Selasa, 21 Agustus 2007

(Esai): Nyai Ontosoroh, Dari Novel ke Teater untuk Pencerahan Kaum Perempuan

Oleh: Nurani Soyomukti,

Aktif di sastra JARINGAN KEBUDAYAAN RAKYAT (JAKER); Pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA); Penulis Buku "REVOLUSI BOLIVARIAN: HUGO CHAVEZ DAN POLITIK RADIKAL" (RESIST BOOK, YOGYAKARTA 2007).


Pementasan teater “Nyai Ontosoroh” yang diselenggarakan tiga hari bereturut-turut, tanggal 12, 13, dan 14 Agustus di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta benar-benar patut mendapatkan catatan tersendiri. Bukan hanya karena penontonnya yang membludak hingga tiket telah habis jauh-jauh hari sebelum pertunjukan dimulai, tetapi juga karena yang dipentaskan adalah adaptasi dari karya sastrawan terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Nyai Ontosoroh adalah tokoh Novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer yang menyebabkan sastrawan ini dikenal luas di dunia, hingga ia sempat dicalonkan sebagai orang yang layak memperoleh hadiah Nobel Sastra. Dan pementasan tersebut menarik juga karena keterlibatan beberapa artis-selebritis seperti Heppy Salma (pemeran Nyai Ontosoroh), Rudi Wowor, Ayu Dyah Pasha, dll.

Tak ada yang menolak bahwa aspek sosial yang penting dari karya Pramoedya Ananta Toer adalah munculnya pencerahan dan penyadaran di kalangan masyarakat, terutama kaum perempuan. Bagi saya, pementasan ini adalah sebuah terobosan yang akan membawa dampak besar terutama bagi kaum perempuan yang butuh referensi tentang sosok yang bisa dijadikan contoh, tokoh yang dikisahkan memiliki pandangan maju dan berlawan dalam sejarah bangsa yang diwarnai penindasan dan ketertindasan kaum perempuan.

Nyai Ontosoroh adalah kisah perempuan di jaman kolonial, perempuan yang mengalami kebangkitan dan pencerahan sehingga cara pandang baru teradap diri dan persepsi terhadap realitas mampu mengimbangi realitas baru yang dialami bumi putera sebagai akibat modernisasi kapitalis (kolonial) yang membutuhkan respon kemanusiaan baru. Dikisahkan bahwa jaman Nyai Ontosoroh atau Sanikem hidup adalah ketimpangan akibat penjajahan. “Bumi Manusia” karya Pram adalah sebuah karya yang luar biasa dalam meneliti detail-detail psikologis dan dialektika historis manusia di masa transisi (benih-benih hancurnya tatanan feodalisme kerajaan beserta tatanan ideologisnya dan munculnya perlawanan baru terhadap kapitalisme kolonial yang bercokol).

Pada jaman ini Belanda Totok berkuasa dengan perusahaannya, dengan Gubermennya dan dengan hukum putihnya. Orang putih dan orang pribumi tidak bergaul dan tidak membaur. Hanya sana sini ada satu dua orang yang masuk sekolah orang Belanda. Kecuali ada satu golongan yang pada waktu ini, pada tahun 1898, sangat dekat dengan Belanda dan Eropanya. Ironisnya mereka adalah golongan yang sangat tertindas dan dihina oleh masyarakatnya yaitu perempuan-perempuan yang disebut “gundik” atau “nyai”. Para nyai inilah yang sempat kenal rumah tangga Eropa dari dekat; sempat berbincang-bincang intim dengan “lelakinya”, bisnisnya, temannya, ilmu pengetahuannya dan dunia modernnya.

Memang kisah tentang nyai dalam karya sastra Indonesia bukan pertama kalinya diangkat oleh Pram melalui “Bumi Manusia”. Cerita tentang nyai diangkat juga banyak mewarnai karya sastra di negeri ini, misalnya dalam Cerita Nyai Sarikem (1900), Nyai Isah (1903), Nyai Permana (1912). Cerita Nyai Dasima yang ditulis oleh G. Francis, misalnya, juga merupakan karya sastra yang dikenal. Oleh G. Francis, Dasima digambarkan sebagai perempuan dari Kampung Koeripan menjadi nyai Tuan Edward W., yang sangat dicintai dan dimanjakan layaknya istri yang sah. Namun, Dasima yang cantik menawan ternyata bukan tipe perempuan yang bisa dipercaya. Ia selingkuh dengan Baba Samioen dari Kampung Pedjambon.

Cerita Nyai Dasima tersebut juga memiliki kesamaan dengan cerita Si Tjonat karangan F.D.J. Pangemanann, yang merupakan sastrawan pribumi. Dikisahkan, Saipa, nyai Tuan Opmeijer, asal Desa Tjirenang adalah perempuan cantik dan masih belia. Sebelum menjadi nyai Tuan Opmeijer, Saipa dijual Kaenoen, abahnya, kepada Tjengkao seharga F 40 dan kemudian dijual lagi seharga dua ratus rupiah. Selama menjadi nyai, Saipa sangat dicintai tuannya. Tetapi, Nyai Saipa berbuat serong dengan si Tjonat, jongos di rumahnya. Bahkan, Saipa memilih kabur bersama si Tjonat setelah terlebih dahulu mencuri uang, perhiasan, dan barang tuannya.
Dibanding karya-karya tentang Nyai, Bumi Manusia Pram menggambarkan seorang nyai yang berwibawa karena prinsipnya, yang punya cara pandang maju dan tercerahkan, bukan sekadar nyai yang hanya menjadi objek seksual dan prestise sosial tuan kolonial. Nyai Ontosoroh menghadirkan dirinya tidak lagi sekadar gundik, piaraan, dan pajangan tuannya. Citra “suka selingkuh” yang menjadi watak Nyai terbantahkan oleh diri Nyai Ontosoroh.

Perlawanan Perempuan Pribumi
Nyai Ontosoroh awalnya adalah Sanikem, gadis berumur 14 tahun yang dijual oleh ayahnya sendiri menjadi gundik seorang Belanda. Sanikem adalah perempuan pribumi sederhana yang awalnya tak berdaya untuk menolak menjadi gundik (nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema. Tetapi ia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk ketakberdayaan menolak untuk menjadi gundik mendorong Nyai Ontosoroh untuk banyak menyerap berbagai arus pemikiran Belanda dan bahkan mengendalikan perusahaan milik Herman.

Nyai Ontosoroh tetaplah Sanikem wanita pribumi yang lagi-lagi tak berdaya ketika anaknya, Anellies, diambil paksa dari tangannya. Tetapi bagaimanapun juga Nyai Ontosoroh dalam novel tersebut telah berusaha keras melakukan perlawan mempertahankan anaknya meski kalah. Kekalahan adalah resiko dari pertarungan. Tetapi semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh berkata kepada tokoh Minke dengan kepala tegak: "Kita kalah. Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya!"
Sanikem adalah gambaran dari gadis-gadis di Bumi Putra yang mewarisi ketertindasan feodalisme (kerajaan), yang bukan saja tidak memiliki pengetahuan karena tidak dapat bersekolah bukan hanya karena berasal dari keluarga miskin, tetapi juga karena kepercayaan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah karena perannya hanya untuk mendampingi suami, melayaninya, melahirkan anak dan merawatnya. Sanikem adalah salah satu gadis jawa yang dilarang berbuat sesuatu seperti laki-laki.

Dan pada umumnya gadis Jawa yang tidak berpengetahuan apa-apa mengahadapi raksasa peradaban Eropa. Jangankan gadis-gadisnya, seluruh tatanan kejawaan yang didominasi laki-laki saja tidak berdaya menghadapi kolonialisme.
Tetapi Sanikem justru menemukan kebangkitan karena pergumulannya dengan tuan Eropanya justru dimanfaatkan untuk belajar mengerti tentang kehidupan, sedikit demi sedikit menjadi banyak pengetahuan yang diserap, memunculkan pencerahan diri yang muncul dalam sebuah sikap dan prinsip. Awalnya adalah pemberontakan batin karena sang Ayah telah menggadaikan dirinya. Ia tak berdaya karena budaya yang jahat, tetapi dari ketidakberdayaan itu ia berjanji untuk meninggalkan kebudayaan yang jahat dan tidak memiliki dasar lagi dalam ilmu pengetahuan san prinsip kemanusiaan baru.

Akhirnya pengalaman pahit si Sanikem alias Nyai Ontosoroh ini ternyata bisa menjadi penggerak orang berdiri tegak dan membangun karakternya dengan mempergunakan pengetahuan yang didapat dari musuhnya untuk membangun dirinya. Dari sinilah kita dapat belajar tentang karakter, character building, pelajaran yang pasti memberi semangat Pramoedya Ananta Toer dari karyanya yang lahir di pulau Buru tetapi juga memberi pelajaran pada kita di zaman sekarang juga.

Bagian lain dari ceritera Nyai Ontosoroh ini adalah ceritera tentang perpolitikan keluarga dan pelajaran Sanikem alias Nyai Ontosoroh di dalamnya. Dengan lelakinya, Herman Mellema, dengan anak perempuannya, si bunga Surabaya, Annelies, dengan putranya yang dendam terhadap semua pribumi, Robert. Kemudian ada “anak angkatnya”, Minke, pribumi Jawa, pelajar HBS yang tertaklukkan oleh Ibu maupun anak gadisnya. Perjuangan dalam keluarga ini mengajar banyak tentang kemunafikan peradaban Barat, sekaligus kekuatan yang datang dari berprinsip.

Sanikem tidak hanya menghadapi perpolitikan rumah tangga keluarga kolonial. Dia pada akhirnya harus menghadapi sistem dan hukum kekuasaan kolonial itu sendiri. Kaum Nyai sepenuhnya tergantung pada perlindungan dari lelakinya. Bagaimana kalau lelaki itu pergi? Atau mati? Atau dibunuh? Apa nasib si Nyai dan keluarganya? Apa kedekatannya dengan peradaban Eropa membantu? Apakah akan cukup untuk membela diri kemampuannya menyuarakan prinsip-prinsip yang dia pelajari dari peradaban Eropa, bahkan kemampuan yang melebihi orang-orang perpanjangan tangan kekuasaan kolonial itu sendiri?

Pada akhirnya seorang Sanikem yang sudah jadi seorang Nyai harus berhadapan langsung dengan tuan-tuan Hakim Belanda untuk membela dirinya dan membela haknya sebagai seorang Ibu. Adalah dari mulut seorang Nyai ini keluar kata-kata yang mengungkapkan kebenaran sesungguhnya. Hikayat Sanikem alias Nyai Ontosoroh, nyai dari pemilik perusahaan susu Surabaya yang tinggal di rumah seram dan menakutkan seolah-olah perempuan sihir, adalah hikayat perlawanan.

Nyai melakukan perlawanan terhadap nasib sebagai gadis yang terjual jadi nyai; terhadap kemunafikan dan kezaliman dalam rumahnya sendiri; terhadap sistem dan hukum kolonial itu sendiri. Buat Nyai melawan itu sendiri adalah prinsip, terpisah dari persoalan akan menang atau tidak. Melawan kezaliman adalah sebuah kehormatan kalau dilakukan secara terhormat. Itupun yang diajarkan pada “anak angkatnya” dan kekasih Annelies, Minke. Minke, adalah seperti Nyai dalam hal kedekatan dengan peradaban Eropa. Dia adalah murid H.B.S., sekolah elit Belanda. Tetapi dia bukan budak belian seperti Nyai. Dia adalah anak orang elit Jawa, tetapi yang sudah mempertanyakan budaya tradisi Jawa. Diapun ditantang untuk melawan kekuatan kolonial dan juga latarbelakangnya sendiri.

Buat Minke ada dua kekuatan baru yang dia harus belajar menggunakan: pena dan kekuatan rakyatnya sendiri. Dia menulis dalam bahasa Belanda dan menulis dalam bahasa rakyatnya untuk membela keluarganya. Dan adalah rakyatnya sendiri—rakyat “Melayu”—memberikan solidaritas, tidak lain dipimpin oleh seorang pendekar Madura, si Darsam.
Itulah yang menyebabkan pementasan “Nyai Ontosoroh” sangat relevan pada saat ini. Ada isu pembangunan watak bangsa yang diajarkan oleh perempuan Sanikem alias Nyai Ontosoroh. Ada isu tentang bagaimana kaum perempuan bersikap dalam menghadapi perubahan sosial yang begitu cepat, saat tatanan kolonialisme baru masih berjalan. Dan dalam kondisi seperti ini kaum perempuan diharapkan memiliki prinsip dan sikap yang tercerahkan, agar dapat membimbing anak-anak dan teman-temannya, juga kaum laki-laki. Sebagaimana Nyai Ontosoroh mempercepat prinsip perjuangan Minke, sebagaimana Ibunda-nya Gorky juga mendukung dengan keharuan dan keagungan hati pemuda-pemudi yang berjuang membela kaum buruh di pabrik-pabrik kumuh dan merencanaakan gerakan sosial, kaum perempuan dapat memetik pelajaran bahwa bagaimanapun semua orang, laki-laki dan perempuan, harus berpartisipasi dalam perjalanan sejarah. Partisipasi aktif dan berprinsip, bukan pasif dan dikorbankan.***

Tidak ada komentar: