Sabtu, 25 Agustus 2007

(Catatanku): "KEBAHAGIAAN"

(1)
KEBAHAGIAAN adalah kesedihan yang terbuka kedoknya. Hari ini aku bangun pagi, dan kusadari bahwa waktu itu tetap berputar-putar di kepalaku seperti legenda. Hidupku sebagai seorang "petualang"--begitu mereka selalu bilang--hanya akan menunjukkan bahwa hari ini diriku bukan hanya semakin giat dalam melawan stagnasi. Sebagai seorang yang (menderita penyakit jiwa) obsesif-kompulsif, menulis adalah bagian dari kehidupanku, bahkan pagi ini saat terbangun dari tidur dan seakan kehidupan baru dimulai.

(2)
"Aku tak terbiasa bangun pagi dengan cara tidak mendapati dirimu di sisiku", dulu aku terbiasa berkirim sms seperti itu pada kekasihku. Tetapi jarak yang mirip lara telah membiasakan diriku untuk mewarnai kerinduan dengan kekasihku, Ratih. Jarak telah mengukur kerinduan dengan cara-cara yang berbeda. Tapi pagi ini, kehidupanku seperti baru--meski kubuka semua surat kabar dan tidak ada satupun tulisanku yang dimuat, tidak seperti seminggu sebelumnya. Juga tidak ada puisi,cerpen, atau esai kawan-kawanku. Tidak ada pula puisi kekasihku, karena ia hanya melihat bahwa puisi adalah sejenis kecentilan jika kamu memberikannya pada setiap orang.

(3)
Oh, kukira aku perlu mendefinisikan kesedihan. "Hidupmu secara totalitas adalah kesedihan", kata-kata itu berbisik di telingaku, "karena kamu adalah penulis, pengarang, pengeluh, dan penggugat".
Ah, sejak lama memang kusadari bahwa aku adalah orang sentimentil dan aku tidak menyesalinya karena yang telah terjadi tak perlu disesali, tak mungkin aku akan kembali...
Jadi hubungan antara kesedihan dan sentimentalitas seakan begitu dekat, mungkin tak terasakan atau tersadari.
Bukan. "Apa hanya karena aku memiliki banyak penjelasan dan merengkuh dunia dalam otakku lantas berarti aku merasa sedih karena dunia ini memang telah dikutuk menjadi kesedihan karena sedikit orang yang serakah telah mencabik-cabik kemanusiaan dengan memancangkan rasa kemunafikan, ketakutan, kepengecutan? Apakah dengan mengetahui bahwa hidup begitu menyedihkan lantas aku, sebuah agregat kecil dan sombong ini, harus kau kutuk menjadi orang yang sedih?", tanyaku di suatu malam.
Aku tidak mendapatkan jawaban, karena hanya kekasihku yang mengusap keningku dan membelai rambutku, dan mengatakan: "Dah lah Mas, cepetan bobok. Besok hari minggu, kita berjalan bersama anak-anak, jangan sampai telat".

(3)
Dan kamu salah. Ketika jam 06.00 pagi, setiap Hari Minggu, aku melihat kekasihku begitu berbahagia berkumpul bersama anak-anak kecil yang ceria, begitu telatennya mengajari mereka mengenal dunia melalui lagu-lagu dan permainan...aku sangat BAHAGIA. Hidupku adalah KEBAHAGIAAN, karena aku melihat Ratih kekasihku tersenyum, anak-anak juga begitu manja ingin mencubitnya, anak-anak membutuhkan perhatian bukan dengan cara memaksa dan berwajah murung... tapi dengan wajah tersenyum dan berbahagia.

(4)
Dan akhirnya hari ini aku mendapatkan kesimpulan: BAGAIMANAPUN, SENYUM ADALAH LAMBANG KEBAHAGIAAN YANG PALING VALID. KARENA KEBAHAGIAAN YANG DIEKSPRESIKAN DENAN CARA MENANGIS HANYA SEDIKIT, dan hanya terjadi dalam momen-momen tertentu: KEBAHAGIAAN YANG MENGHARUKAN.

Dan pada bentangan jarak yang menyiksa ini, aku masih berharap dia kirim sms: "Sayang, apakah agendamu hari ini? Jakarta kota yang memuakkan, kamu sendiri bilang seperti itu. Jadi, CEPAT PULANG!"***

Tidak ada komentar: