Sabtu, 25 Agustus 2007

(Puisi): GLOBALISASI

Oleh: Nurani Soyomukti


01 Januari 2004,
Virus belum teridentifikasi melayang-layang di udara
Tak tertembus mata kita
Dan aku bosan membayangkan sajak tentang dukamu menangis, meraung-raung, menjerit-jerit. Bait-bait curianmu pasti terdesak prasangka tanpa voltase keimanan
--karena itulah, kau takut menjadi pahlawan abad ini?
Dunia mengobral kata-kata murahan.
Etalase.
Dunia iklan.
Sajak-sajak artifisialmu yang baru kau baca di layar TV… aku yakin semua akan tertolak dalam kesepianmu.

Virus-virus peradaban melayang-layang di udara
Juga tak terdeteksi oleh mesin komputermu
Cuma gosip murahan yang akan berkembang, yang kini masih kau simpan rapi dalam fail-fail yang hanya bisa dibuka saat sisa air hujan sudah mengering. Dan kembang plastik dalam puisi, hanyalah lambing sepi: Bukan lambing Cinta murni!

Cinta, dalam mimpi-mimpi di dunia ketiga, adalah uluran tanganmu yang membekaskan dendam.
Keakraban harus mampus dalam dikotomi. Jarak begitu jauh di antara jurang ideologi.
Cinta, dalam mimpi-mimpi dunia sajakku, adalah dongeng-dongeng seribu harapan pada segenap episode dari pulau-pulau terpencil dalam aorta: darah akan terus mengalir membawa sisa-sisa tragedi yang terjadi.

Kita tiba di abad dua puluh satu, bisikmu.
Dan malam akan datang dengan hawa rindu dendam, yang lari tunggang langgang, mengombinasikan angan-angan orang di pinggir jalan dan rumah-rumah sebesar detik-detik waktu, dengan atap-atap beterbangan.
Rindu dendam pun berhamburan.
Bulan yang merayap di atas pohon-pohon duren perkasa adalah kesunyian.
Bintang yang merayap di atas dua hati terbuai adalah kehampaan.
Jengkerik yang bernyanyi mengiringi perselingkuhan mendobrak angin malam kembali ke kamar peradaban menunggu.
Semak-semak kecil aset pivotal bagi kain cinta yang semakin transparan.
Dan lihatlah mereka berdua yang berkaca pada kabut, tanpa busana dan pikiran.
Malam ini kita tak lagi berada di kegelapan, angin kan senantiasa menjenguk bulan yang terpenjara, bisik seorang dari mereka. Lalu mereka berjalan bergandengan melanjutkan menikmati malam.
Dan ada kekeringan nyata di antara gegap gempita orang-orang membangun rumah sewa di sepanjang perjalanan kemelaratan. Di dalamnya, noda-noda yang tercipta dilengkapi dengan obat perangsang, serta ada guci-guci arak berserakan.
Di jalan lain, mulut-mulut berkeliaran mencari kawan bermain, sambil berkata tentang alat kelaminnya yang telah mengencingi bumi yang tak lagi murni.
Di sebuah meja rumah penginapan juga ada irisan hati yang tak layak disajikan di atas piring dan mangkuk makan malam, kecuali dengan rayuan iklan kebohongan yang menjiplak khotbah-khotbah setan yang juga kelaparan pada alamnya sendiri.
Dan alangkah suburnya pohon-pohon paha manusia-manusia besi yang terbuka, pada etalase-etalase, yang menggantikan padi dan kebutuhan sehari-hari.

01 Januari 2005,
Mungkin aku terlalu pandai menyambut kedatangnmu, di abad dua satu yang katamu ada bulan-bulan memerah jambu
Beberapa porsi menu pesta yang kau sajikan untuk menyambut sejarah,
yang kau bilang tak dapat dimakan usia,
kubanting tanpa kata-kata,
tanpa puisi jiwa.
Kau hendak menggunduli kepalaku
Tapi aku merasa bukanlah anak atau darah dagingmu
Aku hanya kau temukan di persimpangan jalan kekolotan. Nafasku berbau hutan, dan aku hanyalah bocah yang akhirnya terbuang dari peradaban semak belukar.

Dan sepertinya tahun ini layar bioskop masih akan memproyeksikan tebalnya gincu merahmu. Pada hal aku telah puas mengecupmu sebelum memulai adegan.
--sepertinya gedung bioskop juga akan terbakar.

Di dalam rumahmu, praduga kejang pada interlude.
Iklan TV mengiringi jarum jam, sempoyongan.
(Egak egok egak egok egak egok egak egok..
pengayuh becak jamanpun sempoyongan.
Lalu kau buang besi-besi tua itu ke samudra Indonesia,
sebelum memulai kisah selanjutnya!).


(Jakarta, 2004).

Tidak ada komentar: