Selasa, 21 Agustus 2007

(Gagasan): MERINDUKAN KEPEMIMPINAN ALTERNATIF


Oleh: Nurani Soyomukti


Isu tentang kepemimpinan nasional terus menggelinding terutama mendekati pemilu 2009 serta berbagai momen pergantian kepala pemerintahan di berbagai daerah. Belakangan juga muncul isu tentang dibutuhkannya para pemimpin alternatif. Isu semacam itu sangatlah wajar mengingat hingga saat ini belum ada pemimpin rakyat yang menjawab berbagai macam persoalan yang ada di negeri ini.

Tentu saja masih banyak yang optimis dalam melihat masa depan mengingat sejarah menunjukkan bahwa kelahiran pemimpin selalu diberikan dari rahim sejarahnya sendiri, terutama lahir dari bayi-bayi perlawanan yang terus tumbuh. Saat ini Indonesia memang belum memperlihatkan calon pemimpin yang merakyat, kecuali elitis dan anti-rakyat (bahkan tak percaya potensi kekuatan massa rakyat). Tetapi dari pergulatan sosial-politik yang ada pasti akan muncul generasi pimpinan yang mampu mengungkapkan tuntutan sejarah. Media massa memang belum pernah mau dan mampu menelisik calon-calon pemimpin dari kalangan gerakan rakyat, makanya jarang (hampir tidak ada) tokoh dan pimpinan gerakan yang popular—beda dengan para tokoh penipu, penjilat, pembohong, dan bahkan penjahat yang tubuhnya berlumuran darah yang tiap hari ditampilkan dengan politik pencitraannya. Kita bisa melihat perjalanan tokoh yang kini menjadi “pimpinan” negeri Indonesia (SBY). Tokoh ini semasa mendekati pemilihan umum selalu sering ditampilkan dengan citranya yang “elegan”, “berwibawa”, “tegas”—yang pada akhirnya tetap tegas, sebagaimana para pendahulunya, dalam menyengsarakan rakyatnya, bahkan jauh lebih tegas dalam hal ini.

Seiring dengan kian kejamnya kebijakan neoliberalisme, pergerakan rakyat bawah juga makin massif, dan melatih keberanian, keseriusan, memajukan cara pandang dan strategi-taktik untuk merubah nasib Indonesia, dengan sendirinya akan lahir banyak tokoh dari bawah. Tokoh dan pemimpin semacam inilah yang kelak akan dibutuhkan oleh rakyat. Tokoh yang berani, bahkan dengan sedikit kenekatan gila sebagaimana dilakukan Hugo Chavez pada tahun 1992 yang justru mempercepat kesadaran rakyat hingga pada akhirnya berujung pada kemenangannya yang lebih nyata. Sebelum menang pemilu 1998, pada tahun 1992 Chavez pernah berusaha merebut kekuasaan untuk menerapkan kebijakan anti-neoliberal.

Pimpinan yang dibutuhkan rakyat adalah pimpinan yang mampu menjelaskan kontradiksi dan bukan memutasikan kontradiksi atau mengalihkan perhatian rakyat yang telah bangkit kearah kecacatan cara pandang. Hingga saat ini banyak tokoh yang mencoba mengalihkan perhatian rakyat terhadap situasi yang terjadi di negeri ini sebagai imbas dari imperialisme. Sebagian juga tokoh agama, yang secara umum selalu mengatakan bahwa sumber kesengsaraan rakyat bukanlah neoliberalisme dan watak elit yang mendukungnya (menjadi antek), tetapi karena kurangnya moral dan agama. Maka solusi yang mereka tawarkanpun adalah solusi moral yang dalam banyak hal memasung kebebasan rakyat untuk berpikir maju, bertindak leluasa, dan berjuang secara konkrit dalam gerakan yang bukan hanya bersiaf ekonomis tetapi juga politik.

Dengan memutasikan kontradiksi, kebanyakan elit ini juga berusaha mengambil keuntungan dari kebodohan dan kepsarahan rakyat, juga prasangka dan sentimen kebencian yang bersifat SARA. Memang ada pihak yang sengaja membiarkan terjadinya konflik suku, agama, dan kelompok. Secara nyata mereka mendapatkan keuntungan politik dan finasial, tetapi secara umum penindasan kapitalisme akan langgeng karena rakyat yang seharusnya bergerak melawan penindasan kelas (vertikal), menjadi bergerak dan bertentangan secara horizontal. Elit penipu dan penindas yang seharusnya dilawanpun selamat, karena rakyat justru saling bertarung. Solidaritas kelas pekerja atau rakyat miskin yang seharusnya bersatu melawan elit, justru dipecah belah dan diilusi dengan janji-janji.

Lalu apakah Indonesia mampu melahirkan pimpinan politik seperti Hugo Chavez dan Evo Morales di Amerika Latin? Dalam hal corak masyarakat, Indonesia sangat multikultural atau plural dari segi agama dan suku. Sedangkan Amerika Latin tidak seplural negeri ini. Sehingga perlawanan kelas begitu mudah dialihkan menjadi perlawanan dengan basis gerakan agama dan kesukuan. Hal ini berbeda, misalnya, dengan gerakan Tani Indian di Bolivia yang melawan imperialisme dan memenangkan Evo Morales. Sentimen suku (Indian) melekat dengan sentimen kelas (anti-neoliberal). Ketertindasan suku Indian justru mendukung sentimen kelas.

Logikanya, terlalu mudah bagi kelompok elit untuk memanipulasi kesadaran rakyat, terlalu mudah perlawanan kelas dialihkan menjadi konflik agama—ini yang terjadi di Indonesia . Yang menjanjikan dari Venezuela adalah keberhasilannya menjadi bangsa mandiri, tidak menjadi bangsa kuli seperti Indonesia . Bagaimana tidak menjanjikan jika banyak Negara yang tergiur tentang apa yang terjadi di Venezuela , terutama Negara-negara tentangganya di Amerika Latin dan Amerika Tengah (kawasan Karibia).

Kepemimpinan politik untuk kemandirian bangsa menjadi tren di sana . Memang, tokoh-tokoh politik kiri atau tengah-kiri di berbagai negeri Amerika Latin itu mempunyai kadar yang berbeda-beda dalam sikap mereka terhadap imperialisme AS atau kapitalisme neo-liberal. Dan, tidak semuanya mempunyai sikap yang sama terhadap sosialisme atau komunisme. Tetapi boleh dikatakan bahwa pada umumnya mereka bukanlah orang-orang kanan yang reaksioner atau tokoh-tokoh yang memihak kepentingan Washington, seperti halnya kebanyakan presiden atau diktator-diktator Amerika Latin di masa yang lalu, juga sebagaimana kekuatan dan elit politik di Indonesia pada masa kini. Selain Hugo Chavez di Venezuela, ada Michelle Bachelet di Cili, Lula di Brasilia, Nestor Kirchner di Argantina, Tabaré Vazquez di Uruguay, Lucio Guttierez di Ecuador, Evo Morales di Bolivia, Ollanda Humala di Peru, Andrés Manuel Lopez di Meksiko, dan Daniel Ortega di Nikaragua.

Untuk tidak pesimis, sesungguhnya di negeri kita ini masih ada jalan terang bagi pembebasan rakyat dari ketertindasan. Tentunya harus ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi bagi perjuangan politik rakyat. Sekarang ini tingkat ketidakpuasan rakyat terhadap nasibnya kian membesar karena kehidupan mereka memang kian memburuk akibat kebijakan-kebijakan neoliberalisme, bahkan rakyat kian muak dengan watak elit yang tetap saja korup, aji mumpung, dan mengurusi kepentingannya sendiri (dalam menumpuk kekayaan). Corak perlawanan yang salah juga kian banyak terjadi, misalnya adanya konflik dan kekerasan bernuansa agam dan suku. Tetapi intinya, entah reaksi rakyat benar atau salah (objektif atau subjektif), potensi bagi pembesaran dan kemajuannya tak diragukan lagi.

Sekarang tinggal bagaimana muncul tokoh yang menjadi sang pelopor dan mampu memimpin reaksi massa tersebut. Yang jelas saat ini rakyat butuh penjelasan tentang apa yang terjadi dan tentang bagaimana kemudian cara merubah nasib mereka—setelah tahu apa yang terjadi (tahu bahwa mereka ditindas dan butuh merubah nasibnya). Harus ada sarana untuk memungkinkan rakyat berkumpul dan mendiskusikan persoalan-persoalan itu dan menbicarakan perubahan. Yang lebih penting juga mendorong agar massa rakyat terlibat aktif dalam kegiatan politik semacam itu.

Singkatnya, saat ini rakyat butuh alat politik bagi mereka untuk memperjuangkan nasibnya. Alat politik modern bagi perubahan sosial tentunya adalah organisasi atau wadah tempat berkumpul yang terikat dalam satu tujuan yang maju, yaitu pembebasan diri dari penindasan dan mewujudkan tatanan yang adil. Sekian banyak organisasi perlawanan dan perjuangan rakyat, maka harus didorong semakin banyak pula keterlibatan mereka secara aktif. Organisasi tersebut haruslah maju secara ideologis (anti penindasan dan mencitakan tatanan baru), secara programatik (dengan program-program yang mampu menjawab masalah yang ada), dan strategi-taktik (suatu cara untuk menyusun kekuatan dan mewujudkan tujuan).

Organisasi tersebut bersifat politik. Artinya harus menyatu dalam sebuah wadah yang memiliki kangkauan politik yang luas dan mampu mengintervensi panggung-panggung politik di negeri ini. Alat politik ini juga harus menciptakan panggung-panggung politiknya sendiri agar program dan ide yang disampaikan dapat diterima massa dan menggerakkan atau melibatkan lebih banyak lagi massa yang tergabung.

Alat politik yang efektif menurut saya adalah partai politik yang memiliki syarat-syarat untuk berperan dalam merebut hati massa , bersaing dengan kekuatan-kekuatan lainnya yang selama ini hanya membohongi rakyat. Partai politik ini harus bersifat menyatukan kekuatan-kekuatan sosial politik dari massa rakyat tertindas dan juga membangun aliansi dengan siapa saja yang bisa menguntungkan gerakan rakyat. Apalagi, mendekati momentum pemilu (2009) yang semakin dekat, maka alat politik berupa partai sangat dibutuhkan untuk berinteraksi secara lebih luas dengan kekuatan-kekuatan social yang ada, juga untuk menjadi sarana bagi pendidikan politik rakyat. Dengan tetap bertumpu pada penguatan basis-basis perjuangan rakyat, pemilu 2009 dapat dijadikan momen untuk memenangkan program-program yang maju.***

Tidak ada komentar: