Sabtu, 25 Agustus 2007

(Esai): PENGARANG YANG MATI ATAU LUPA DIRI ALIAS PINGSAN?

Oleh: Nurani Soyomukti

Esai Saudari Maya Susiani berjudul “Kematian Pengarang sebagai Peringatan” di harian SURYA (Minggu, 15/07/2007) menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Tulisan tersebut berusaha mengklarifikasi apa yang pernah ditegaskan oleh filsuf dan pakar semiotik Roland Barthes yang mengumumkan “kematian pengarang”. Klarifikasi penulis dikaitkan dengan pemahaman umum yang berkembang dengan menganggap bahwa “kematian pengarang” lebih banyak ditafsirkan sebagai hilangnya tanggungjawab atas pengaruh apapun dari karya yang ditulisnya.
Sekarang ini budaya literer tanah air bisa dikatakan mengalami kemajuan jika dilihat dari kian berkurangnya jumlah orang yang buta huruf, meningkatnya kebiasaan membaca dan menulis, serta menjamurnya berbagai macam lembaga penerbitan media baik koran, tabloid, majalah, hingga penerbit buku. Salah satu efek dari tumbuhnya institusi penerbitan tersebut juga melahirkan banyak pengarang yang mencoba eksis dalam dunia kepenulisan, bahkan tidak jarang yang menggantungkan eksistensi hidupnya (semata-mata) dari mengarang atau menulis.
Penulis-penulis baru, terutama dari kalangan kaum muda (mahasiswa), bermunculan dan saling bersaing berebut eksistensi dalam dunia penulisan. Para esais, penyair, cerpenis, kolumnis, dan bahkan reporter lepas terus bersaing agar tulisannya dimuat di media dan dapat memapankan namanya dalam dunia kepengarangan ini. Tetapi di satu sisi, persaingan ini juga telah membawa dampak pada pragmatisme intelektual dan kepengarangan yang dimiliki. Inilah yang kemudian mengakibatkan kondisi memprihatinkan dalam budaya literer kita. Ternyata semaraknya gairah menulis dan mengarang di kalangan muda hanya berkutat pada upaya meraih eksistensi, dan tak tersisa sama sekali idealisme ataupun komitmen sosial kepengarangan.
Dari sinilah nampaknya harus dilihat bahwa selain sebagai proses melontarkan nilai keindahan, nilai ideologis, maupun nilai idealisme pengarangnya, sesungguhnya menulis/mengarang tidak lebih dari proses dan kegiatan produksi ekonomis baik dari para pengarang, penerbit, toko buku, maupun masyarakatnya. Apalagi dalam masyarakat kapitalistik sekarang ini, dunia literer adalah sebuah industri. Buku, misalnya, bukan hanya struktur makna dari tulisan yang ada, tetapi juga komoditi yang diproduksi penerbit dan dijual di pasaran untuk mencari keuntungan. Karya tulis bukan hanya merupakan kumpulan teks-teks atau kata-kata; ia adalah lahan bisnis yang mempekerjakan orang-orang tertentu untuk menghasilkan komoditas yang dikonsumsi oleh pembaca untuk suatu keuntungan.
Penulis bukan hanya transposer (pengubah) struktur mental trans-individual, mereka juga para pekerja yang diupah oleh penerbit untuk menghasilkan komoditi yang ingin dijual. Bahkan Karl Marx sebagai pemikir yang intens dalam melakukan analisa terhadap kapitalisme, dalam Theories of Surplus Values ia juga mengatakan bahwa “seorang penulis adalah pekerja, tak sampai hanya sebatas penghasil gagasan, tetapi hanya sebatas memperkaya penerbit, sebatas buruh yang bekerja demi upah”.
Pertanyaan terhadap para penulis menyangkut hubungan produktif di zaman kapitalis sekarang ini memang patut dipandang secara dialektis. Para pengarang terikat dengan kedudukannya secara material dalam hubungan produksi, bahkan biasanya juga dari eksistensi kelas. Sastrawan rata-rata adalah mereka yang berasal dari latar belakang kelas yang memungkinkan mereka memiliki waktu luang, mendapatkan pendidikan dan akses informasi dan ilmu pengetahuan, juga memiliki akses dengan penerbit (kapitalis perbukuan atau media). Tesis ini semakin kuat ketika belakangan dunia kepengarangan diisi oleh kalangan artis selebritis, kalangan yang benar-benar telah menikmati kelimpahan ekonomis sehingga memiliki waktu luang untuk menulis, belajar menulis, atau sekedar menghasilkan tulisan (buku harian, biografi, dll).
Memang tidak ada yang meragukan bahwa penulis adalah bagian dari kaum intelektual dipahami sebagai orang yang ‘pintar’, ‘banyak pengetahuan’, ‘pandai menggambarkan realitas’. Bahkan lebih jauh lagi penulis dianggap ‘orang hebat’, ‘begawan’ seperti di dongeng-dongeng kuno, ‘bermutu’, ‘bermartabat’, dan kadang juga mendapat sebutan-sebutan lain seperti ‘pemikir’, ‘filsuf’, dan lain sebagainya.
Hal itu terjadi karena kaum itu dianggap memiliki pengetahuan dan mau ngomong tentang realitas yang lebih luas di luar dirinya, tetapi juga hubungannya dengan orang lain, masyarakat, bangsa dan Negara. Sebagai intelektual, penulis juga merupakan orang yang suka melontarkan gagasannya tentang masyarakat, mampu menghubungkan suatu konsep dan gambaran-gambaran yang ada tentang masyarakat dan lingkungan—sehingga dia dianggap ‘hebat’ karena (dianggap) mampu dan mau menggunakan waktu untuk ngomong tentang persoalan yang lebih besar. Kalau manusia “biasa” dalam ruang-waktunya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan (dan memikirkan) dirinya sendiri, misalnya bagaimana bisa makan, minum, atau sekedar membikin kegiatan yang berguna bagi kepuasan dan kesenangan diri (‘heppy-heppy’, ‘dugem-dugeman’); maka intelektual (dianggap) manusia yang dengan tidak menafikan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, masih sempat atau (bahkan) menghabiskan waktunya untuk berpikir, menganalisa, dan dalam hal tertentu menghasilkan solusi atau bahkan bukan hanya menulis, tetapi juga menyusun kekuatan dan strategi taktik untuk mewujudkan sesuatu yang lebih adil, objektif, dan tidak kontradiktif. Yang terakhir inilah yang disebut penulis progresif, yang tidak hanya menulis untuk tujuan pragmatis-individualis tetapi berkomitmen dan turut bertindak untuk perubahan masyarakat yang lebih baik.
Memang, penulis dan kaum intelektual banyak lahir dari orang-orang yang secara ekonomi cukup serta memiliki banyak waktu luang; dan bukan orang-orang miskin yang harus menghabiskan hari-harinya untuk bekerja sekedar untuk bertahan hidup atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar seperti makan, sekolah anak, membangun rumah, dan lain sebagainya. Tidak mungkin kaum miskin akan ngomong jauh-jauh tentang masyarakat, alam, dan lingkungan yang lebih luas karena ruang dan waktunya sangat terbatas dalam sistem hubungan produksi yang menghisap.
Maka salah satu tanggungjawab sosial penulis sebenarnya adalah memahami persoalan-persoalan masyarakat dengan menyadari posisinya tidak lahir dari ruang hampa. Ia harus sadar bahwa kondisi yang membuat dirinya memiliki banyak waktu luang dan banyak belajar adalah karena hasil kerja kaum miskin dalam hubungan ekonomi yang bersifat saling berhubungan (dialektis). Dia juga harus sadar bahwa posisi itu mampu membuatnya memetik kata-kata dari kehidupan karena pikirannya telah didekatkan dengan realitas, dan seharusnya adalah realitas total dari hubungan-hubungan yang ada dalam kehidupan nyata. Ia memetik kata-kata dan menyusun konsep-konsep untuk menggambarkan kehidupan. Sedangkan kehidupan sosial dibatasi oleh hubungan yang ekonomis di mana tidak mungkin posisi sosial dan kekayaan material sebagai landasan situasi riil yang mendatangkan imajinasi dan pengetahuan semata-mata terjadi begitu saja, pasti ada yang bekerja dan memberikan situasi material itu.
Dari situlah tanggungjawab dan komitmen sosial pengarang tertagih, baik disadari atau tidak. Ketenaran dan pendapatan besar yang didapat penulis biasanya membuatnya hilang ingatan. Ia tak sadar bahwa ia mendapatkan kata-kata karena telah mengeksploitasi realitas kemiskinan yang melahirkan kontradiksi yang ia tangkap. Dan ia mustahil mampu berpikir jika tidak ada realitas sosial konkrit, yang menagihnya untuk bersikap (baik melalui tulisan ataupun berpihak melalui tindakan).***

Tidak ada komentar: