Selasa, 21 Agustus 2007

(Refleksi): PERCAYA PADA KEKUATAN CINTA


Oleh: Nurani Soyomukti

Di negeri ini cinta semakin mahal, kebencian semakin murah. Pada hal manusia diciptakan oleh Tuhan untuk saling berpasang-pasangan, untuk saling mengenal satu sama lain, untuk saling memahami, dan untuk menciptakan kehidupan (hubungan sosial) yang lebih baik. Fenomena cinta adalah fenomena yang bisa dilihat ketika hubungan itu menunjukkan tingkat kedamaian, keharmonisan, dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Tapi itu tak terjadi di sini. Cinta adalah misteri jika tanpa kemampuan untuk mengetahui.

Dan maka demikianlah, setelah melangkahkan kaki bersama seorang kekasih, misalnya, kita tidak tahu apakah cinta akan mengatakan pada kita tentang keabadian, suatu aras waktu yang, meskipun bisu, mampu mengatasi ruang dan jarak di mana makna kehidupanpun senantiasa diukur baik dengan jumlah bayangan keindahan, rencana-rencana, dan tindakan cinta. Terus terang, dalam banyak hal seseorang tidak bermaksud bermain-main (play around) terhadap apa yang telah diucapkan tentang kebesaran cinta, misalnya: “Aku cinta padamu”, sebagai komitmen untuk membangun cinta bersama, meskipun ekslusif dan tertutup di luar dua orang yang saling “mencintai”.

Kadang seseorang juga berfikir bahwa ia akan kecewa suatu saat kelak ketika tidak bisa mengabadikan lakon cinta yang telah disepakati bersama kekasihnya secara eksklusif. Tapi dari cerita cinta itu, mereka bisa berharap untuk belajar membuang penyakit narsisme dan egotisme kemanusiaan. Cinta menekan kecenderungan pada pemenuhan individual saja, suatu ruang yang membatasi gerak kasih yang tinggi. Mereka masih mengharap cinta akan mampu membantu menemukan identitas dan otonomi diri, sehingga tindakan yang dilakukan, baik tentang cinta berdua (eksklusif), maupun tentang cinta pada manusia secara universal, adalah kerelaan resiprokal secara sadar. Mereka yang benar-benar memahami cinta, benar-benar berusaha menghindar untuk memanfaatkan perasaan demi tujuan individual itu; dan tesa bahwa cinta adalah persoalan kepentingan individualis harus dibuang. Jadi benar-benar harus menyadari relasi yang dibangun bersama, apapun tindakan yang dilakukan bersama seorang kekasih harus didasari oleh ketahumenahuan (pengetahuan) intersubjektif berdasarkan moral, kebaikan, dan keindahan (beauty) bersama. Manusia memang harus hirau dan, nampaknya, harus berhasil dalam hal ini pada saat hidup benar-benar diterkam oleh berbagai kebutuhan (baik yang asli maupun yang palsu). Cinta harus mengatasinya bersama-sama.

Tapi orang yang punya pemahaman tentang konsep dan praktek cinta serta keindahan tidaklah banyak jumlahnya. Apalagi ada sistem besar dan tradisi-tradisi yang mengkampanyekan bahwa kemanusiaan dan parameter-parameter moral hanya dianggap kontras dengan logika-logika kapital, kekuasaan, dan nafsu semata, sehingga manusia sekarang ini diserang dengan ukuran-ukuran keindahan dan model-model moral baru yang latah dan demi mencapai kepuasan individual-egoistis itu.

Jarang sekali mereka, yang percaya begitu saja pada kata “Cinta”, bertanya: apakah lakon cinta yang kita bangun (baik dengan seorang kekasih, maupun dengan manusia universal) sudah ditegaskan dengan pemujaannya terhadap beauty, melancoly, dan Truth?

Betapa sulit mendatangkan dan memiliki negative capability, yaitu kemampuan untuk selalu berada dalam keadaan ragu, tidak menentu, dan misterius tanpa mengganggu keseimbangan jiwa dan tindakan cinta yang dipercaya dan disetujui bersama. Jika kita peka, hanya fikiran dan hati kitalah yang selalu diliputi keresahan (yang harus dijawab bersama-sama). Tingkat tertinggi dari cinta, sebetulnya, adalah bahwa suatu yang dianggap rendah (oleh orang lain di luar hubungan kasih) dan dianggap tidak memiliki nilai dapat menjadi suatu hal yang berarti. Things base and vile, holding quality/love can transpose to form and dignity.

Demikianlah adanya, kesulitan ini tentu saja akan terus berada dalam lakon kapitalisme seperti sekarang ini. Akibatnya, negative capability seperti itu belum seluruhnya diraih oleh manusia.

Tapi, bagi para pecinta yang serius, pada hakekatnya ia adalah suatu proses; keraguan, ketidakmenentuan; dan misteri amat bersahabat dengan proses. Jadi, persoalannya adalah bagaimana menciptakan sistem sosial, budaya, dan hubungan antar individu yang memungkinkan manusia mengalami pengalaman hidup yang membuat ia berpikir, merasa, dan bertindak berdasarkan kepeduliannya dengan Tuhan, alam, dan manusia lainnya. Proses itu akan membuat kita menjadi kreatif, berperasaan, dan percaya secara terus menerus pada keindahan yang dikandung oleh alam ciptaan yang maha Kuasa. Orang yang tidak punya negative capability tak akan kreatif, karena bagi mereka segala sesuatunya telah jelas, tidak menimbulkan keraguan dan tidak merupakan misteri. Jika memang proses kreatifitas identik dengan struggle for getting beauty, atau lebih tepatnya menciptakan suatu yang “layak” dan “elok” bagi kemanusiaan, maka apa yang telah dan akan kita tempuh sebagai manusia sejati haruslah menjadi nuansa cinta yang berbeda dengan spesies lain (binatang) yang tidak memiliki sense of beauty. Dalam logika kapitalistik, estetika adalah keindahan yang bersahabat dengan dinamika modal dan kepentingan mengumpulkan uang.

Kondisi-kondisi eksistensial manusia yang rindu keindahan sejati tidak begitu gampangnya menerima sesuatu yang tampak begitu saja: manusia kapitalistik yang dangkal dalam memandang materi (bentuk, ukuran, berat, warna, dan ukuran-ukuran materi yang lain) akan menerima apa yang didapat dari daya tangkap inderanya secara instan. Pada dasarnya ia adalah budak dunia, dia objek alam, pesuruh sejarah yang nilainya bagi kemanusiaan sebenarnya sangatlah rendah.

Siapa, di antara kita, yang tak setuju bahwa cinta harus mengandung unsur pembebasan, bukan dominasi atau penindasan. Cinta produktif memiliki elemen-elemen: perlindungan, tanggung jawab, penghormatan dan pengetahuan. Elemen-elemen inilah yang menjauhkan kepentingan sempit, termasuk libidinal and material needs saja dalam logika pertukaran komoditif. Rasa kasih yang didasari penguasaan, pengaturan, dan kepentingan adalah anti-“pengorbanan tulus”. Jika tujuan dan kepentingan tidak terpenuhi akan terjadi physical or pshycological violence dalam hubungan antar manusia yang bertentangan dengan dengan cinta (love) yang tulus (genuine, sincere, thrutful, honest, no pretention), bahkan akan terjadi tindakan yang pragmatis (licik) dan—dalam hubungan yang eksklusif—mudah “pindah ke lain hati”. suatu watak binatang yang meracuni jiwa-jiwa kemanusiaan dan kebaikan.

Sehingga harus dirumuskan kembali kisah kasih kemanusiaan dalam kehidupan kita. Cinta, bagaimanapun, perlu dirumuskan agar bisa dikomunikasikan dengan baik. Jika kita sama-sama sepakat tentang rumusan cinta (dan kehidupan), mungkin kita akan benar-benar mampu membangun cinta yang berbeda dari ketololan yang disusun oleh manusia tolol di muka bumi ini.

Pemikiran cinta sangat perlu, sebab toughtlessness dalam bertindak sama saja dengan kebodohan. Pencarian identitas eksistensial berkaitan dengan pengetahuan. Seorang hanya akan ‘mengenal’ sesuatu sejauh ia ‘mengasihinya’ (res tantum cognoscitur quantum diligitur). ’Mengenal’ di sini pertama-tama bukanlah aktifitas ‘mental pikiran’, karena kalau itu yang terjadi, hasilnya adalah ‘pengetahuan akal’ (‘ilm) dalam wujud dan gagasan di otak semata. Cinta yang hanya di otak, bukan di hati, adalah berbahaya. Mengenal dalam pengertian ”ma’rifa” mengikutsertakan hati nurani, dan hasilnya adalah pengetahuan batin yang akan mendorong kita melakukan tindakan yang bersumber dan bermuara pada pertimbangan-pertimbangan suara hati. Arahnya pasti pada apa saja yang baik dan mulia bagi manusia. Pengertian ‘pamrih’ tidak berlaku – inilah ‘mahaba’ (cinta-kasih) yang pusatnya bukanlah hawa nafsu si ‘ego’, melainkan Sang Hati Nurani. Keadilan menghendaki perasaan manusia yang bisa menjadi hunian bagi cinta yang tidak punya rumah….***

Tidak ada komentar: