Sabtu, 25 Agustus 2007

(Cerpen): "BUMI MANUSIA"

Oleh: Nurani Soyomukti


Aku bahagia, Ratih(ku)!
Engkau juga bahagia, bukan?
Akhirnya aku datang, dari kembaraku yang panjang, dan langsung menikahimu. Aku Kamajayamu sekarang.
Akhirnya hubungan kita menjadi resmi—tidak seperti waktu pertemuan kita dulu. Kini kita benar-benar sudah menikah. Kau bisa namakan ini sebagai sebuah kesuksesan yang besar. Kita telah diikat, Ratih. Seorang pengembara selalu pergi dan pasti akan kembali. Perkawinan ini bukanlah persundalan yang hipokrit; kau adalah istriku, kekasihku, bukan sundalku. Karena kita adalah manusia progresif yang mendorong komitmen, dan kita akan meretas tujuan dan cita-cita yang sama: Melahirkan anak-anak peradaban di atas bumi!

Engkau pasti ingat betapa sulitnya mewujudkan kesuksesan ini. Betapa sibuk kita mengisi waktu, aku selalu datang dari kembaraku untuk menemuimu, membawamu ke sebuah tempat yang tidak bisa mereka lihat. Lalu mereka curiga bahwa kita melakukan ‘kumpul kebo’. Dan kita hanya ngikik mendengarnya: Apakah dulu ketika Adam dan Hawa berjalan-jalan ke tempat yang jauh sambil memadu cinta, apakah itu juga kumpul kebo? (Oya, kalau mereka manusia pertama—siapakah yang menikahkan mereka? Dan siapakah yang melarang mereka untuk memadu cinta, bersetubuh, dan menuntaskan gundah gulana?).

Aku bukan ‘kebo’. Engkau juga bukan. Kita hanya dua pasang manusia yang dimabuk cinta. Kita adalah manusia beradab, terutama karena kita punya nafsu. Cinta kita adalah puisi. Puisi yang indah!

Sedangkan ‘kumpul kebo’ adalah frase yang kedengarannya kotor dan jorok, tak layak bagi keindahan puisiku, puisi kita.

Kucubit kamu, Ratih(ku)! Percayalah bahwa ini bukan mimpi. Ya, kita telah menikah. Kita telah berhasil, resmi. Sah. Dan puisi kita akan semakin indah, tak ada kata ‘kumpul kebo’ di baris manapun. Dan tak akan kutulis kata-kata kotor lainnya, bait-bait pertama maupun terakhir dari hubungan kita. Ini soal diksi dalam puisi, Sayang!

Artinya kita telah mengikat ikrar, diiringi kata-kata pak penghulu dalam upacara yang sakral itu: “Tubuh sepasang pengantin ini sebentar lagi akan menjadi puisi. Jadi mulai sekarang biarkanlah mereka berdua jadi keindahan dan kata-kata!”

Kau ingat awal pemberangkatanku menuju negeri cinta ini dulu? Aku melaut tanpa nahkoda… sampan kecil yang mengikuti elang laut menjauhi kabut… dan aku menyusuri selat-selat kenangan, meminta-minta susu pada perawan-perawan penunggu pelabuhan sepi di senja hari… Aku pernah bercerita bukan? Lalu kau tahu bahwa kepergianku bukan untuk mencari suatu hal yang belum pasti. Karena puisi adalah dunia tersendiri.

Aku menjumpaimu di sebuah pulau yang penduduknya sangat ramah dan mencintai setiap musim. Setiap kali aku datang untuk bercinta denganmu, dan aku selalu mampir setiap waktu. Kini aku akan selalu mampir untuk istriku.Lalu kau pasti akan bahagia bukan? Tentu, sayang. Aku juga. Saking bahagianya di awal November ini, meninggalkan hari-hari gugur bagai musim hujan, hidup kita mulai menjadi puisi; Masa depan yang dulu kita anggap sangat sulit seakan menjelma menjadi rangkaian kata yang penuh makna. Aneh, tapi ini nyata, sayang. Apakah menurutmu ini adalah kekuatan Cinta yang disakralkan oleh pernikahan?

*
“Mungkin cincin kawin inilah yang menyebabkan tubuhku menjadi puisi, Mas!”
Ratih mendekatkan jari-jarinya ke arah tangan suaminya, Broni. Malam itu mereka berdua sedang menikmati bulan madu.

“Entahlah. Tak usah dibahas sekarang, sayang. Pokoknya aku bahagia malam ini. Kamu juga, bukan?”

Dilingkarkan tangan kirinya pada pundak kekasihnya, sedang tangan kanannya menggenggam jemari yang dilingkari cincin kawin darinya beberapa hari yang lalu. Mereka sedang duduk mesra di sebuah kursi kayu, di pinggir laut, di depan beranda tempat penginapan yang disewanya, dekat ombak. Ya, di depannya ombak pantai memang bisa datang dan pergi, seakan menjadi saksi. Penginapan itu terletak di sebuah pulau yang jauh dari perkotaan, yang memiliki beranda menghadap pantai. Saat mereka berdua diam, sesekali mata mereka juga menatap pasir yang dirayapi buih ombak. Dan seperti ada buih sajak.

“Tapi aneh saja, Mas. Seakan yang ada di otak dan hatiku hanyalah kesenangan, segalanya adalah keindahan. Apakah menurutmu ini akan berakhir hingga kita pulang dari bulan madu ini, atau berlangsung dalam batas waktu tertentu?”

“Kita tidak menganggap bahwa Cinta kita adalah masalah keseimbangan hormonal. Dari dulu kita juga sudah sering bercinta, sebelum menikah, keindahan juga masih bersarang di kepala dan dada kita. Jadi kenapa kita harus mengharap tubuh kita akan menjadi sesuatu yang didustai kata-kata… Kita telah menikah, Ratihku. Hubungan kita sudah resmi. Kukira ini berkaitan dengan semangat. Kita juga tak akan disiksa oleh tubuh sampai kapanpun. Tubuh kita telah jadi puisi. Aku juga janji—dan ini adalah hasil pengembaraanku—bahwa kita akan dikendalikan oleh kata-kata. Selamanya.”

“Apakah itulah sebabnya Mas mengajakku untuk segera menikah? Agar kita menjadi puisi… dengan atau tanpa pernikahan pun kukira Mas tetap akan menjadi pengarang dan penulis yang sukses. Dengan atau tanpa menjadi suamiku, kamu akan tetap mampu merubah dunia menjadi puisi. Dan aku tetap akan menjadi kekasihmu. Mas sendiri dulu juga berjanji.”

“Entahlah, mungkin kamu benar. Tapi kukatakan padamu, sayang: kata-kataku, puisi kita, telah disakralkan dengan cara ini. Kata-kata adalah ibu kebudayaan dan peradaban. Ingat! Kita hidup di atas bumi. Kalau pernikahan adalah simbol budaya bumi, lebih baik kita menganggapnya sebagai sesuatu yang akan memberi kata-kata indah lebih banyak lagi. Dan dengan pernikahan ini aku berharap akan jadi penulis yang paling produktif dan kaya kata-kata…”

Mereka berdua diam. Ratih masih berusaha mengerti makna perkataan suaminya. Lalu beberapa detik kemudian ia telah berhasil. Setelahnya, bersamaan dengan datangnya buih ombak yang bergerak menuju ke kursi mereka (tapi tidak sampai), ia seperti terpesona oleh udara malam itu, dengan suaminya yang masing memeluknya. Penjelasan suaminya mempercepat keindahan pemandangan malam. Ia seperti aman dan tenang dalam hatinya.Broni sendiri kemudian mendekapnya erat. Lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Ratih. Dan berbisik:
“Aku berjanji: Seluruh hidupmu akan jadi puisi. Aku janji, Sayang,” sambil diciumnya telinga istrinya. Ratih bergetar. Malam seakan rontok di dadanya. Nafasnya naik turun, melenguh panjang.

“… Aku memang ingin jadi puisi, Mas. Sekarang juga, aku tak tahan lagi…” kata Ratih manja.
“Ya, sekarang. Dan selamanya… Makanya aku tak pernah menikahi orang yang salah. Kamu…, puisiku.”

Kata-kata itu membuat tubuh Ratih bergetar lebih lama seakan dia tak tahu apa yang terjadi. Hanya keinginan. Keinginan untuk meningkatkan kenyamanan dan mengenakkan jiwanya, bahkan ia sadar bahwa tubuhnya merasa butuh kehangatan. Broni mempererat pelukannya. Tapi Ratih tak mampu berkata. Ia diam… lalu ia menangis. Mungkin tangis kebahagiaan. Broni mengusap air mata itu dengan sentuhan, di pipi yang kemerahan.

Suasana hening, penuh romantika di dada. Kebahagiaan sangat stabil dalam puisi malam. Dalam puisi ombak. Puisi bintang. Puisi angin mendesis, yang berbisik di telinga Ratih: “Tidak boleh lagi kamu diciumnya lagi. Ia adalah milikmu, kalian harus saling berciuman. Sebab cinta di atas bumi adalah amanat moyangmu yang tiupannya dititipkan padaku sejak berabad-abad.”Lalu Broni melepas pelukan itu secara lembut. Tapi tangan mereka yang satunya masih saling menggenggam. Lalu dibelainya rambut kekasihnya, dan berkata sambil menatap mata indahnya: “Jadi katakana padaku sekarang, Sayang. Apakah kamu masih takut kalau tubuhmu selamanya jadi puisi?”Ratih menggelengkan kepala dan matanya masih menatap wajah suaminya. Perlahan Broni mendekatkan kepala perempuan itu padanya. Dikecup keningnya. (Ombak pecah di depan mereka. Lalu buih merayap ke arah daratan, tidak sampai lagi ke arah kaki-kaki kursi tempat mereka duduk berpagutan).

Malam semakin dingin dan mereka memutuskan untuk masuk ke penginapan, Penginapan yang seluruh bahannya telah berubah menjadi puisi ketika mereka masuk. Mereka memutuskan dalam hati masing-masing untuk bercumbu, untuk batas waktu yang tidak direncanakan.

Maka mulai saat itulah malam menjadi luruh, tapi sangat sakral. Semuanya sedang berubah menjadi puisi, ada yang sulit ada yang mudah. Lihatlah, kata-kata berpendaran dari langit, juga menyembul dari permukaan laut, ada yang melompat-lompat di sekitar gulungan ombak. Bergerak turun dari angkasa, bahan-bahan impian peradaban masa depan, menyebar ke bawah bagai hujan jatuh ke penginapan mereka, di atas kamar mereka. Berusaha masuk celah-celah kecil atau pori-pori udara.

Yang datang dari bulan membentuk kumpulan zat tipis bercahaya seperti selendang bidadari, mungkin tampak mirip pelangi kalau terjadi di siang hari. Jutaan kata juga datang dari arah laut membentuk barisan, dan gerakan mereka menjadi cepat ketika gelombang pecah. Ada yang melata mengikuti buih ombak.

(Lihatlah, kalau matamu mampu melakukannya, pemandangan malam itu mungkin adalah yang paling indah dari keindahan sepanjang waktu di bumi manusia … lebih indah dari lampu-lampu kota besar yang memendar jika dilihat dari gedung yang paling tinggi. Trilyunan kata barangkali, atau bahkan tak pernah dapat dihitung, memasuki kamar sepasang kekasih yang sedang bercinta di bulan madu. Di atas atap kamar mereka, kata-kata berhamburan seperti laron merubungi lampu neon).

Pusaran kata-kata itu berusaha menerobos masuk ke bawah melalui celah-celah genteng, bersama udara yang diberi ruang oleh susunan atap rumah penginapan. Tapi sebagian besar kata-kata juga berebut memasuki ventilasi jendela kamar mereka yang menghadap ke arah laut… Limpahan kata-kata itu berpendaran sebelum masuk, bingung mencari pasangan masing-masing. Yang ingin disusun adalah suatu makna, makna keindahan dalam percintaan.Ada sedikit kata-kata yang tidak menemukan pasangannya, mereka adalah yang bernasib sial, dan dipaksa angin untuk pergi mengembara ke arah lain, menjauhi kamar dan penginapan itu. Meninggalkan pulau itu, mungkin menuju rumah-rumah pelacuran di kota-kota, mungkin juga ke hutan belantara yang belum pernah dijamah manusia.

Tapi juga ada banyak kata yang terpaksa tidak bisa masuk kamar, tidak bisa menghinggapi tubuh dan jiwa pasangan yang sedang bercinta, tidak bisa menjangkiti hati dan pikiran mereka berdua. Mereka yang bernasib seperti itu hanya berpendaran, berputar-putar di luar jendela dan di atas genteng penginapan itu. Mungkin hanya menunggu dan mengintip.

Sementara dua tubuh yang menjadi puisi akan segera menyatu di atas ranjang, di dalam kamar itu. Menunaikan amanat moyangnya. Mungkin secara tidak sadar juga mengikuti petuah pak penghulu dalam upacara sakral beberapa hari sebelumnya. Dan malam benar-benar menjadi puisi. Udara mulai berubah dan itu menjadi tanda bahwa makna penuh percintaan akan tercapai. Didahului menghilangnya batas waktu dalam kesadaran, lalu keberadaan seluruh zat yang mulai lindap, kaya kata-kata, tapi tak terucap kecuali lewat rintihan dan (kadang) lenguhan nafas. Dua orang kekasih tidak tahu saat itu berada di mana, juga buta akan hamparan waktu. Indra kehidupan hanya mampu mengeja kata: SATU! SATU! SATU! Tidak kurang tidak lebih. Tidak besar tidak kecil. tidak jauh tapi dekat, dekat dengan keberadaan yang melayang. Tidak hidup tidak mati.Dalam momen yang singkat dan cepat, tapi bisa diulang lagi berkali-kali, bahkan ada dari trilyunan kata-kata itu yang memberi makna SATU pada otak dan jiwa mereka yang sempat tertangkap oleh kesadaran: yaitu, KEBODOHAN.

Mungkin itu adalah puncaknya malam itu. Tapi mereka selalu berusaha menegaskan dalam hati, dalam kesadaran yang tersisa dari nikmatnya kebodohan, bahwa tubuh mereka hanyalah puisi. Mereka juga masih bisa membatin bahwa waktu, jarak, dan ruang akan segera dimakan kepandaian. Apalagi mereka telah mempersiapkannya. Kini mereka merasa seperti budak dari kata-kata yang menjangkiti mereka malam itu sampai mereka telah melewati satu puncak yang pertama dari bulan madu di pulau itu… Mereka menuju ke kesadaran lagi. Tapi mereka masih merasa sebagai puisi.Mereka masih telanjang. Dalam berpelukan. Manja tanpa beban apa-apa!

**
Dan semua tahu ada sesuatu yang terulang. Yang melingkar mirip legenda atau misteri itu sendiri.

Lalu bumi manusia telah menyerahkan nasibnya pada musim yang memberi bunga pada kisah yang ada. Matahari mencuci tubuh bumi di danau hati seorang lelaki; dan pelangi menjadi tangga bagi bidadari cinta turun mensucikan nasib jiwa yang merana saat tubuh menjadi bebatuan berlumut sejak ribuan tahun yang lalu. Kekasihnya memendam rindu dengan menyaksikan tubuh sendiri yang tersiksa, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Kelenjar syahwat barangkali juga tidak pernah menelusuri alamat yang salah; kehendak selalu bicara; Kesedihan, tentu saja, bukan hanya perkara kegagalan keinginan: Tapi Tuhan sendiri telah mengirimkan cara-cara untuk diperbuat manusia. Dan dia harus menyepakati penerimaan yang kadang menyakitkan ketika keinginan selalu dipancing-pancing untuk menikmati segala hal yang tidak sanggup dilakukan.

Keinginan yang muluk-muluk mungkin hanya diungkap dari kebahagiaan yang dimiliki orang lain. Dengan jalan apapun ia hendak meniru cara mencapai kebahagiaan yang sama? Dan menganggap bahwa apa yang membahagiakan orang lain akan membahagiakannya? Ia lalu sadar bahwa, itulah jenis kekalahan yang menghantui jiwa!

Pada tahun-tahun berikutnya Ratih dan Broni masih bersama. Suatu waktu lelaki itu membelai rambut kekasihnya dan mengatakan suatu hal yang menegaskan hubungan kasihnya:
“Aku mencintaimu karena aku berpendapat bahwa kebahagiaan akan bercerita dari mulut liku-liku hidupku yang agak unik ini. Sedangkan persoalan yang remeh temeh adalah, bahwa aku memang senantiasa menginginkan darimu apa yang tidak kumiliki; misalnya, bibir manismu yang ingin kurapatkan pada bibirku… wajahmu yang manis tempat aku menatap waktu yang tiba-tiba menghilang. Maaf, semuanya bukanlah untuk menghamba pada kehendak, suatu amanat kakek nenekku yang harus kukemudikan. Aku hanya bisa berharap supaya engkau memelihara kebutuhan yang sama, dan juga memupuknya bagi musim-musim yang akan datang, karena cinta kita ini pada dasarnya adalah pelampiasan kebutuhan yang disepakati bersama.”

Ratih diam.

Ia hanya ingin mendengarkan, dan ingin menikmati belaian. Juga ingin membiarkan dirinya dipuja. Keduanya berpandangan mesra.“Ya, aku tetap tidak tahu kenapa aku selalu ingin berlama-lama menatap wajahmu. Dulu kau selalu malu-malu, menyembunyikannya dari pandangku. Lalu akhirnya musim tiba, kita tidak perlu sama-sama malu pada saat kita bersatu dalam ruang kebutuhan yang sebelumnya ditekan dan disembunyikan. Ohhh, entah kenapa aku selalu menikmati menatap wajahmu. Tak tahu apa yang sebenarnya aku cari dari keindahannya. Apakah aku mencari diriku sendiri? Apakah aku mencari Ibuku yang sudah mati? Apakah aku mencari rohku yang hilang? Aku tak tahu, Sayang….”
Kekasihnya lalu bertukas:
“Keinginan memang sulit sekali didefinisikan. Coba, apa yang kita cari dari kisah cinta ini? Semuanya akan kembali pada kebesaran hati kita untuk berpura-pura menolak ketidaktahumenahuan: Seolah hanya cinta yang melakukannya, tubuh dan jiwa tak pernah dipisahkan… apalagi dibohongi dan digadaikan demi rencana-rencana yang memalukan…”
Ia masih membiarkan dirinya dibelai. Tapi dia terus berkata: “Kukira kerelaan saja sudah cukup, Sayang. Meskipun kita dibatasi oleh teori-teori yang sebenarnya tidak perlu dihiraukan. Kerelaan saja, menurutku, sudah cukup. Tinggal bagaimana kita memelihara keterusterangan dan ketulusan sebaik-baiknya. Sebab di luar cinta ada “oknum jahat” berupa produk-produk dan aliran modal yang tidak berkaitan dengan cinta yang dijanjikan Tuhan pada kita.”

“Ya. Adam-Eva adalah dua manusia penemu cinta murni pertama kalinya yang tak ada hubungannya dengan bra, celana dalam, kosmetik dan obat pembesar payudara, uang, dan keangkuhan untuk menguasai orang lain. Mereka berdua sama-sama telanjang di Firdaus, serta menyelenggarakan cinta tanpa pamrih. Tidak ada status, tidak ada kelas sosial-ekonomi… Tidak ada perbedaan yang mengancam cinta mereka. Segalanya diserahkan pada ketulusan alamiah, bukan pada kecemasan dan kebencian yang mengganyang Sang Jiwa”.

Lalu keduanya juga sadar bahwa mereka telah telanjang di dalam ruangan itu. Telanjang lagi entah keberapa kalinya, untuk memadu keinginan yang sah dan sakral. Untuk menciptakan anak-anak yang pintar dan cerdas bagi peradaban mendatang.

***
Dan waktu akan terus berjalan.
Suatu saat Ratih bertanya lagi, sampai kapan tubuhnya akan tetap jadi puisi sementara suaminya selalu mengembara pada setiap musim dan akan selalu datang pada saat yang dijanjikan.

Broni selalu menjawab: Selamanya! Sampai kapanpun, seperti yang dikatakan kesetiaan.
Kini mereka masih terlentang di atas ranjang itu. Kekasihnya masih ingin dipeluk, dibelai, dan dibisiki kata-kata. Dia merasakan kenyamanan dalam kondisi itu. Kadang terlintas tentang yang bernama keindahan baru baginya, yaitu adalah sebuah keheranan. Dulu ia berpura-pura sebagai anak-anak yang menerima nasib. Kini dia adalah laki-laki yang ingin berterus terang tentang kenyataan.

“Kau adalah keindahan yang paling unik”, mulutnya berbisik, “Aku mengagumimu saat-saat kesepianku hadir, saat kau kira aku tak lagi menulis puisi, dan saat kau kira aku tak lagi bisa menangis dan tersenyum.”Laki-laki itu diam. Mulutnya masih berjarak satu inci dari telinga kekasihnya. Tangan kanannya memeluk tubuh istrinya. Beberapa saat kemudian ia kembali berbisik:
“O, keindahan! Tiap malam ia kupanggil, masa lalu dan masa akan datang menyatu dalam ketidaktahumenahuan pada arah angin malam. Bintang masih bisa bersinar dengan jelas di balik hatiku, mengintip jalanan menuju tempat perjanjian yang telah kita buat. Akupun pernah lama pergi, tapi aku yang terlanjur mencintaimu bisa menggantikannya dengan keindahan baruku di awal purnama itu.”

Wanita manis itu berkata lirih juga: “Jadi kau telah mengetahui, bahwa aku telah menjatuhkan pilihan pada nasib yang berdaulat sebesar secuil pengorbanan yang telah terlampaui. Kau dan puisimu kupilih bukan sekedar untuk menyediakan santapan jiwa bagiku, tapi bagi kehidupan seluruhnya yang masih semakin jelas.”

“Aku akan mencari lagi lebih luas ruang untuk mencipta keperluan yang masih saja dianggap remeh dan hina. Itu kuniati untukmu, sejak cinta di dunia ini mendasarkan diri pada norma-norma dekaden—akupun dengan sisa-sisa keringat harus menempuh cara yang berbeda. Namun, sebagai sebuah sarana dramatis untuk mendahulukan kegelisahanku, aku benar-benar bertuhan pada sepi untuk menuju pada pemenuhan tertinggi dari kebutuhan jiwa saat ini…“Kau menjadi keindahan yang menemaniku, keindahan yang sejak dulu kuharap-harapkan sejak aku belum mengenal apa-apa, kecuali bahwa waktu itu hidup hanyalah keinginan tanpa perasaan, serta airnya mengikuti kerendahan sungai kebijaksanaan… Lalu kau adalah keindahan yang kupahami lewat benang waktu dan logika kehendakku.

“Kau beri aku kehangatan… kau mengajariku menari, suatu yang tak pernah diajarkan oleh manusia dekaden dan ruang pengap dalam peradabanku. Kau semakin indah dalam kesepian yang kuciptakan sendiri, dan semakin mengagumkan… Ah, aku tak ingin mabuk, meskipun aku akan tetap menari dalam kesepian ini.”

Kekasihnya lalu membalikkan wajahnya. Masih dalam posisi tertidur di atas ranjang wanita itu mencium bibirnya. Lalu ia berbisik:
“Apa yang bagi kekacauan umumnya dirusak dan dibinasakan, aku tetap akan menerima harga keajaiban yang kau timpakan dalam kesunyian ini, meskipun menunggu pelunasan kehendak adalah perbuatan yang melelahkan. Aku tentu masih dapat menemukan kesedihan yang bertambah besar atas ketidakmenentuan ini; pada saat yang sama ungkapanmu tentang tragedi disambut oleh angin semilir (bagian dari keindahanku, Sayang?)—dan mungkin kita harus bisa menjelaskan makna kerinduan seperti ini: pengertian-pengertian yang menanam benih lebih banyak dan meruah bagi kekayaan jiwa (pondasi paling mendasar bagi bangunan cinta kita dalam hidup ini)…

“Jika kau menaikkan harga pengharapanmu pada kekuatan romantika cinta, kau ternyata juga memiliki piala indah yang mungkin akan kau persembahkan pada pengorbanan yang belum usai… Benarkan tidak ada pengorbanan cinta tanpa penerimaan luluh atas ungkapan-ungkapan tentang tragedi dari seorang kekasih (dalam ruang dekadensi maha luas ini)?”
Lelaki itu berkata:
“Dunia kita serba dingin dalam segala hal. Di sini, kasih, dan malam ini, keinginan bagai bulan yang lembut; kita nikmati saja nasi dan lauk pauk cinta di atas piring yang juga kedinginan, nasi dan lauk pauk hati kita, dan tubuh kita yang terlentang… kehendak kita yang kadang jalan…”
Wanita itu berbalik, wajahnya memandang mata lelakinya:“Tentang mata, laki-laki memang jarang tahu kalau ia sering diperhatikan; Tentang hati, kau tidak pernah mampu menandingi penantian perempuan. Tapi sebentar, mimpi-mimpiku yang kalaedoskopis kadang menceritakan tentang hamburger, jagung, ketela, dan bunga-bunga indah yang kujaga di taman kita. Dan resiko itu kuambil dari pada akhirnya kita, malam ini, dan malam-malam yang lain, saling terikat karena aku takut kehilangan… Semasa kepergianmu yang amat jauh, aku selalu menunggu malam itu dan malam-malam berikutnya. Malam-malam selalu menyatakan diri dalam kesunyian, Kekasihku! Dan malam ini, tentu saja, kau akan berlaku sebagai nabi…”

“Kematian hari-hari itu memang senantiasa mendekam pada jarak. Bukan kita yang menciptakan, tapi Tuhan barangkali. Kerinduan bagi cinta yang membara telah tertunda. Tetapi bukankah keabadian cinta bisa kita pelajari dari dunia yang dingin dalam segala hal? Dingin dalam segala rindu, kehidupan dan kematian yang ditimbulkannya. Malam ini kau dan aku bertemu, siapa tahu nanti jarum jam berputar tak searah, kau dan aku terbagi dari angka 1 sampai 12. tanpa bekas. Dan tuhan juga mampu menjatuhkan jam yang tergantung, sementara dinding bisa saja tak membekaskan apa-apa.”

“Tidak! Kematian tak harus diawali dengan kisah hidup setragis itu. Tidak. Pada malam semerah ini jangan mengatakan kemungkinan dan ketidakmungkinan, kasihku. Meskipun Tuhan tak pernah mengirimkan kertas bagi keputusan-keputusan yang dibuat, biarlah takdir menjadi bahan cemoohan yang agak masuk akal. Cinta, keturunan, uang, nafsu, biarlah rontok secara alami.

“Tapi sebentar, sayang! Cinta, uang dan nafsu tidak perlu diucapkan bersama; biarlah mereka menjadi persekongkolan yang paling kita benci di luar malam ini…”

“Tentu saja mereka adalah pilihan-pilihan, kekasihku! Mereka memiliki logika dan mulutnya sendiri-sendiri. Dan kita selalu menilai kebajikan—KEINDAHAN!—dan kebusukan di dunia ini. Kita harus memilih yang terbaik bagi kesucian tubuh dan jiwa kita, kasihku!”

“Ya. Tidak kah kau mendengar, cinta telah mengatakan pada keindahan: “Setiap manusia membutuhkan diriku (seolah berupa satu!). Tapi benarkah aku adalah pengertian yang paling tolol sebagaimana mereka sangka?”; Uang juga selalu menyombongkan dirinya dengan berkata: “Bagaimana kusediakan hidup ini jika diriku yang selalu diidolakan tiba-tiba tidak memiliki tuan?... aku bisa mengatasi segalanya termasuk cinta!”; Dan nafsu berkomentar dari balik dada kita: “Segalanya telah jelas, bahwa aku mampu memburu; malam-malam, siang-siang, mengukiri badan—dan wujudmu selalu dipermainkan! Waktu, jarak, ruang yang terpancing akhirnya menjelma jadi sesal yang melingkar!”Wanita itu melenguhkan nafasnya. Ia seperti memahami sebuah arti baru. “Dari mana kamu mendengarnya? Apakah perjalanmu menjumpai banyak hal tentang keindahan dan maukah kau memberikannya untukku?... Mungkin katamu benar, kasihku. Tidak ada yang kekal, seperti aku yang malam ini tiba-tiba sangat jatuh cinta padamu. Perpisahan dan pertemuan barangkali telah mengatur segalanya.”

“Ya, untuk apa kita cari siksa bila pilihan-pilihan menjadi tanda-tanda hayat yang kelak jadi maut. Kini aku telah kembali membawa keindahanmu sendiri!...” Ia mengangkat kepalanya hingga wajahnya berada di atas wanita yang terlentang itu. Ia pandangi wajah kekasihnya, ia seperti mencari, tetapi sebenarnya ia hanya dihinggapi keinginan yang diujarkan sebelum dia kembali. “Baiklah, biar kumulai cintaku malam ini. Biar kukecup, pertama-tama, keningmu”, ia mengecup. “Di sini kau senantiasa memikirkanku saat perpisahan, khususnya waktu terpanjang yang hilang.”

“Panjatlah malam dengan menyebut Dewa-Dewi...,” ucap wanita itu lirih, dan tubuhnya menggeliat.

Laki-laki itu tubuhnya juga bergetar. “Ya. Mereka dapat merasakan keindahan kita. Dewa…Dewi…Oh, Tuhan!”

“Ohhh…”

Demikianlah. Mereka menegaskan hidup dan peradaban. Cinta yang diselenggarakan dengan tingkah suci persetubuhan.

“Hmm… tahukah kamu. Mimpi-mimpiku yang kaleidoskopis itu… menghitung hari, menghitung bulan… dan akhirnya aku terjemput. Aku bahagia karena kau telah menjadikanku sebagai istrimu, kekasihmu! Apakah kita baru saja menyerahkan satu tetes air hidup pada Tuhan? Tidakkah tuhan akan berkomentar tentang cinta kita ini?”

Mereka masih saling merangkul, masih sama-sama telanjang.“Tuhan telah menyediakan argumen-argumen yang melekat pada waktu. Dalam mulut manusia, bahasa kadang tak mampu membikin maknanya sendiri. Kata-kata menguap di atas aspal jalanan yang tertempa matahari…”

“Mungkin juga menguap di kamar ini, juga di luar rumah ini…,” potongnya, “aku merasakannya.”

“Bahasa juga jadi kematian. Dan kita juga melihat manusia menyuarakan firman-firman dari langit. Kita malu untuk menyerah, bahkan mungkin sesudah keindahan malam ini belum sampai babak terakhir. Oh, melelahkan sekali… Argumen-argumen apa yang kita buat? Aku telah menjadi pencerita, tapi mereka ingin jadi pendheta dan nabi yang sukses. PREDIKAT! Kekasihku, tapi musik selalu menyanyikan wajahmu di telingaku, suara-suara yang menghantui kemiskinan dan penderitaan… Kekasihku, O, kekasihku,” bisikknya, “Dan kau biarkan aku menjadi pengembara. Dalam pengembaraanku kudengar argumen-argumen besar yang hanya berujung pada peran. Tubuh mereka memerankan kerja bagi penderitaan jiwa, dan menambah kecongkakan orang lain. Pada hal ada peran yang lebih besar: argument-argumen warung yang kadang lebih rasional dari pada berita radio dan Koran yang menyusun kepintaran atas kebodohan orang lain. PASAR, suatu peran yang dianggap paling mendekati Tuhan pada abad ini, adalah argument-argumen yang benar-benar congkak bagi pertemuan mereka yang melakukan transaksi bagi tuhan barunya masing-masing.”

“Wahai, wahai. Cintaku benar-benar suci padamu kekasihku. Aku senang jadi puisi. Sedangkan uang bukanlah kepasrahanmu dan kepasrahanku. Mungkin ia bisa jadi TV, bangunan-bangunan baru, dan benda-benda purba yang kuharap tidak terkandung dalam perutku kelak. Anak cucu kita akan menjadi MANUSIA ANGKASA, yang telah mensucikan peradaban dengan mimpi dan puisi. Aku ingin anakku mewarisi jiwa bapaknya, seorang pengembara yang selalu rindu bagi kepulangannya..”

“Aku ingin anakku seperti ibunya, yang pasrah pada Tuhan, bukan pada pelukan jaman yang berbadan kecut dan bernafsu besar. Ia kelak akan menjadi wanita yang patuh pada suaminya; dan selalu menyambut hangat kepulangan kembaranya…”

“Ya Dewa, Ya Dewi. Ya Tuhan…”

“Ya Tuhan…”

“Ya Tuhan.”


“Tetes kehidupan membuktikan bahwa keringat tidak harus kecut bagi kehidupan selanjutnya, anak-anak peradaban yang baik pasti akan lahir.”“Biarlah aku kembali memanjat malam ini bagi baya yang akan dilahirkan bagi perutmu kelak, kasihku! O, kekasihku!”
“Ohhh..”

Dan peradaban baru benar-benar lahir. Mungkin sekarang masih di jiwanya, kelak itu akan terbukti nyata.

Lembah Prigi-Trenggalek, 27 Februari 2005.

Tidak ada komentar: