Sabtu, 25 Agustus 2007

(Esai Politik): "SOFT POWER", STRATEGI GERAKAN ANTI-TEROR(ISME)


Oleh: Nurani Soyomukti


Adalah Joseph Nye, pemikir yang sangat teguh mengkritik berbagai kebijakan Amerika Serikat yang selalu melawan gerakan garis keras Islam dengan cara-cara kekerasan seperti serangan bom ke Irak dan Afgnanistan beberapa tahun lalu. Tokoh intelektual yang juga menjadi rektor Harvard’s Kennedy School of Government yang juga pengarang “Soft Power: The Means to Succes in World Politics” ini sejak awal telah mewanti-wanti bahwa serangan fisik untuk melawan kaum teroris tidak akan cukup efektif dalam mencapai tujuan.
Ramalannya terbukti. Irak yang telah ditakhlukkan pemerintahannya justru menjadi ladang aktivitas kaum teroris yang beraksi tiap hari (daily terrorism). Teror yang bagi mereka dimaksudkan untuk menandai perlawanan terhadap kaum “kafir” yang disimbolkan dengan Amerika dan pemerintahan anteknya. Ini membuktikan bahwa kekerasan yang telah mengawali setiap tindakan untuk meraih tujuan akan berujung pada kekerasan yang tidak kunjung selesai.
Tindakan yang dilakukan manusia selalu memiliki landasan ideologis. Kekerasan yang dilakukan oleh kaum teroris juga dilandasi dengan keyakinan (truth-claim) bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar—bahkan dari sudut pandang agama. Dengan demikian, kita sesungguhnya berhadapan bukan hanya dengan tindakan kekerasan, tapi juga ideologi kekerasan dan mitos kebencian itu sendiri.
Penulis beranggapan bahwa kekerasan selalu lahir dari kontradiksi yang dihadapi manusia baik dalam tingkatan realitas (ekonomi, politik, sosial, budaya) konkrit maupun dalam tingkatan pemikiran. Ketimpangan antara menafsirkan realitas dan akar-akar persoalan yang ada dalam ranah objektif kepolitikan masyarakat dewasa ini membuat jawaban-jawaban yang ada diwujudkan dalam tindakan politik yang juga salah.
Sesungguhnya muara objektif antara kepentingan ekonomi-politik dan pemikiran ideologis akan menghasilkan kondisi yang dapat meminimalisir kekerasan. Jadi, ketimpangan pemikiran yang ada harus diluruskan dengan diimbangi dengan pemikiran yang objektif, yang mampu mendekonstruksi kepalsuan ideologi kekerasan yang mungkin dimiliki oleh kelompok sosial-politik.

Melawan Keyakinan Dengan Keyakinan

Perang pemikiran (ghaswul fikri) adalah tema kehidupan modern katika demokrasi yang dibawanya menyediakan ruang-ruang publik (public sphere) yang memungkinkan setiap individu dapat menyalurkan pemikirannya. Kontestasi wacana akan menguji mana ide-ide yang paling menarik dan mampu menjelaskan persoalan yang ada di masyarakat.
Dalam pengertian itu, perang melawan terorisme bukanlah benturan peradaban (clash of civilization)—sebagaimana dikatakan Huntington yang lebih mewakili ketakutan (oknum) penguasa Amerika Serikat sendiri. Perang terhadap terorisme harus dimaknai sebagai perang sipil di dalam peradaban manapun antara kaum ekstrimis yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan visi dan tujuan mereka dengan mayoritas kaum moderat yang menginginkan pekerjaan pendidikan, pelayanan kesehatan dan nasib yang diusahakan sesuai dengan keyakinan yang dipraktekkan. Perang terhadap teror tak akan menang jika pemikiran yang menginginkan keadilan dan demokrasi keyakinan tidak menang.
Pemerintah Indonesia terbukti selalu gagap dalam menghadapi kaum teroris karena mereka pada saat yang sama juga tidak mampu memenangkan suatu yang penting, yaitu memberi keyakinan pada rakyatnya bahwa mereka aman bukan hanya secara politik, tetapi juga ekonomi (kesejahteraan). Tambahan lagi, semaraknya pemikiran agama yang menyimpang dengan ideologi kekerasan yang dibawanya juga disebabkan oleh kemiskinan masyarakat yang semakin meluas. Rakyat yang kurang terdidik, karena memang mereka dibatasi dalam akses pendidikan, dan juga karena kurangnya pendidikan demokrasi yang mereka terima, membuat pemikiran anti-objektif semarak di masyarakat. Penjelasan yang sekenanya, tidak objektif, juga dibumbui dengan rasialisme dan sentimen kelompok, membuat ideologi kekerasan mudah merebak di masyarakat.
Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah juga lebih menekankan pada aspek politik keamanan (hard power). Pada hal yang paling dibutuhkan adalah pemahaman masyarakat tentang kehidupan keberagamaan. Keberagamaan yang hanya jadi ritualitas wantah dan cuma menjadi kesemarakan dalam media komersial seperti TV ternyata juga tidak mampu membawa pemahaman masyarakat pada hakekat agama sebenarnya. Pada titik inilah, potensi pemikiran fundamentalisme menemukan persemaiannya. Pemerintah terlalu banyak menghabiskan dana bagi pendekatan militeristik dan politik keamanan tersebut, dan tidak memperhatikan pentingnya pembangunan pendidikan dan penyadaran. Minimnya anggaran untuk pendidikan adalah suatu contoh nyata dari kelemahan itu.
Hal yang sama juga terjadi secara internasional. Dengan berakhirnya Perang Dingin, sebenarnya Amerika Serikat pernah tertarik dalam mengeluarkan anggarannya bagi pembangunan soft power-nya. Berbagai dana dikeluarkan untuk menarik perhatian masyarakat dunia tentang nilai-nilai demokrasi dan HAM yang menjadi warisan para pendirinya. Tetapi setelah peristiwa 11 September 2001, tindakan militeristik justru ditingkatkan. Bahkan biaya militer sebesar 400 kali lipat dibanding pengeluaran untuk pendekatan non-militer (Nye, 2004).

Membentuk Mental Kaum Muda

Kaum muda sebagai kalangan yang aktif dalam merespon perkembangan masyarakat, tentunya adalah tulang punggung dari gerakan perdamaian. Memperbanyak aktivitas intelektual adalah hakekat sesungguhnya dari proses pencarian akan kebenaran kehidupan untuk menuntaskan perubahan yang ada.
Kajian masalah sosial dan keberagamaan saat ini, sayangnya, semakin melemah. Seharusnya pemerintah dan pemimpin negeri ini melihat bahwa pola pikir dan pemahaman kaum muda sangatlah penting untuk melihat bagaimana arah bangsa ini ke depan. Pada saat ancaman kekerasan telah mengglobal dan melokal, harus ada benteng ideologis yang dapat menjadi kekuatan spiritual bagi serangan-serangan pemikiran sempit dan fanatisme keberagamaan.
Dalam konteks ini, pemahaman yang objektif dan mampu menjelaskan persoalan dapat dikatakan sebagai soft power (kekuatan lunak), tetapi imbasnya adalah kekuatan kemanusiaan yang dahsyat. Kekuatan militer dan semangat kekerasan akan kelihatan remeh pada saat masyarakat mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. “Soft power” adalah kemampuan yang dibangun dengan cara menarik (attract) ketimbang dengan memaksa (coercion). Ia muncul dari daya tarik suatu negara, budaya, idealisme politik, atau kebijakan yang dapat membuat masyarakat merasa nyaman baik secara kognitif maupun praktis. Kognitif dalam arti bahwa kaum muda dapat mengetahui realitas sesungguhnya, kesadarannya muncul, dan kehidupannya menjadi bergairah menatap masa depan. Hal ini membuat mereka bebas dari frustasi dan tak berpengetahuan (un-knowledgeness) yang mudah disusupi pemikiran-pemikiran menyimpang (fallacy). Praktis dalam arti, mereka dapat terlibat aktif dalam memecahkan persoalan bangsa, terlibat aktif dalam membangun kembali puing-puing kehancuran kehidupan sosial, kebangsaan, dan keberagamaan. Mereka dapat terlibat aktif dalam organisasi-organisasi kemanusiaan di masyarakat untuk mengatasi persoalan-persoalan pengangguran, anak jalanan, HIV/Aid, penyalahgunaan obat terlarang dan narkoba, hingga kampanye perdamaian dan kesetaraan manusia. Membangun komunitas ilmu pengetahuan dan gerakan penyadaran yang berstruktur kuat akan dapat menjadi tameng dari kaum teroris yang bahkan sudah punya struktur di kampung-kampung.***

Tidak ada komentar: