Selasa, 21 Agustus 2007

(Puisi): DUNIA ITU GILA



Oleh: Nurani Soyomukti


Aku hanya dapat mengingat masa itu, sebuah masa membangun hubungan cinta eksklusif, yang sering dinamakan orang sebagai PACARAN. Pacaran biasanya dianggap sebagai masa di mana kita akan memasuki jenjang pernikahan, kadang mirip dusta, kadang mirip coba; tapi, bagiku, lebih banyak hanya bisa bercita-cita.....

"Dunia itu gila", kata pacarku.
Aku masih ingat malam itu, rabu jam dua dini hari, ketika bulan sudah lelah bertengger di atar rumah yang di dalam salah satu kamarnya banyak buku-buku.
"Tidak", kataku, "Jangan bilang seperti itu sebab ini tengah malam dan kalau kita ketahuan di rumah ini berduaan, maka oran-orang akan menggeropyok kita karena kita disangka kumpul kebo."
"Justru itulah yang aku maksud, bahwa banyak orang sudah gila karena mereka melarang kita bercinta di rumah ini."
"Soalnya mereka bukan kita", kataku. Lalu aku menciumnya.
Pacarku membalas ciumanku dan kami saling berpagutan, seakan melupakan malam.
Tapi tiba-tiba terdengar di luar langkah manusia yang berbunyi "srekk, srekkk..".
Pacarku bertanya, "Suara apa itu?"
"Itu suara sandal yang bergesekan dengan tanah di depan rumah kita."
"Sandal manusia atau…?"
"Mungkin sandal hantu."
"Sandal orang gila!!", katanya ketus.
"Ah, sudahlah. Mungkin sandal hantu arwah orang gila yang mati."
"Jangan bikin takut, dong!", katanya sambil mencubitku, lalu merapatkan pelukannya padaku. Dan kamu berciuman erat.
"Mau bercinta lagi?", tanyaku, sambil kuelus-elus lehernya hingga ke bawah dada.
"Sudah malam, ah."
"Salah kamu. Sebentar lagi pagi!"
"Dan matahari akan bersinar… lalu akan banyak orang-orang gila menjalankan aktivitasnya lagi. Kita juga akan menjalani ritualitas kita masing-masing."
"Jangan begitu dong, Sayang. Kalau semua orang gila mereka tidak akan bisa membaca dan memahami tulisan-tulisanmu."
"Hmmm…"
Dia memejamkan mata. Kupeluk tubuhnya di atas kasur yang berbaring di lantai rumah itu.
"Jam berapa sekarang?", tanyanya tiba-tiba.
"Jam setengah tiga. Sudahlah, kita tidur saja menanti matahari."
"Aku nggak bisa tidur."
"Mikir apa?"
Pacarku diam tidak berkata. Dia terpejam agak lama.
Aku bertanya: "Kamu tidur apa memikirkan sesuatu?"
Pacarku tidak menjawab.
"Pasti kamu memikirkan sesuatu… Ngomong dong!"
"Tidak. Aku tidak ingin gila!"
"Ah, sudahlah. Aku juga tak ingin, kok. Ya udah, tidur saja", kataku ketus dengan menyimpan rasa sedikit marah dalam hati. Lalu aku lepaskan pelukanku dari tubuhnya. Aku berbalik, memberikan punggungku untuk membelakanginya. Aku ingin tidur, lalu bangun dan melihat matahari yang pasti sudah muncul jam enam pagi. Sebab waktu itu musim kemarau.
"Kamu marah?", tanyanya tanpa merubah posisi tubuh sedikitpun, "Kalau marah kamu pasti melepaskan pelukanmu padaku. Kalau marah kamu selalu tidak mau menyentuhku. Bahkan kamu juga menjauh dariku dan tidak mau menemuiki, meskipun paling lama dua hari. Kalau marah kamu mirip orang gila.
Dia diam sebentar, lalu berkata lagi, "Huh, dasar. Sudah kubilang banyak orang yang gila. Dan kamu seperti anak kecil."
"Aku selalu gila jika kamu tidak menjawab pertanyaanku…", kataku enteng dengan mata masih terpejam dan posisi tubuh yang tidak berubah. Mungkin dia juga terpejam saat mengatakan ucapannya tadi.
"Akhir-akhir ini kamu seperti memikirkan suatu hal. Tapi ketika aku tanya tentang hal itu kamu selalu mengalihkan perhatian. Selalu diam, atau berkata 'sudahlah, sayang aku bisa menanggungnya sendiri!'. Itu memuakkan sekali. Itu mengingkari aku sebagai parar kamu."
"Aku tidak mengingkarimu."
"Kau mengingkariku dengan cara tidak pernah mendiskusikan suatu hal yang kau pikirkan."
"Kamu tidak suka membicarakan tentang hal yang aku pikirkan."
Kali ini aku membalikkan wajah dan badanku. Dengan agak mengangkat kepalaku aku berkata: "Apa kamu bilang?! Aku selalu baca tulisan-tulisanmu, esai-esaimu, puisi-puisimu, semuanya. Bahkan aku mengklipingnya… aku juga ingin membantumu menerbitkan sebuah buku…"
"Aku tidak mengingkari itu!"
"Lalu apa?", kuturunkan nada kataku. Aku agak ngantuk, pacarku nampaknya juga.
"Ini soal kita."
"Menurutku aku sangat mencintaimu. Aku juga mencintai tulisan-tulisanmu. Maksudku, aku juga suka apa yang kau sampaikan dalam tulisanmu, pikiranmu."
"Kau tidak tahu apa yang kupikirkan."
"Tahu."
"Apa?"
"..bahwa dunia gila. Aku membaca tulisanmu yang berjudul 'Kegilaan Modernitas' dan kuulangi berkali-kali. Tapi kukira modernitasnya yang gila, bukan orang-orangnya. Tepatnya mereka memiliki banyak pengalaman baru yang berbeda-beda. Kalau toh orang-orangnya gila, mungkin tidak sebagian, seperti orang yang tidak menyadari bahwa sandalnya menimbulkan suara keras di malam hari saat banyak orang tidur tadi. Dan bukankah ia tak tahu kalau kita mendengarkan? Tahukah ia kalau kita baru saja bercinta?.. mungkin ia tidak peduli, bahkan dengan suara sandalnya sendiri. Kukira ia tergesa-gesa karena ia pulang larut malam dan istrinya sudah menunggu diranjang."
"Dia punya istri, istrinya punya suami. Mereka pasti saling peduli", ucapnya.
Lalu pacarku diam.
Aku menatap wajahnya, matanya terpejam. Aku juga diam; tapi aku sedang mengira-ngira apa yang sebenarnya dipikirkan pacarku, dan apa yang sedang terjadi. Aku masih menatap wajahnya, dan tanganku memeluk dia yang berbaring dan terpejam. Kupandangi wajah pacarku, ia kelihatan cantik sekali. Saat terpejam bulu matanya nampak panjang. Aku mencintainya… aku mencintainya… selamanya, batinku penuh kejujuran.
Lalu aku mencium pipinya, lalu telinganya.
Ia diam. Nampak memikirkan sesuatu. Lalu dengan jelas ia berkata sebelum membalikkan badannya membelakangiku: "Kita yang sebenarnya gila!"
Aku diam. Kupikirkan apa maksud perkataannya. Sudah berkali-kali malam itu dia mengatakan tentang suatu kegilaan. Orang-orang gila! Semua orang gila! Sandal orang atau hantu gila! Modernitas gila! Lalu, 'kita gila'. Aku dan dia gila! Dunia itu gila! Aku tidak habis pikir tentang hal ini. Aku tidak tahu apa maksudnya.
Sayangnya aku sudah mengantuk sekali. 'Dunia gila' aku bawa ke dalam mimpi. Aku tidur kira-kira jam setengah empat saat aku juga tidak tahu apakah pacarku sudah tidur apa belum. Mungkin aku sangat lelah: sepulang dari lembur jam sepuluh malam aku langsung ke rumah karena aku tahu pacarku sudah menunggu di sana tanpa sepengetahuan para tetangga. Aku datang tergesa-gesa untuk menemuinya. Ketika aku tiba, ia sedang menghadapi labtopnya di kamarku yang banyak buku-buku. Lalu kami makan bersama dan setelah itu aku lupa, mulai jam berapa kami bercinta.

Ketika jam 10.00 pagi aku bangun, pacarku sudah tak ada di sampingku. Kutemukan selembar kertas bertuliskan: "HANYA ORANG GILA YANG BERCINTA TIAP WAKTU TANPA SEGERA MEMBICARAKAN PERNIKAHAN!"
Juga kuraih dan kubaca koran hari itu yang sudah ada di kamarku. Kucari apakah tulisan pacarku dimuat hari itu.
Ternyata tulisannya dimuat, aku baca namanya di bawah tulisan yang menjadi judul artikel pada lembaran koran itu: "Kegilaan Modernitas Vs. Revitalisasi Tradisi". Di bawah tulisan itu kubaca identita penulis: "Penulis adalah perempuan umur 25 tahun yang ingin segera dinikahi pacarnya".
Aku tersenyum dalam hati.
Kubanting koran itu di atas meja.
Aku akan menelpon pacarku dan akan kuajak menikah. Secepatnya!

* Yogyakarta , 8 April 2005

1 komentar:

nulis yuuuk!!! mengatakan...

mantab gan..........
http://satrakita.blogspot.com/2010/09/puisi.html
http://kitanulis.blogspot.com/