Selasa, 21 Agustus 2007

(Cerpen) BURONAN

OLEH: Nurani Soyomukti

Drrrrrrrrttttt…!
Drrrrtttttttttt…!
HP-nya bergetar ketika ia sedang duduk santai di kursi, membuka-buka buku tebal di atas mejanya. Dihampirinya benda yang tergeletak di atas ranjang, di samping bantal. Satu pesan masuk. Dipencetnya tombol baca. Lalu muncul pesan yang ada di dalamnya: Kirimi aq 'Ibunda'-nya Gorky . Aq lagi blenk, separo lagi mungkin bisa kuselesaikan novel ini. I miss u.

'Aku rindu padamu!'

Ia sendiri juga merasakan kerinduan, bahkan menggetarkan dadanya sehabis membaca kalimat terakhir di tilpun selulernya itu. Ia menarik nafas. Kekasihnya sedang berada di suatu tempat yang jauh darinya. Tempat yang dia tidak tahu, tempat yang hanya bisa dibayangkannya. Tempat persembunyian di mana kekasihnya itu harus selamat, tidak boleh tertangkap seperti dua orang kawannya. Lalu ingatannya terbang ke hari-hari sebelumnya..

Dua minggu yang lalu segerombolan massa berjumlah ratusan orang, berbendera merah dan membentangkan sepanduk panjang, telah melakukan aksi pembakaran terhadap bendera partai politik yang oleh pemerintah dianggap sah. Dia sendiri sempat menyaksikan sebentar barisan massa mahasiswa, buruh, dan orang-orang muda perkotaan yang berbaju lusuh dan mirip preman itu melintas di sebuah jalan.
Waktu itu ia lewat bersama teman kuliahnya, dan di melihat kekasihnya yang sedang sibuk mengatur barisan masih sempat melambaikan padanya. Ia sendiri sedang menuju kampus untuk mengikuti kuliah.
Lalu ia berharap bahwa sore harinya ia bisa menemani kekasihnya melepas lelah, di teras rumah kosnya, atau pada malam harinya di warung-warung lesehan pinggir jalan.
Tetapi tepat jam satu siangnya, ia dengan mata kepala sendiri melihat dan mendengar berita di sebuah TV swasta bahwa situasi politik ibukota memanas karena aksi massa yang di pimpin kekasihnya itu bentrok dengan aparat. Lima orang luka-luka. Dua orang aparat bocor kepalanya.
Bentrokan terjadi karena massa aksi telah membakar bendera partai politik yang sah. Ya, sah! Dua dari tiga orang eksekutor aksi, pembawa bendera, pembawa bensin, sudah tertangkap. Pembakar bendera berhasil melarikan diri. Kekasihnya dan beberapa kawan yang bertanggung jawab juga melakukan evakuasi. Lalu melarikan diri dan bersembunyi. Dua orang diantaranya sudah tertangkap.

Tinggal kekasihnya dan satu orang lagi yang masih menjadi buron.
Ia mendapat berita bahwa Polisi juga telah mendatangi beberapa orang yang ikut aksi, menangkapnya lalu mengintrograsi. Tetapi setelah di interograsi mereka dipulangkan karena mereka bukanlah orang yang bertanggung jawab, tetapi untuk dikorek keterangannya tentang keberadaan yang melarikan diri dan bersembunyi.
Gadis cantik itu menarik nafas lagi. Beberapa orang yang menyembunyikan diri sudah tertangkap. Semula ia begitu resah tentang keberadaan kekasihnya. Dimanakah ia berada?
Lalu seseorang yang belum dikenalnya mendatangi kosnya. Orang itu mengaku kawan kekasihnya. Ia mengatakan bahwa kekasihnya aman di suatu tempat yang tidak bisa disebutkan.
"Ia tidak boleh tertangkap, itu kesepakatan kawan-kawan kami. Sebab ini berkaitan dengan keberlangsungan gerakan kami ini."
Wanita itu bertanya, "Apakah ia tidak bisa menghubungiku lewat HP?"
"Sementara tidak bisa. Dia berada di suatu tempat di mana tidak ada sinyal. Ia ada di luar kota , tepatnya di desa yang sepi", kata lelaki itu, "Yang jelas kekasih kamu aman. Dia tidak boleh di penjara. Mungkin belum. Mungkin juga dia tak akan kurus. Karena yang menjaganya ramah dan baik".
"Sampaikan salamku padanya. Aku kangen dengannya", ucap gadis itu ketika laki-laki berambut gondrong itu akan meninggalkan kosnya. Ia menduga orang itu bertugas sebagai kurir, mungkin teman baik kekasihnya.

Dalam hari-hari sesudahnya dia tidak bisa menghilangkan rasa resahnya. Hari-hari yang membuat dia hanya bisa bertanya. Posisi kekasihnya memang tidak begitu jauh, tapi tak jelas dimana. Jarak membuat rindu.
Mungkin lebih baik kalau orang yang dirindukannya ikut tertangkap; Ia masih bisa bertemu dengan cara membesuknya di kantor polisi kalau kekasihnya ditahan. Kangennya akan terbalas karena bisa melihat orang yang dicintainya, bisa menggenggam tangannya lama, atau bahkan berciuman kalau tidak ada orang yang melihatnya di tempat pembesukan.
Dia telah mencoba kirim sms. Pending. Tidak terkirim karena, seperti dikatakan temannya tadi, HP yang dipegang kekasihnya ternyata tidak ada sinyalnya.

Hari telah berjalan.
Dia hanya bisa bertanya pada kawan-kawan kekasihnya baik bertemu secara langsung maupun lewat sms atau tilpun. Intinya tetap sama, seperti yang dikatakan lelaki gondrong yang mendatanginya tempo hari, bahwa kekasihnya tidak boleh diketahui oleh siapapun—dan ditambahkan bahwa ia sedang aman.
"Bahkan kekasihnya sendiri tidak boleh tahu keberadaannya?", bisiknya.
Dia mencoba memancing dengan pertanyaan kenapa dirinya tidak boleh tahu keberadaannya. Seseorang yang merupakan kawan organisasi kekasihnya, tapi tidak masuk target operasi, mengatakan: "Itu sudah kesepakatan kolektif kami. Yang jelas kerja organisasi harus di tata, dan tidak boleh ada proses hukum. Dan itu akan terjadi kalau semua pelaku dan pimpinan yang bertanggung jawab tidak tertangkap, sehingga tidak akan ada penyidikan".
Ia juga mencoba menanyakan suatu hal yang bersifat emosional dan pribadi. "Apakah seorang yang menjadi kekasih tidak boleh mengetahui semua tentang orang yang dicintai dan mencintainya? Apakah itu tidak mengurangi kepercayaan?", tulisnya lewat sms seorang kawan kekasihnya, yang juga ia kenal meskipun tidak begitu akrab.
Tapi orang yang ditanyainya lewat sms itu menjawab, "Cinta berdua adalah cinta eksklusif. Cinta dalam gerakan adalah Cinta untuk banyak orang, Cinta yang menjadi semangat perjuangan. Che Guevara mengatakan: The highest stage of love is REVOLUTION!".
Dan dia tahu, sms itu mengakhiri pertanyaannya tentang hal-hal yang bersifat prinsip. Kekasihnya dikejar-kejar juga karena memperjuangkan sebuah prinsip, perjuangan, dan tindakan yang dipilih. Memang untuk alasan itulah ia mencintai kekasihnya, pemuda yang berbeda dibanding pemuda-pemuda lainnya dan teman-teman kuliahnya.
Ia mengerti. Hidup. Kontradiksi. Cinta. Revolusi.
Ia paham.
Sebagaimana ia memahami kata-kata, pikiran, dan bahkan puisi-puisi kekasihnya.

Tapi prinsip itu tak mampu membunuh kerinduan. Emosi bukan rasio.
Hari-hari, jam-jam, dan detik-detiknya semakin diserang oleh kerinduan. Bukan peristiwa pembakaran yang jadi masalahnya. Tetapi jarak yang membuat ia rindu. Kerjaannya hanya kuliah, tapi itu tidak tiap hari. Mungkin lebih banyak di kamar, dan membuka-buka bukunya, juga buku kekasihnya yang dititipkan padanya karena terlalu banyak. Juga puisi-puisi kekasihnya yang selalu disimpannya.

Hari kedua puluh dari peristiwa aksi pembakaran bendera itu, pesan kekasihnya telah membuat HP-nya bergetar. Di layar benda itu tertulis "Samanku". Hatinya bahagia, lalu ia segera memencet tombol "baca", dan kemudian dibacanya pesan yang ada secara cermat: "Horeee, sinyalnya dah ada. Aku udah pindah dari persembunyian pertama. Kita dah bisa komunikasi, meski tanpa ketemu. Aku kangen kamu, kita harus sabar."
Dia sudah selesai membaca pesan itu. Dia tersenyum, merasa lucu karena dalam kondisi seperti itu kekasihnya masih ceria, setidaknya dapat dilihat dari tulisan sms-nya. Seakan hidup adalah permainan. Seakan politik dan negara bisa diperlakukan dengan tersenyum dan tertawa. Bahkan pemberontak juga terdiri dari orang-orang yang bebas tersenyum, pikirnya.
Maka ia merasa rindu, rindu yang mirip kesabaran dalam dada yang bertambah. Ternyata kekasihnya bisa menghadapi pelariannya dengan santai. Iapun tersenyum.
Dan dia memutuskan untuk mendengar suara kekasihnya. Dan dia memencet tombol bergambar tilpun. Diletakkan HP-nya di dekat telinganya. Dia menunggu, lalu berkata: "Halo…?? Kamu dimana ini?…Keadaanmu gimana?". Lalu dia diam, mendengarkan kekasihnya di seberang sana . Mungkin kekasihnya berkata panjang, cerita tentang keadaannya di sana , tentang kerinduannya, juga keinginannya.
"Aku juga", kata wanita itu sambil bersandar di dinding kamarnya. Mungkin kekasihnya baru mengatakan bahwa ia sedang rindu, "Lalu kapan menurut kamu ini semua akan selesai? Bisa gak kita ketemu?"
Dia diam lagi menyimak perkataan kekasihnya di seberang. Ada bayangan di pikirannya tentang tempat bersembunyi kekasihnya itu. "Baik, akan aku persiapkan. Kapan orangnya datang?", dia bertanya. Mendengarkan perkataan kekasihnya lagi. Lalu dia berkata: "Hati-hati. Aku juga kangen kamu!". Lalu dipencetnya salah satu tombol HP-nya.
Ia tampak sedikit puas.
*
Dia segera mencari-cari buku yang dimaksudkan oleh kekasihnya. Dia berpikir suatu saat kekasihnya akan menghadiahi sebuah novel, bukan hanya puisi. Hari itu wajahnya ceria. Dia mengingat betul kapan hari ulang tahunnya. Dan ia mengambil spidol berwarna merah. Melingkari sebuah angka di kalender yang terpampang di dinding kamarnya.

April, 2006

Tidak ada komentar: