Selasa, 21 Agustus 2007

(Gagasan): TINGGALKAN CINTA EKSKLUSIF, TEGASKAN CINTA UNIVERSAL: CINTA MENURUT KARL MARX



Oleh: Nurani Soyomukti


Cinta Versus Kapitalisme

Ungkapan terpenting lain dari Marx, yang mungkin bisa mewakili seluruh idealisme humanisnya, adalah:

Mari kita mengasumsikan manusia menjadi manusia dan hubungannya dengan dunia menjadi hubungan yang manusiawi. Kemudian cinta hanya dapat ditukar dengan cinta, kepercayaan dengan kepercayaan, dan sebagainya. Jika Anda ingin mempengaruhi orang lain, Anda harus memiliki pengaruh yang menstimulir dan bersemangat pada orang lain. Setiap hubungan yang Anda miliki dengan orang lain dan dengan alam pasti merupakan ungkapan khusus yang berkaitan dengan tujuan keinginan Anda, tujuan hidup pribadi Anda yang nyata. Jika Anda mencintai tanpa membangkitkan cinta, yakni jika Anda tidak dapat, dengan memanifestasikan diri Anda sebagai orang yang mencintai, membuat diri Anda sebagai orang yang dicintai, maka cinta Anda tumpul dan mengenaskan.

Seabenarnya bukan hanya Marx, para nabi dan filsuf nampaknya sama-sama sepakat bahwa Cinta adalah esensi manusia yang terpenting. Setelah watak manusia adalah makhluk yang berpikir, nampaknya hal ini belum cukup kalau tidak didasari oleh Cinta (agape): ini adalah syarat untuk menjadi manusia. Marx nampaknya mendefinisikan cinta sebagai ungkapan manusia terhadap dunianya (orang lain dan alam). Tesis yang mendasari pemikiran Marx adalah bahwa dalam kondisi kepemilikan pribadi tidak terdapat cinta; sehingga keadilan ekonomi-politik dan pemerataan akses-akses pemenuhan kebutuhan hidup dianggap lebih dekat dengan substansi cinta.

Ketimpangan sosial karena ketimpangan kepemilikan alat produksi tidak kondusif bagi termanifestasikannya cinta. (Tidak ada Cinta selama orang hanya disibukkan untuk mengurusi kebutuhan materinya dengan pertukaran jual-beli kapitalistik: Cinta dibatasi oleh klaim-klaim kepemilikan pribadi.) Bagaimanapun, cinta adalah ungkapan khusus yang memanifestasikan “tujuan hidup manusia yang nyata” itu. Kemurnian cinta tidak akan ada kalau manusia teralienasi dari hubungan produksi yang timpang, karena alienasi ini terjadi dalam hubungan manusia dengan objeknya. Cinta pada dasarnya adalah kemampuan untuk memberi, atau setidaknya untuk berbagi dengan orang lain.

Perasaan manusia secara alamiah dibentuk oleh objek di luar perasaan itu. Akan tetapi subjek dan objek tidak bisa dipisahkan kalau manusia berani kembali ke dalam watak alamiahnya dan meninggalkan hubungan kepemilikan pribadinya. Sehingga adalah penting untuk menegaskan bahwa—meskipun juga sering diungkapkan dalam lagu-lagu atau puisi pop—“cinta itu buta”; dalam pengertian bahwa cinta itu tidak mengenal status (ekonomi-politik), jenis kelamin, ras, agama, dan lain-lain: “cinta hanya dapat dipertukarkan dengan cinta”, kata Marx. Perlu dicatat bahwa Marx membicarakan cinta, sebagaimana konsep alienasi yang ia rumuskan, secara filosofis dan bukan secara psikologis.

Sedangkan basis material cinta akan terpenuhi bila secara ekonomi-politik tidak ada ketimpangan kelas. Cinta memerlukan basis materi untuk tidak menjadi suatu konsep yang utopis dan ide-ide kacangan sebagaimana diperdengarkan dalam lip-service para eli-elit dan politisi penipu rakyat atau penyanyi-penyanyi dan para entertainer kapitalis. Pasalnya, meskipun mereka menjual suara-suara bahwa mereka akan memperjuangkan rakyat, ternyata mereka tidak mau merubah hubungan material-produktif di masyarakat. Mereka justru konservatif dan anti-perubahan ketika posisinya yang elitis membuat mereka bisa mendapat kemudahan hidup dengan mengatasnamakan “wakil rakyat”; sementara kebijakan yang mereka buat justru membuat rakyat menderita. Ini sekaligus untuk menegaskan bahwa materialisme-historis Karl Marx masih cukup relevan sebagai analisa dan perjuangan bagi perubahan yang mendasar menuju keadilan.

Dari sini saya menyimpulkan bahwa Marx telah menunjukkan kontradiksi dasar dari cita-cita Cinta dan hubungan sosial: Kepemilikan Pribadi, Individualisme, Liberalisme, dan aspek ketidaksadaran dalam menganalisa hubungan sosial itu.

Orang boleh berkata (dan mengejek), ‘’apa yang bisa didiskusikan dengan cinta’’. Tapi nampaknya tetap perlu untuk membicarakannya sebab manusia butuh pengetahuan, tentang apapun. Mungkin mereka juga mengejek romantisme dan kata-kata indah: karena, mewakili kalangan yang pesimis-apatis, mungkin mereka terbiasa melihat kenyataan bahwa kata-kata indah selalu menghiasi dan menjadi aroma dalam dinamika kapital; kata-kata indah menjadi alat dan komoditas pasaran, iklan, kepura-puraan artis film dan sinetron. Masyarakat disuguhi estetika yang bapak-ibunya adalah modal. Mereka belum membayangkan masyarakat selain masyarakat kapitalisme: mereka, manusia massa dewasa ini, jarang yang berpikir dan merasa, atau merenung, tentang hakekat cinta. Akhirnya mereka apatis dan tidak lagi percaya dengan cinta, dan menempuh cara-cara yang justru menjauhi nilai-nilai holistis dari cinta itu sendiri. Akibatnya, pelarian filosofis orang-orang korban sistem mengarah pada hal-hal berupa ikut arus secara membuta, atau menyatakan kebejadan sistem dan kemanusiaan dengan cara menjadikan diri sebagai pelaku yang asal-asalan. Banyak orang menjadi pelacur, maling, pembunuh, dan lain-lain hanya karena mereka apatis dalam menghadapi keadaan yang seolah-olah semuanya “bejad”. Adagium “Jaman edan, yen ra edan ra melu keduman” (jaman sudah gila dan rusak, kalau nggak ikut rusak tidak akan mendapatkan sesuatu yang kita inginkan) merupakan ide yang mewakili kalangan itu. Pelarian ini adalah akibat dari ketidakpercayaan masyarakat pada cinta, kebersamaan, kebajikan, serta mengilusi mereka bahwa percuma diadakan perjuangan untuk mengembalikan makna cinta sejati dalam sistem sosial ini. Dan apa yang kita lihat dari hari ke hari? Amoralitas, kanibalisme, dekadensi, degenerasi, kehancuran lingkungan kemanusiaan dan alam semakin merajalela.

Tapi, dalam kondisi pesimisme sosial-budaya seperti itu, tetap masih ada sosialisasi tentang makna dan esensi cinta secara benar dalam masyarakat. Sehingga dunia saat ini butuh propagandis-propagandis cinta yang militan, bukan sebagai artis atau pelacur di majalah-majalah, koran dan TV. Aparat-aparat kapital itu hanya menunjukkan pemaknaan mereka yang “tidak karuan” terhadap cinta, yang justru menjadi propagandis penindasan dan akselerator dehumanisasi. Telah lama muncul istilah ‘’pacaran’’—ditunjukkan dengan agresifitas perburuan (hunting) antar lawan jenis dalam kesemarakan remaja kita, yang tetap mengatasnamakan cinta… cinta yang benar-benar “buta”.

Jadi, selain ada orang-orang yang pesimis sekali terhadap cinta dan keindahan, juga ada orang yang optimis. Sementara masyarakat kapitalis menciptakan manusia pemuja keindahan secara membuta berdasarkan logika kapital dan buaian-buaian iklan. Kreasi keindahan yang diciptakan dalam logika pencarian keuntungan dan akumulasi kapital demi kemewahan dan kemudahan hidup golongan penumpuk modal telah mengkondisikan manusia mengalami estetisasi kehidupan sehari-hari, atau membuat pengaburan atas perasaan dikotomis antara kebahagiaan dan penderitaan: manusia bahagia dalam penderitaannya, menderita dalam kebahagiaannya ataupun puas melihat kebahagiaan orang lain. Inilah corak masyarakat yang dirayakan sebagai modernitas itu: Hasil dari kontradiksi kapitalisme yang berupa kesenjangan kelas ekonomi-politik diestetisasi menjadi kemampuan untuk menerima begitu saja yang hadir bertubi-tubi sebagai humor, erotika, kesedihan, kebahagiaan; dan semuanya bercampuraduk menjadi estetika yang berganti-ganti tiap detik: manusia menjagi gila dalam ketidaksadarannya— sebentar ketawa, sebentar marah, sebentar sedih, sebentar bahagia dari situasi iklan TV yang berganti-ganti dengan sinetron, humor, tragedi, serta acara-acara yang berganti-ganti sebagai kegilaan yang berubah-ubah dalam kesemarakan pasar yang ramai barang-barang konsumen. Tawa, tangis, kesedihan, kemarahan, humor, senyum, air mata, juga menjadi barang dagangan yang menjadi hiburan. –Dalam kapitalisme dewasa ini segalanya menjadi komoditas, termasuk cinta: dan di antara mereka ada yang pesimis, bahwa cinta tidak ada... Tapi mereka masih memungkiri bahwa mereka hanyalah spesies biasa yang kehilangan ancangan filsafat. Inilah the death of phylosophy itu.

Kedalaman hidup, makna cinta sejati, sulit ditemukan dalam manusia kapitalis jika tidak ada perjuangan yang konsisten menuju sistem lain. Karena mereka tidak bisa berpikir banyak di luar hubungan kepemilikan pribadi serta upaya-upaya dan tindakan-tindakan untuk mengatur hubungan pertukaran diri (tubuh dan jiwa) dalam percaturan kapitalistik. Bahwa diri adalah modal, bahwa tubuh, kerja, dan perannya, adalah pertukaran yang diwadahi oleh klaim-klaim kepemilikan pribadi. Pada hal cinta adalah kebebasan untuk dibatasi selain kerelaan; tidak ada cinta sejati selama manusia menganggap bahwa dirinya adalah miliknya sendiri tetapi sebenarnya terasing. Kemanusiaan dan cinta adalah “menjadi”, dan bukan “memiliki”.

Jadi, kapitalisme mengembalikan manusia pada wilayah kedalaman id dan ego-nya yang paling liar, bukan alami pada tingkat konformitas alamiahnya dengan individu lain, alam dan Tuhan. Akhirnya, manusia kembali pada kebinatangannya yang lebih buruk dari pada jaman (komune) primitif. Sebagaimana dipercaya oleh banyak ilmuwan, agamawan, tokoh-tokoh humanis dan filsuf, kapitalisme adalah kesalahan sejarah umat manusia.

Perawan Manis: Melawan Kapitalis

Cinta, dalam masyarakat kapitalis dewasa ini, setidaknya bukan hanya diteriakkan oleh para nabi, filsuf, agamawan-agamawan pembebas, tetapi, celakanya, juga oleh mahasiswa kacangan; dipropagandakan dan dipresentasikan oleh para pahlawan religius, spiritual dan moral cabul untuk mempertahankan tatanan kapitalisme ataupun feudalisme yang telah mapan, juga oleh tokoh-tokoh yang sedemikian runyam seperti artis (sekaligus pelacur borjuis yang lebih dihormati dari pada pelacur miskin), penjahat negara, dan si ideot. Cinta palsu dalam kapitalisme hadir untuk mengembangkan kontrol jasmani, mental dan emosional sebagai bagian dari proses peradaban yang didesain oleh para pemilik modal. Penumpuk modal adalah pemimpin dan penguasa peradaban kapitalisme. Dinamika dominasi masyarakat industri kapitalis yang bersifat manipulatif terhadap kebutuhan, ide-ide, dan idealisme keadilan memberikan peluang bagi cinta sejati untuk diubah menjadi perasaan romantik temporal dan kepentingan pragmatik dalam semarak konsumerisme dan kapitalisasi budaya estetis-hedonis, hasil dari perluasan pekerjaan dalam propaganda iklan, marketing, desain industri dan pertunjukan komersial untuk mendatangkan estetika cinta baru sebagaimana dirancang oleh para propagandis kapitalisme; tujuannya: mencari keuntungan, mengakumulasi kapital: untuk dengan mudahnya melampiaskan instink hewaniahnya.

Hanya dengan menganalisa hubungan produksi masyarakat, pertama-tama perjuangkan menuju cinta dan kemanusiaan (keadilan ekonomi-politik) akan menemukan pendasaran ide dan materinya. Syarat-syarat terjadinya perubahan adalah adanya kesadaran historisnya. Kesadaran masyarakat barangkali telah dianggap kalah dengan kapasitas untuk memanipulasi imajinasi dan ide-ide; tapi masyarakat yang sadar akan terus bergerak, dan semakin cepat ketika kondisi materialnya terpenuhi. Bukankah kebutuhan-kebutuhan itu (meskipun kadang, kata Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man adalah, semu) selalu memerlukan pemenuhan-pemenuhan; sementara orang, misalnya menurut Freud, akan neurotik ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi: mekanisme sublimasi inilah yang bisa diarahkan pada kesadaran kelas ekonomi-politik bagi perjuangan menciptakan masyarakat adil nantinya.

Sehingga basis material Cinta dan kemanusiaan akan dapat ditemukan kembali dalam masyarakat ketika pemuasan kebutuhan adalah suatu keharusan yang mewujudkan diri menjadi gerakan-gerakan penuntut pemenuhan kebutuhan, ketika itu tidak harus dimonopoli oleh minoritas borjuis; jadi, bukan sebagai pesan-pesan film Hollywood dan nyanyian-nyanyian populer itu, tetapi sebagai gerakan orang-orang yang menuntut keadilan atau membangun struktur sosial yang memungkinkan cinta menjadi benih-benih kemanusiaan universal. Hanya cintalah nampaknya yang peduli pada harga BBM, tarif dasar listrik, dan kesejahteraan umat manusia. Material cinta telah terbukti bergerak di berbagai wilayah dunia, dari Seattle sampai Genoa, dari Chiapas sampai Bogota, dari Korea menuju ke Asia Tenggara dan menyebar ke seluruh penjuru jagad. Setidaknya, di awal milenium ini, gerakan perlawanan terhadap kebencian yang sesungguhnya. Kaum progresif sudah berani memimpin masyarakat untuk berbicara tentang sistem alternatif di luar kapitalisme: Another World Is Possible! Dengan menunjukkan strategi dan taktik untuk mencapainya, pastilah kemenangannya akan cepat terwujud.

Gejala-gejala dunia telah mencatat berbagai pertentangan kelas: di satu sisi para kapitalis internasional (mulai dari yang menggerakkan koorporasi sejagad demi mengakumulasi keuntungan dengan menjejalkan produk-produk ke otak dan mulut konsumen pasif sampai borjuis yang mempropagandakan ide-ide neo-liberal dan imperialisme baru untuk melapangkan cara akumulasi kapital internasional dengan bantuan militer, entertainmen dan periklanan) terus beroperasi mendompleng IMF dan WTO untuk menghancurkan otoritas negara dalam melindungi ekonomi-politik rakyatnya melalui program structural adjustment (SAP) dalam utang luar negeri negara-negara miskin (seperti Indonesia) yang dipergunakan oleh kapitalis domestik untuk memanfaatkan keuntungan demi stabilitas kelas sosialnya. Sementara di sisi lain, gerakan buruh, orang miskin, petani, intelektual dan mahasiswa progresif masih berlangsung di berbagai sektor untuk menuntut keadilan—jumlahnya semakin masif dari waktu ke waktu. Dalam situasi seperti ini kemanusiaan dan cinta sejati hanya dapat diperoleh dengan meneriakkan—dari puisi Wiji Thukul—: “Hanya ada satu kata: Lawan!”

Tidak ada komentar: