. Our less-educated people cannot explain why such contradictory world happen. Their just understand that government cannot gives anything what they need for developing their lifes (food, shelter, education, healthy, and so forth). They just feel unsatisfied and disappointed.

Liberal-individual ideology brought by capitalist-globalization is really inserted among people. It accelerates the disintegration social relation. Love and beliefe become expensive things among the social. Even in the difficult economic life, cheerfulness, tolerance, reliability, ambition, and an ability to get along with other people is in friction. No more creative activities pertain and developing union. Most of people are pessimistic toward “love” when this world just colouring the commercial song lyrics, just spoken by pretending artist in the (electronic) cinema or telenovela. And the most important, the government never fullfil their promises for welfaring people.

Commitment of love doesn’t belong to geverment because it cannot give their people what they want. The real love is giving. Ability to love is an act of giving. Beyond the element of giving, the active character of love becomes evident in the fact that it always implies certain basic element, common to all form of love. These are care, responsibility, respect and knowledge.
That love implies care is most evident when government care the people as mother’s love for her child. Government is representation of the state, the state is always assumed as ‘mother earth’ where all land and other productive thing must be managed for all people, not for few ones. In Indonesia this is kind of state mission, the earth and what in it must be used for all people.

It is really that we are lacking of motherly love. Government and leaders are mothers, people are infant. No assurance of mother love would strike us as sincere if we saw her lacking in care for the infant, if she neglected to feed, to bathe it, tto give it physical comfort. And we are impressed by mother’s love if we see her caring for the child. It is not different even with the love for animals or flowers. If a woman told us that she loves flowers, and we saw that she forgot to water them, we would not believe in her “love” for flowers.

Erich Fromm in his “The Art Of Loving” (1956) argued that “love is the active concern for the life and the growth of that which we love”. Where this active concern lacking, there is no love. Care an concern imply another aspect of love; that of responsibility.
In our society today, unfortunately, responsibility is often meant to denote duty, something imposed upon one from the outside. Responsibility could easily deteriorate into domination of possessiveness, where it not for a third component of love, that is respect. But responsibility, in its true sense, is an entirely voluntary act. To be “responsible” means to be able and ready to “respond”. Without the will to dominate others, we can see others respectly because respect is not fear and awe.

If the persons who govern this country are fear that they are not be wealthy, if the interest groups are fear with economic policy who is pro-people, it mean that they are not responsible and respect to people. The feeling of possessiveness is opponent of the real love as well as it is clear that respect is possible if we have achieved independence, and if we are able to stand and walk without needing crutches, without having to dominate anyone else. Respect exists only on the basis of freedom: “l’amour est l’enfant de la liberte” as an old French says “love is the child of freedom”, never that of domination.

But, our contradictory life cannot be reached merely by the feeling. Love as the feeling or pshycological phenomenon is a fact of material things that is easy to come and go. That is so problematical when love just become the infrastructure and lies in an objective, independent of subjective analysis. Such deterministic and positivistic thinking will take “love” (that can be spirit) away from social analysis and practices. Rationality as part of modernization aspect cannot look the spiritual dimension of human relation. Homogenization of culture implies that love is meant in one-dimensional interpretation.

However, love is great spirit; but rationality will only covers the eyes of individual from the existence of inter-subjectives relation that invites meaning that must not be destroyed by everythings. In practical words, the action and reaction among globalization have to be placed in intersubjective analysis. Each person and group have their meaning from their existence. The problem of how the objectives contradiction cannot explained yet by people has its relation with how love also have another aspect, that is knowledge. Educate people to love is to educate people to know and to touch the reality. No loving without knowing.
Terror and aggressive action can be motivated by “love” but without knowing the reality. Also, terror can be mitivated by “knowing objectively” but without love with its inter-subjective relation that exists. Love is not aggressive instinct or death instinct (Thanatos), but love is unifying instinct or life instinct (Eros).

Love is active penetration of the other person in which the desire to know is stilled by union (not separateness and destruction). In the act of union, we know each other, we also know ourself, we know everybody and everything. We know in the only way knowledge of that which is alive is possible for man—by experience of union—not by any knowledge our thought can give. For example, sadism is motivated by the wish to know the secret, yet we remain as ignorant as we were before. The sadistic man have torn the other being apart limb from limb, yet all he has done is to destroy him. Love is the only way of knowledge, which in the act of union answers our quest. In the act of loving, of giving ourselves, we discover ourselves, we discover us and them, we discover human(ism).

The government and most of the elites in our country not only give nothing for people’s welfare. They also let the people un-knowledgeness not just because of expensive education but also of the illusions made by government. That condition of poor and un-educated omong peoples have been blunt the productive force of our nation. The president has urged people for creating excellent culture. But the basis for driving productive and creative force among people cannot be provided. Really, welfare and democracy are important things. When love will become our spirit? Wallahu’alam!***

(Essay): ERICH FROMM AND HIS 'ART OF LOVING'


Oleh: Nurani Soyomukti

(Saya adaptasi dari Resensi Buku Erich Fromm, THE ART OF LOVING, yang pernah dimuat di JAKARTA POST)


The lack of human solidarity in our society is part of the fact of how our society disintegrated. Violences and terrorism also become the true threat of humanism when we loss our spirit to unify our existence within social relation and creating productive activity to handdle such contradiction.

Today we see that the word “love” is easily spoken by averybody. In any time the political elite, religious figure, artist-celebritist, and other public figures may say that they love people. politician give sweet promises to people in order to ger support in political proccess such in goal of winning election. Artist-celebritist play roles in some cinema and “love” exploited as a word. But, does love really come to our life? Is such figures mind and heart full of love for the people?
Love is not merely words. Love is the real action to pull our productive force to give best for society. Love cannot separated from the act for loving.

In his book entitled “THE ART OF LOVING”, Erich Fromm insist that love is an art, an action for solve the problem of separateness among human being. He was worried about the human existence in its dialectical relation with proccess of capitalistic globalization. He doesn’t argue that love, as human spirit or just as a psychological phenomenon, can be the solving problem. But, as the creative power in human existence love must be undertood and realized as real human power itself. Erich Fromm as a great thinker delivers us to the understanding that love can be seen as creative commitment and activity such respects, responsibility, descipline, and the productive character of existence.

The commercial logic in all aspect of (capitalistic) cociety make the meaning of love is reduced even misunderstood. As Fromm argues, At any rate, the sense of falling in love develops usually only with regard to such human commodities as are within reach of one's own possibilities for exchange. I am out for a bargain; the object should be desirable from the standpoint of its social value, and at the same time should want me, considering my overt and hidden as-sets and potentialities. Two persons thus fall in love when they feel they have found the best object available on the market, considering the limitations of their own exchange values. Often, as in buying real estate, the hidden potentialities which can be developed play a considerable role in this bargain. In a culture in which the marketing orientation prevails, and in which material success is the outstanding value, there is little reason to be surprised that human love relations follow the same pattern of exchange which governs the commodity and the labor market (pp.4).
To enlarge the undersanding about the meaning of love, Erich Fromm disticts some kinds of love that be able to explain the character of existence because “whatever theory about love must begine with the theory of human, human existence”.

The mazhab Frankfurt thinker who expressed his idea with mix of pshycoligical, phylosophycal, economical, and historical approach try to distinct love based on attitude and character of human existence: broherly love, motherly love, erotic love, self-love, and love to God. Each character can describe the character of human related to how human engages their life. For example, if we love just for someone (one person) and forget others, his “love” is not love, but just a mutual exchange, or enlarging egotism.

Coming into Fromm’s thought about LOVE will open our subconscious thinking. We will be brougt to the fact that our society is truly lost the spirit of love. It can be seen in the attitude of people representatives and the way government make policy that mostly oppressed the people. Further, the awakening the new spirit of meaningfull love perhaps experienced by most of us.***