tag:blogger.com,1999:blog-90568758450326942362024-02-02T01:41:51.265-08:00Catatan Budaya Nurani...ADA KATASENJATAKATA... ADA SENJA YANG MEMBUATMU HARUS MENCATAT IRISAN-IRISAN KEHIDUPAN... ADA SENJATA YANG HARUS KAU PERGUNAKAN UNTUK MENGHADAPI KEHIDUPAN... DAN TANPA ANCANGAN IDE DAN GAGASAN YANG KAU DEDAH LEWAT KATAKATA, KAU HANYALAH PECUNDANG YANG BIASANYA MIRIP DENGAN ORANG YANG TAK DAPAT BERKATA "YA" ATAU "TIDAK" DALAM HIDUP...Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.comBlogger26125tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-5824202270040938752007-08-26T02:51:00.000-07:002007-08-27T00:57:02.824-07:00(Esai): BOHONG, KALAU KEBENARAN RELATIF!!!<em>Oleh: Nurani Soyomukti</em><br /><br /><br /><br /><div align="right"><strong><span style="color: rgb(51, 51, 255);">"Bahkan samudera darahpun tak dapat menenggelamkan kebenaran"</span></strong> </div><div align="right">(Maxim Gorky, Sastrawan Rusia).</div><br /><br />Percayakah kamu bahwa kebenaran itu sifatnya relatif?<br /><br />Bermula dari pengalaman yang pernah kulakukan saat terjun ke basis rakyat miskin. Pada saat itu kujumpai kesulitan pada saat mengajak orang-orang miskin berorganisasi, membangun gerakan, bahkan untuk melakukan aksi demonstrasi. Di antara orang-orang miskin yang kebanyakan<br /><br />pernyataan yang saya temui pada saat terjun"Kebenaran itu tidak ada, tergantung pada tiap-tiap orang", begitu kata seorang kawanku. Aku tak habis pikir, bagaimana pada saat aku masih percaya pada prinsip hidup yang kuanggap sebagai kebenaran, juga pada saat masih banyak orang yang percaya bahwa kebenaran itu ada, dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah--bahwa kebenaran itu relatif.<br /><br />Aku tak tahu dari mana ia menghubungkan antara suatu hal dengan hal lainnya. Bukankah segala sesuatu itu dapat diukur, dinilai, dan akhirnya diketahui mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih maju lagi untuk mencari pemahaman tentang mana yang bermanfaat dan mana yang tidak, mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan (tentunya bagi banyak pihak, bukan bagi segelintir orang).<br /><br />"Tidak ada kebenaran, semuanya palsu! TAEK lah!", teriak seorang kawan saya yang frustasi karena keinginannya gagal dan ia merasa marah karena apa yang sangat diinginkannya tak dapat terpenuhi. Dan aku bisa memaklumi, ketidakpercayaan orang pada kebenaran memang lahir dari pengalaman psikologis bahwa ia memang tidak pernah menemui fakta bahwa apa yang diinginkannya terpenuhi dalam realitas. KEBENARAN ITU PAHIT, punya makna praktis bahwa MENGETAHUI SECARA BENAR APA YANG KITA INGINKAN JARANG YANG TERPENUHI DALAM REALITAS lebih menyakitkan lagi, lebih pahit lagi.<br /><br />Tapi bukan berarti bahwa kebenaran tidak ada. Tidak akan ada kebenaran jika ketika 'omongan', penilaian, ungkapan, evaluasi, pengukuran tidak didasarkan pada fakta atau realitas yang secara material ada. Orang bisa bisa berbeda (relatif) dalam menilai jarak antara Bali dan Jakarta. Si A akan mengatakan: "<span style="color: rgb(51, 51, 255);">Jauh, dong!</span>"; Si B dapat mengatakan: "<span style="color: rgb(51, 51, 255);">Ah, nggak jauh amat. Satu kedipan aja sampai. Coba, you waktu berangkat naik mobil tidur, terus kamu sudah bangun pagi, kamu sudah sampai Jakarta</span>". Keduanya mempunyai pengalaman yang berbeda.<br /><br />Mungkin Si A adalah orang miskin, sehingga ia terbiasa naik kereta ekonomi. Dari Bali ia harus menyeberang dulu ke Banyuwangi, lalu harus berganti kereta di Surabaya. Sehingga perjalanan yang ditempuh untuk bepergian dari Bali ke Jakarta terasa lambat, lama, dan terasa jauh. Sementara si B adalah orang kaya yang naik mobil pribadi, sopir pribadi, sehingga ia bisa enak tidur di perjalanan karena mobil bagus dan berharga mahal lebih terasa nyaman; maka, jarak yang jauhpun dapat ditempuh secara cepat. (Dapat kita bayangkan jika, yang menempuh jarak antara Bali ke Jakarta dengan naik pesawat pribadi atau Helikopter, seperti konglomerat kaya, Presiden, atau Menteri... tentu jaraknya terasa dekat, waktu tempuh cepat).<br /><br />Hal lain yang harus dicatat bahwa, masyarakat kita selalu tidak fokus dalam menceritakan segala sesuatu, bahkan menjawab pertanyaan. Sehingga, penilaian terhadap suatu hal biasanya berbelit-belit, abstrak, dan tidak konkrit pada suatu gejala yang ingin diketahui. Ketika ditanya: "Seberapa jauh sih dari Bali ke Jakarta?", ia seringkali gak menjawab sesuai pertanyaan. Kebanyakan orang akan menjawab pertanyaan itu: "Paling sehari, kamu berangkat jam 4 sore, sampai sana siang keesokan harinya".<br /><br />Jarakpun ditafsirkan sesuai dengan waktu. Pertanyaan soal jarak dijawab dengan pertanyaan soal waktu. Pada hal, kalau dalam masyarakat telah terbiasa menanyakan dan menjawab sesuatu secara pas dan konkrit, antara siapa saja akan sama. Kalau jarak antara Yogyakarta-Jakarta ditanyakan kepada siapapun, pasti kalau dijawab berdasarkan jarak. Semua orang akan menjawab sama kalau mereka sama-sama tahu jarak antara kedua kota. Tetapi kalau kedua orang tidak tahu, biasanya akan dialihkan dengan jawaban lain, ada yang menggunakan patokan waktu, dan ada yang menggunakan pendekatan dari kendaraan apa yang dipakai.<br /><br />Dari contoh yang saya ambil itu, nampak jelas bahwa untuk ukuran penilaian orang terhadap suatu fakta yang konkrit, misalnya JARAK (yang secara material adalah panjangnya bentangan antara dua tempat atau benda yang diukur), bisa berbeda-beda tetapi KEBENARAN SEJATI tentang JARAK itu sendiri SECARA OBJEKTIF (ada, material, dan bisa diukur) tetaplah tidak relatif.<br /><br />Kebenaran itu objektif, ada, riil, dapat diukur dengan cara yang benar, dan bukannya relatif.<br /><br />Perasaan bahwa segala sesuatu itu relatif lahir dari cara berpikir gampangan yang lebih mementingkan kehendak subjektif dan individualistik, sebuah <em>FALLACY</em>, sesat filsafat yang berkembang dalam anggapan orang yang biasanya malas berpikir dan bekerja keras dalam menyelesaikan masalah.<br /><br />Cara berpikir relatifistik ini benar-benar membodohi dan (kalau mau dirunut) selalu sesuai dengan kepentingan segelintir orang yang ingin hidup enaknya sendiri, karena hidupnya telah enak yang menyebabkan ia malas berpikir dan juga harus menutup-nutupi realitas kebenaran. Mereka, kalau bukan orang yang malas, juga orang yang tak jujur, dan menyembunyikan agenda tertentu untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri dan menginjak-injak orang lain.<br /><br />Bayangkan, jika di jaman yang konon sudah modern ini, masih ada orang yang beranggapan bahwa kemiskinan rakyat Indonesia disebabkan bukan oleh suatu hal yang bersifat material atau konkrit, misalnya karena adanya sejumlah perusahaan-perusahaan negara yang dijual kepada asing, berapa kekayaan alam yang dirampas penjajah, berapa jumlah subsidi rakyat yang dicabut, berapa uang yang tidak dialokasikan untuk pendidikan dan berapa uang yang banyak digunakan untuk teknologi militer serta uang yang dikorup, dan ukuran-ukuran atau tindakan kuantitatif (<em>quantitative meassures</em>) yang nyata.<br /><br />Nyata, tindakan dan kebijakan nyata, bukan? Yang karenanya dapat dihitung, dipahami, dan dimengerti.<br /><br />Tapi apa yang terjadi pada saat masyarakat kita menderita CACAT PENGETAHUAN (dan memang sengaja dibodohkan--terbukti akses terhadap pendidikan sekolah dan pendidikan demokrasi diingkari)?<br /><br />Banyak orang yang menganggap bahwa bencana dan penderitaan (kemiskinan dan dan penindasan) bukan karena sebab-sebab konkrit, tetapi karena sebab lain, takdir Tuhan dan sebab-sebab lainnya yang berada diluar dialektika material.***Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-65416106817022336642007-08-25T20:12:00.000-07:002007-08-26T02:27:09.100-07:00(Catatanku): "KEBAHAGIAAN"<span style="color:#993399;">(1)</span><br /><span style="color:#993399;"><strong>KEBAHAGIAAN adalah kesedihan yang terbuka kedoknya</strong>. Hari ini aku bangun pagi, dan kusadari bahwa waktu itu tetap berputar-putar di kepalaku seperti legenda. Hidupku sebagai seorang "petualang"--begitu mereka selalu bilang--hanya akan menunjukkan bahwa hari ini diriku bukan hanya semakin giat dalam melawan stagnasi. Sebagai seorang yang (menderita penyakit jiwa) obsesif-kompulsif, menulis adalah bagian dari kehidupanku, bahkan pagi ini saat terbangun dari tidur dan seakan kehidupan baru dimulai.</span><br /><span style="color:#993399;"></span><br /><span style="color:#993399;">(2)</span><br /><span style="color:#993399;">"Aku tak terbiasa bangun pagi dengan cara tidak mendapati dirimu di sisiku", dulu aku terbiasa berkirim sms seperti itu pada kekasihku. Tetapi jarak yang mirip lara telah membiasakan diriku untuk mewarnai kerinduan dengan kekasihku, Ratih. Jarak telah mengukur kerinduan dengan cara-cara yang berbeda. Tapi pagi ini, kehidupanku seperti baru--meski kubuka semua surat kabar dan tidak ada satupun tulisanku yang dimuat, tidak seperti seminggu sebelumnya. Juga tidak ada puisi,cerpen, atau esai kawan-kawanku. Tidak ada pula puisi kekasihku, karena ia hanya melihat bahwa puisi adalah sejenis kecentilan jika kamu memberikannya pada setiap orang.</span><br /><span style="color:#993399;"></span><br /><span style="color:#993399;">(3)</span><br /><span style="color:#993399;">Oh, kukira aku perlu mendefinisikan kesedihan. "Hidupmu secara totalitas adalah kesedihan", kata-kata itu berbisik di telingaku, "karena kamu adalah penulis, pengarang, pengeluh, dan penggugat".</span><br /><span style="color:#993399;">Ah, sejak lama memang kusadari bahwa aku adalah orang sentimentil dan aku tidak menyesalinya karena yang telah terjadi tak perlu disesali, tak mungkin aku akan kembali...</span><br /><span style="color:#993399;">Jadi hubungan antara kesedihan dan sentimentalitas seakan begitu dekat, mungkin tak terasakan atau tersadari.</span><br /><span style="color:#993399;">Bukan. "Apa hanya karena aku memiliki banyak penjelasan dan merengkuh dunia dalam otakku lantas berarti aku merasa sedih karena dunia ini memang telah dikutuk menjadi kesedihan karena sedikit orang yang serakah telah mencabik-cabik kemanusiaan dengan memancangkan rasa kemunafikan, ketakutan, kepengecutan? Apakah dengan mengetahui bahwa hidup begitu menyedihkan lantas aku, sebuah agregat kecil dan sombong ini, harus kau kutuk menjadi orang yang sedih?", tanyaku di suatu malam.</span><br /><span style="color:#993399;">Aku tidak mendapatkan jawaban, karena hanya kekasihku yang mengusap keningku dan membelai rambutku, dan mengatakan: "Dah lah Mas, cepetan bobok. Besok hari minggu, kita berjalan bersama anak-anak, jangan sampai telat".</span><br /><span style="color:#993399;"></span><br /><span style="color:#993399;">(3)</span><br /><span style="color:#993399;">Dan kamu salah. Ketika jam 06.00 pagi, setiap Hari Minggu, aku melihat kekasihku begitu berbahagia berkumpul bersama anak-anak kecil yang ceria, begitu telatennya mengajari mereka mengenal dunia melalui lagu-lagu dan permainan...aku sangat BAHAGIA. Hidupku adalah KEBAHAGIAAN, karena aku melihat Ratih kekasihku tersenyum, anak-anak juga begitu manja ingin mencubitnya, anak-anak membutuhkan perhatian bukan dengan cara memaksa dan berwajah murung... tapi dengan wajah tersenyum dan berbahagia.</span><br /><span style="color:#993399;"></span><br /><span style="color:#993399;">(4)</span><br /><span style="color:#993399;">Dan akhirnya hari ini aku mendapatkan kesimpulan: BAGAIMANAPUN, SENYUM ADALAH LAMBANG KEBAHAGIAAN YANG PALING VALID. KARENA KEBAHAGIAAN YANG DIEKSPRESIKAN DENAN CARA MENANGIS HANYA SEDIKIT, dan hanya terjadi dalam momen-momen tertentu: KEBAHAGIAAN YANG MENGHARUKAN.</span><br /><span style="color:#993399;"></span><br /><span style="color:#993399;">Dan pada bentangan jarak yang menyiksa ini, aku masih berharap dia kirim sms: "Sayang, apakah agendamu hari ini? Jakarta kota yang memuakkan, kamu sendiri bilang seperti itu. Jadi, CEPAT PULANG!"***</span>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-4265763953953563602007-08-25T20:01:00.000-07:002007-08-25T20:02:54.201-07:00(Esai): "KENIKMATAN KREATIVITAS"Oleh: NAWAL EL SAADAW<br /><br />Kekuatan kreativitas terkait dengan kenikmatan besar yang mengiringi proses kreativitas itu sendiri dengan tidak mengindahkan dampak dan hasilnya. Ia seperti daya naluri kehidupan. Bahkan ia adalah kekuatan naluri kehidupan itu sendiri. Sesungguhnya kekuatan itu adalah kesadaran tertinggi dalam diri manusia yang diabaikan dan dihukumi dosa, serta dinamakan “ketidak-sadaran”.<br /><br />Kenikmatan ini dirasakan anak-anak dalam fase awal pertumbuhannya, ketika mereka bermain. Mereka tersentak oleh kenikmatan besar yang meliputi fisik, nalar dan jiwa dalam satu kesatuan entitas universal yang tidak mungkin dipisahkan. Kenikmatan itu melebihi kenikmatan seksual, kenikmatan makan dan kenikmatan tidur. Laki-laki dan perempuan yang kreatif pasti merasakan kenikmatan ini. Sebuah kenikmatan yang membuat siapa saja--laki-laki maupun perempuan--melupakan tidur dan seks demi menghabiskan waktu untuk tenggelam dalam menghasilkan tulisan, lukisan atau karya kreatif lainnya.<br /><br />Kekuatan besar yang berkuasa ini bisa mengalahkan kenikmatan-kenikmatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi lainnya. Kenikmatan ini bahkan bisa mengubah kekalahan menjadi kemenangan, mengubah keputusasaan menjadi harapan, dan mengubah kelemahan menjadi kekuatan.<br /><br />Kenikmatan ini menyertai proses karya kreatif selama karya itu berlangsung dibuat, dan hilang dengan berakhirnya pembuatan itu. Kenikmatan inilah yang mendorong laki-laki dan perempuan kreatif selalu memulai dan berkarya menciptakan hal yang baru, dan tidak akan berhenti melakukan kreativitas hingga mereka mati. Masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang melebur dalam satu masa, yaitu masa kreativitas. Satu masa yang akan selalu hadir sekarang dan selamanya.<br /><br />Kalimat “Aku sedang menulis sebuah cerita” akan diucapkan oleh seorang sastrawati dengan sensasi kenikmatan yang lebih besar ketimbang mengatakan “Aku telah menulis sebuah cerita”. Karena kata kerja yang berlaku sekarang adalah suatu kenikmatan dan kreativitas. Sedangkan kata kerja lampau, tidak mengandung arti kreativitas lagi.<br /><br />Karena alasan inilah, tiap karya kreatif selalu tampak tidak sempurna dan tidak akan pernah selesai. Sesungguhnya, karya kreatif tiada lain adalah isyarat kepada adanya karya kreatif lain yang mengandung unsur kreativitas lebih tinggi.<br /><br />Jika kita memusatkan perhatian penuh dalam proses pembuatan karya kreatif itu sendiri di sini dan saat ini, maka hal itu akan tampak sebagai sebuah inspirasi besar. Tanpa kita sadari, hal itu menjadi petualangan yang mengasyikkan dalam ketidaktahuan. Bukan produk dari karya-karya, buku-buku, atau lukisan-lukisan yang tampak tidak sempurna dan mandul.<br />Sesungguhnya kenikmatan kreativitas itu seperti kenikmatan hidup yang sedang mencapai klimaksnya, di sini dan sekarang.<br /> <br /><em>Florida, 13 September 1999</em>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-9873825145410030952007-08-25T19:48:00.000-07:002007-08-25T19:56:06.656-07:00(Cerpen): "BUMI MANUSIA"<em><span style="color:#cc33cc;">Oleh: Nurani Soyomukti</span></em><br /><br /><br />Aku bahagia, Ratih(ku)!<br />Engkau juga bahagia, bukan?<br />Akhirnya aku datang, dari kembaraku yang panjang, dan langsung menikahimu. Aku Kamajayamu sekarang.<br />Akhirnya hubungan kita menjadi resmi—tidak seperti waktu pertemuan kita dulu. Kini kita benar-benar sudah menikah. Kau bisa namakan ini sebagai sebuah kesuksesan yang besar. Kita telah diikat, Ratih. Seorang pengembara selalu pergi dan pasti akan kembali. Perkawinan ini bukanlah persundalan yang hipokrit; kau adalah istriku, kekasihku, bukan sundalku. Karena kita adalah manusia progresif yang mendorong komitmen, dan kita akan meretas tujuan dan cita-cita yang sama: Melahirkan anak-anak peradaban di atas bumi!<br /><br />Engkau pasti ingat betapa sulitnya mewujudkan kesuksesan ini. Betapa sibuk kita mengisi waktu, aku selalu datang dari kembaraku untuk menemuimu, membawamu ke sebuah tempat yang tidak bisa mereka lihat. Lalu mereka curiga bahwa kita melakukan ‘kumpul kebo’. Dan kita hanya ngikik mendengarnya: Apakah dulu ketika Adam dan Hawa berjalan-jalan ke tempat yang jauh sambil memadu cinta, apakah itu juga kumpul kebo? (Oya, kalau mereka manusia pertama—siapakah yang menikahkan mereka? Dan siapakah yang melarang mereka untuk memadu cinta, bersetubuh, dan menuntaskan gundah gulana?).<br /><br />Aku bukan ‘kebo’. Engkau juga bukan. Kita hanya dua pasang manusia yang dimabuk cinta. Kita adalah manusia beradab, terutama karena kita punya nafsu. Cinta kita adalah puisi. Puisi yang indah!<br /><br />Sedangkan ‘kumpul kebo’ adalah frase yang kedengarannya kotor dan jorok, tak layak bagi keindahan puisiku, puisi kita.<br /><br />Kucubit kamu, Ratih(ku)! Percayalah bahwa ini bukan mimpi. Ya, kita telah menikah. Kita telah berhasil, resmi. Sah. Dan puisi kita akan semakin indah, tak ada kata ‘kumpul kebo’ di baris manapun. Dan tak akan kutulis kata-kata kotor lainnya, bait-bait pertama maupun terakhir dari hubungan kita. Ini soal diksi dalam puisi, Sayang!<br /><br />Artinya kita telah mengikat ikrar, diiringi kata-kata pak penghulu dalam upacara yang sakral itu: “Tubuh sepasang pengantin ini sebentar lagi akan menjadi puisi. Jadi mulai sekarang biarkanlah mereka berdua jadi keindahan dan kata-kata!”<br /><br />Kau ingat awal pemberangkatanku menuju negeri cinta ini dulu? Aku melaut tanpa nahkoda… sampan kecil yang mengikuti elang laut menjauhi kabut… dan aku menyusuri selat-selat kenangan, meminta-minta susu pada perawan-perawan penunggu pelabuhan sepi di senja hari… Aku pernah bercerita bukan? Lalu kau tahu bahwa kepergianku bukan untuk mencari suatu hal yang belum pasti. Karena puisi adalah dunia tersendiri.<br /><br />Aku menjumpaimu di sebuah pulau yang penduduknya sangat ramah dan mencintai setiap musim. Setiap kali aku datang untuk bercinta denganmu, dan aku selalu mampir setiap waktu. Kini aku akan selalu mampir untuk istriku.Lalu kau pasti akan bahagia bukan? Tentu, sayang. Aku juga. Saking bahagianya di awal November ini, meninggalkan hari-hari gugur bagai musim hujan, hidup kita mulai menjadi puisi; Masa depan yang dulu kita anggap sangat sulit seakan menjelma menjadi rangkaian kata yang penuh makna. Aneh, tapi ini nyata, sayang. Apakah menurutmu ini adalah kekuatan Cinta yang disakralkan oleh pernikahan?<br /><br />*<br />“Mungkin cincin kawin inilah yang menyebabkan tubuhku menjadi puisi, Mas!”<br />Ratih mendekatkan jari-jarinya ke arah tangan suaminya, Broni. Malam itu mereka berdua sedang menikmati bulan madu.<br /><br />“Entahlah. Tak usah dibahas sekarang, sayang. Pokoknya aku bahagia malam ini. Kamu juga, bukan?”<br /><br />Dilingkarkan tangan kirinya pada pundak kekasihnya, sedang tangan kanannya menggenggam jemari yang dilingkari cincin kawin darinya beberapa hari yang lalu. Mereka sedang duduk mesra di sebuah kursi kayu, di pinggir laut, di depan beranda tempat penginapan yang disewanya, dekat ombak. Ya, di depannya ombak pantai memang bisa datang dan pergi, seakan menjadi saksi. Penginapan itu terletak di sebuah pulau yang jauh dari perkotaan, yang memiliki beranda menghadap pantai. Saat mereka berdua diam, sesekali mata mereka juga menatap pasir yang dirayapi buih ombak. Dan seperti ada buih sajak.<br /><br />“Tapi aneh saja, Mas. Seakan yang ada di otak dan hatiku hanyalah kesenangan, segalanya adalah keindahan. Apakah menurutmu ini akan berakhir hingga kita pulang dari bulan madu ini, atau berlangsung dalam batas waktu tertentu?”<br /><br />“Kita tidak menganggap bahwa Cinta kita adalah masalah keseimbangan hormonal. Dari dulu kita juga sudah sering bercinta, sebelum menikah, keindahan juga masih bersarang di kepala dan dada kita. Jadi kenapa kita harus mengharap tubuh kita akan menjadi sesuatu yang didustai kata-kata… Kita telah menikah, Ratihku. Hubungan kita sudah resmi. Kukira ini berkaitan dengan semangat. Kita juga tak akan disiksa oleh tubuh sampai kapanpun. Tubuh kita telah jadi puisi. Aku juga janji—dan ini adalah hasil pengembaraanku—bahwa kita akan dikendalikan oleh kata-kata. Selamanya.”<br /><br />“Apakah itulah sebabnya Mas mengajakku untuk segera menikah? Agar kita menjadi puisi… dengan atau tanpa pernikahan pun kukira Mas tetap akan menjadi pengarang dan penulis yang sukses. Dengan atau tanpa menjadi suamiku, kamu akan tetap mampu merubah dunia menjadi puisi. Dan aku tetap akan menjadi kekasihmu. Mas sendiri dulu juga berjanji.”<br /><br />“Entahlah, mungkin kamu benar. Tapi kukatakan padamu, sayang: kata-kataku, puisi kita, telah disakralkan dengan cara ini. Kata-kata adalah ibu kebudayaan dan peradaban. Ingat! Kita hidup di atas bumi. Kalau pernikahan adalah simbol budaya bumi, lebih baik kita menganggapnya sebagai sesuatu yang akan memberi kata-kata indah lebih banyak lagi. Dan dengan pernikahan ini aku berharap akan jadi penulis yang paling produktif dan kaya kata-kata…”<br /><br />Mereka berdua diam. Ratih masih berusaha mengerti makna perkataan suaminya. Lalu beberapa detik kemudian ia telah berhasil. Setelahnya, bersamaan dengan datangnya buih ombak yang bergerak menuju ke kursi mereka (tapi tidak sampai), ia seperti terpesona oleh udara malam itu, dengan suaminya yang masing memeluknya. Penjelasan suaminya mempercepat keindahan pemandangan malam. Ia seperti aman dan tenang dalam hatinya.Broni sendiri kemudian mendekapnya erat. Lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Ratih. Dan berbisik:<br />“Aku berjanji: Seluruh hidupmu akan jadi puisi. Aku janji, Sayang,” sambil diciumnya telinga istrinya. Ratih bergetar. Malam seakan rontok di dadanya. Nafasnya naik turun, melenguh panjang.<br /><br />“… Aku memang ingin jadi puisi, Mas. Sekarang juga, aku tak tahan lagi…” kata Ratih manja.<br />“Ya, sekarang. Dan selamanya… Makanya aku tak pernah menikahi orang yang salah. Kamu…, puisiku.”<br /><br />Kata-kata itu membuat tubuh Ratih bergetar lebih lama seakan dia tak tahu apa yang terjadi. Hanya keinginan. Keinginan untuk meningkatkan kenyamanan dan mengenakkan jiwanya, bahkan ia sadar bahwa tubuhnya merasa butuh kehangatan. Broni mempererat pelukannya. Tapi Ratih tak mampu berkata. Ia diam… lalu ia menangis. Mungkin tangis kebahagiaan. Broni mengusap air mata itu dengan sentuhan, di pipi yang kemerahan.<br /><br />Suasana hening, penuh romantika di dada. Kebahagiaan sangat stabil dalam puisi malam. Dalam puisi ombak. Puisi bintang. Puisi angin mendesis, yang berbisik di telinga Ratih: “Tidak boleh lagi kamu diciumnya lagi. Ia adalah milikmu, kalian harus saling berciuman. Sebab cinta di atas bumi adalah amanat moyangmu yang tiupannya dititipkan padaku sejak berabad-abad.”Lalu Broni melepas pelukan itu secara lembut. Tapi tangan mereka yang satunya masih saling menggenggam. Lalu dibelainya rambut kekasihnya, dan berkata sambil menatap mata indahnya: “Jadi katakana padaku sekarang, Sayang. Apakah kamu masih takut kalau tubuhmu selamanya jadi puisi?”Ratih menggelengkan kepala dan matanya masih menatap wajah suaminya. Perlahan Broni mendekatkan kepala perempuan itu padanya. Dikecup keningnya. (Ombak pecah di depan mereka. Lalu buih merayap ke arah daratan, tidak sampai lagi ke arah kaki-kaki kursi tempat mereka duduk berpagutan).<br /><br />Malam semakin dingin dan mereka memutuskan untuk masuk ke penginapan, Penginapan yang seluruh bahannya telah berubah menjadi puisi ketika mereka masuk. Mereka memutuskan dalam hati masing-masing untuk bercumbu, untuk batas waktu yang tidak direncanakan.<br /><br />Maka mulai saat itulah malam menjadi luruh, tapi sangat sakral. Semuanya sedang berubah menjadi puisi, ada yang sulit ada yang mudah. Lihatlah, kata-kata berpendaran dari langit, juga menyembul dari permukaan laut, ada yang melompat-lompat di sekitar gulungan ombak. Bergerak turun dari angkasa, bahan-bahan impian peradaban masa depan, menyebar ke bawah bagai hujan jatuh ke penginapan mereka, di atas kamar mereka. Berusaha masuk celah-celah kecil atau pori-pori udara.<br /><br />Yang datang dari bulan membentuk kumpulan zat tipis bercahaya seperti selendang bidadari, mungkin tampak mirip pelangi kalau terjadi di siang hari. Jutaan kata juga datang dari arah laut membentuk barisan, dan gerakan mereka menjadi cepat ketika gelombang pecah. Ada yang melata mengikuti buih ombak.<br /><br />(Lihatlah, kalau matamu mampu melakukannya, pemandangan malam itu mungkin adalah yang paling indah dari keindahan sepanjang waktu di bumi manusia … lebih indah dari lampu-lampu kota besar yang memendar jika dilihat dari gedung yang paling tinggi. Trilyunan kata barangkali, atau bahkan tak pernah dapat dihitung, memasuki kamar sepasang kekasih yang sedang bercinta di bulan madu. Di atas atap kamar mereka, kata-kata berhamburan seperti laron merubungi lampu neon).<br /><br />Pusaran kata-kata itu berusaha menerobos masuk ke bawah melalui celah-celah genteng, bersama udara yang diberi ruang oleh susunan atap rumah penginapan. Tapi sebagian besar kata-kata juga berebut memasuki ventilasi jendela kamar mereka yang menghadap ke arah laut… Limpahan kata-kata itu berpendaran sebelum masuk, bingung mencari pasangan masing-masing. Yang ingin disusun adalah suatu makna, makna keindahan dalam percintaan.Ada sedikit kata-kata yang tidak menemukan pasangannya, mereka adalah yang bernasib sial, dan dipaksa angin untuk pergi mengembara ke arah lain, menjauhi kamar dan penginapan itu. Meninggalkan pulau itu, mungkin menuju rumah-rumah pelacuran di kota-kota, mungkin juga ke hutan belantara yang belum pernah dijamah manusia.<br /><br />Tapi juga ada banyak kata yang terpaksa tidak bisa masuk kamar, tidak bisa menghinggapi tubuh dan jiwa pasangan yang sedang bercinta, tidak bisa menjangkiti hati dan pikiran mereka berdua. Mereka yang bernasib seperti itu hanya berpendaran, berputar-putar di luar jendela dan di atas genteng penginapan itu. Mungkin hanya menunggu dan mengintip.<br /><br />Sementara dua tubuh yang menjadi puisi akan segera menyatu di atas ranjang, di dalam kamar itu. Menunaikan amanat moyangnya. Mungkin secara tidak sadar juga mengikuti petuah pak penghulu dalam upacara sakral beberapa hari sebelumnya. Dan malam benar-benar menjadi puisi. Udara mulai berubah dan itu menjadi tanda bahwa makna penuh percintaan akan tercapai. Didahului menghilangnya batas waktu dalam kesadaran, lalu keberadaan seluruh zat yang mulai lindap, kaya kata-kata, tapi tak terucap kecuali lewat rintihan dan (kadang) lenguhan nafas. Dua orang kekasih tidak tahu saat itu berada di mana, juga buta akan hamparan waktu. Indra kehidupan hanya mampu mengeja kata: SATU! SATU! SATU! Tidak kurang tidak lebih. Tidak besar tidak kecil. tidak jauh tapi dekat, dekat dengan keberadaan yang melayang. Tidak hidup tidak mati.Dalam momen yang singkat dan cepat, tapi bisa diulang lagi berkali-kali, bahkan ada dari trilyunan kata-kata itu yang memberi makna SATU pada otak dan jiwa mereka yang sempat tertangkap oleh kesadaran: yaitu, KEBODOHAN.<br /><br />Mungkin itu adalah puncaknya malam itu. Tapi mereka selalu berusaha menegaskan dalam hati, dalam kesadaran yang tersisa dari nikmatnya kebodohan, bahwa tubuh mereka hanyalah puisi. Mereka juga masih bisa membatin bahwa waktu, jarak, dan ruang akan segera dimakan kepandaian. Apalagi mereka telah mempersiapkannya. Kini mereka merasa seperti budak dari kata-kata yang menjangkiti mereka malam itu sampai mereka telah melewati satu puncak yang pertama dari bulan madu di pulau itu… Mereka menuju ke kesadaran lagi. Tapi mereka masih merasa sebagai puisi.Mereka masih telanjang. Dalam berpelukan. Manja tanpa beban apa-apa!<br /><br />**<br />Dan semua tahu ada sesuatu yang terulang. Yang melingkar mirip legenda atau misteri itu sendiri.<br /><br />Lalu bumi manusia telah menyerahkan nasibnya pada musim yang memberi bunga pada kisah yang ada. Matahari mencuci tubuh bumi di danau hati seorang lelaki; dan pelangi menjadi tangga bagi bidadari cinta turun mensucikan nasib jiwa yang merana saat tubuh menjadi bebatuan berlumut sejak ribuan tahun yang lalu. Kekasihnya memendam rindu dengan menyaksikan tubuh sendiri yang tersiksa, tanpa bisa berbuat apa-apa.<br /><br />Kelenjar syahwat barangkali juga tidak pernah menelusuri alamat yang salah; kehendak selalu bicara; Kesedihan, tentu saja, bukan hanya perkara kegagalan keinginan: Tapi Tuhan sendiri telah mengirimkan cara-cara untuk diperbuat manusia. Dan dia harus menyepakati penerimaan yang kadang menyakitkan ketika keinginan selalu dipancing-pancing untuk menikmati segala hal yang tidak sanggup dilakukan.<br /><br />Keinginan yang muluk-muluk mungkin hanya diungkap dari kebahagiaan yang dimiliki orang lain. Dengan jalan apapun ia hendak meniru cara mencapai kebahagiaan yang sama? Dan menganggap bahwa apa yang membahagiakan orang lain akan membahagiakannya? Ia lalu sadar bahwa, itulah jenis kekalahan yang menghantui jiwa!<br /><br />Pada tahun-tahun berikutnya Ratih dan Broni masih bersama. Suatu waktu lelaki itu membelai rambut kekasihnya dan mengatakan suatu hal yang menegaskan hubungan kasihnya:<br />“Aku mencintaimu karena aku berpendapat bahwa kebahagiaan akan bercerita dari mulut liku-liku hidupku yang agak unik ini. Sedangkan persoalan yang remeh temeh adalah, bahwa aku memang senantiasa menginginkan darimu apa yang tidak kumiliki; misalnya, bibir manismu yang ingin kurapatkan pada bibirku… wajahmu yang manis tempat aku menatap waktu yang tiba-tiba menghilang. Maaf, semuanya bukanlah untuk menghamba pada kehendak, suatu amanat kakek nenekku yang harus kukemudikan. Aku hanya bisa berharap supaya engkau memelihara kebutuhan yang sama, dan juga memupuknya bagi musim-musim yang akan datang, karena cinta kita ini pada dasarnya adalah pelampiasan kebutuhan yang disepakati bersama.”<br /><br />Ratih diam.<br /><br />Ia hanya ingin mendengarkan, dan ingin menikmati belaian. Juga ingin membiarkan dirinya dipuja. Keduanya berpandangan mesra.“Ya, aku tetap tidak tahu kenapa aku selalu ingin berlama-lama menatap wajahmu. Dulu kau selalu malu-malu, menyembunyikannya dari pandangku. Lalu akhirnya musim tiba, kita tidak perlu sama-sama malu pada saat kita bersatu dalam ruang kebutuhan yang sebelumnya ditekan dan disembunyikan. Ohhh, entah kenapa aku selalu menikmati menatap wajahmu. Tak tahu apa yang sebenarnya aku cari dari keindahannya. Apakah aku mencari diriku sendiri? Apakah aku mencari Ibuku yang sudah mati? Apakah aku mencari rohku yang hilang? Aku tak tahu, Sayang….”<br />Kekasihnya lalu bertukas:<br />“Keinginan memang sulit sekali didefinisikan. Coba, apa yang kita cari dari kisah cinta ini? Semuanya akan kembali pada kebesaran hati kita untuk berpura-pura menolak ketidaktahumenahuan: Seolah hanya cinta yang melakukannya, tubuh dan jiwa tak pernah dipisahkan… apalagi dibohongi dan digadaikan demi rencana-rencana yang memalukan…”<br />Ia masih membiarkan dirinya dibelai. Tapi dia terus berkata: “Kukira kerelaan saja sudah cukup, Sayang. Meskipun kita dibatasi oleh teori-teori yang sebenarnya tidak perlu dihiraukan. Kerelaan saja, menurutku, sudah cukup. Tinggal bagaimana kita memelihara keterusterangan dan ketulusan sebaik-baiknya. Sebab di luar cinta ada “oknum jahat” berupa produk-produk dan aliran modal yang tidak berkaitan dengan cinta yang dijanjikan Tuhan pada kita.”<br /><br />“Ya. Adam-Eva adalah dua manusia penemu cinta murni pertama kalinya yang tak ada hubungannya dengan bra, celana dalam, kosmetik dan obat pembesar payudara, uang, dan keangkuhan untuk menguasai orang lain. Mereka berdua sama-sama telanjang di Firdaus, serta menyelenggarakan cinta tanpa pamrih. Tidak ada status, tidak ada kelas sosial-ekonomi… Tidak ada perbedaan yang mengancam cinta mereka. Segalanya diserahkan pada ketulusan alamiah, bukan pada kecemasan dan kebencian yang mengganyang Sang Jiwa”.<br /><br />Lalu keduanya juga sadar bahwa mereka telah telanjang di dalam ruangan itu. Telanjang lagi entah keberapa kalinya, untuk memadu keinginan yang sah dan sakral. Untuk menciptakan anak-anak yang pintar dan cerdas bagi peradaban mendatang.<br /><br />***<br />Dan waktu akan terus berjalan.<br />Suatu saat Ratih bertanya lagi, sampai kapan tubuhnya akan tetap jadi puisi sementara suaminya selalu mengembara pada setiap musim dan akan selalu datang pada saat yang dijanjikan.<br /><br />Broni selalu menjawab: Selamanya! Sampai kapanpun, seperti yang dikatakan kesetiaan.<br />Kini mereka masih terlentang di atas ranjang itu. Kekasihnya masih ingin dipeluk, dibelai, dan dibisiki kata-kata. Dia merasakan kenyamanan dalam kondisi itu. Kadang terlintas tentang yang bernama keindahan baru baginya, yaitu adalah sebuah keheranan. Dulu ia berpura-pura sebagai anak-anak yang menerima nasib. Kini dia adalah laki-laki yang ingin berterus terang tentang kenyataan.<br /><br />“Kau adalah keindahan yang paling unik”, mulutnya berbisik, “Aku mengagumimu saat-saat kesepianku hadir, saat kau kira aku tak lagi menulis puisi, dan saat kau kira aku tak lagi bisa menangis dan tersenyum.”Laki-laki itu diam. Mulutnya masih berjarak satu inci dari telinga kekasihnya. Tangan kanannya memeluk tubuh istrinya. Beberapa saat kemudian ia kembali berbisik:<br />“O, keindahan! Tiap malam ia kupanggil, masa lalu dan masa akan datang menyatu dalam ketidaktahumenahuan pada arah angin malam. Bintang masih bisa bersinar dengan jelas di balik hatiku, mengintip jalanan menuju tempat perjanjian yang telah kita buat. Akupun pernah lama pergi, tapi aku yang terlanjur mencintaimu bisa menggantikannya dengan keindahan baruku di awal purnama itu.”<br /><br />Wanita manis itu berkata lirih juga: “Jadi kau telah mengetahui, bahwa aku telah menjatuhkan pilihan pada nasib yang berdaulat sebesar secuil pengorbanan yang telah terlampaui. Kau dan puisimu kupilih bukan sekedar untuk menyediakan santapan jiwa bagiku, tapi bagi kehidupan seluruhnya yang masih semakin jelas.”<br /><br />“Aku akan mencari lagi lebih luas ruang untuk mencipta keperluan yang masih saja dianggap remeh dan hina. Itu kuniati untukmu, sejak cinta di dunia ini mendasarkan diri pada norma-norma dekaden—akupun dengan sisa-sisa keringat harus menempuh cara yang berbeda. Namun, sebagai sebuah sarana dramatis untuk mendahulukan kegelisahanku, aku benar-benar bertuhan pada sepi untuk menuju pada pemenuhan tertinggi dari kebutuhan jiwa saat ini…“Kau menjadi keindahan yang menemaniku, keindahan yang sejak dulu kuharap-harapkan sejak aku belum mengenal apa-apa, kecuali bahwa waktu itu hidup hanyalah keinginan tanpa perasaan, serta airnya mengikuti kerendahan sungai kebijaksanaan… Lalu kau adalah keindahan yang kupahami lewat benang waktu dan logika kehendakku.<br /><br />“Kau beri aku kehangatan… kau mengajariku menari, suatu yang tak pernah diajarkan oleh manusia dekaden dan ruang pengap dalam peradabanku. Kau semakin indah dalam kesepian yang kuciptakan sendiri, dan semakin mengagumkan… Ah, aku tak ingin mabuk, meskipun aku akan tetap menari dalam kesepian ini.”<br /><br />Kekasihnya lalu membalikkan wajahnya. Masih dalam posisi tertidur di atas ranjang wanita itu mencium bibirnya. Lalu ia berbisik:<br />“Apa yang bagi kekacauan umumnya dirusak dan dibinasakan, aku tetap akan menerima harga keajaiban yang kau timpakan dalam kesunyian ini, meskipun menunggu pelunasan kehendak adalah perbuatan yang melelahkan. Aku tentu masih dapat menemukan kesedihan yang bertambah besar atas ketidakmenentuan ini; pada saat yang sama ungkapanmu tentang tragedi disambut oleh angin semilir (bagian dari keindahanku, Sayang?)—dan mungkin kita harus bisa menjelaskan makna kerinduan seperti ini: pengertian-pengertian yang menanam benih lebih banyak dan meruah bagi kekayaan jiwa (pondasi paling mendasar bagi bangunan cinta kita dalam hidup ini)…<br /><br />“Jika kau menaikkan harga pengharapanmu pada kekuatan romantika cinta, kau ternyata juga memiliki piala indah yang mungkin akan kau persembahkan pada pengorbanan yang belum usai… Benarkan tidak ada pengorbanan cinta tanpa penerimaan luluh atas ungkapan-ungkapan tentang tragedi dari seorang kekasih (dalam ruang dekadensi maha luas ini)?”<br />Lelaki itu berkata:<br />“Dunia kita serba dingin dalam segala hal. Di sini, kasih, dan malam ini, keinginan bagai bulan yang lembut; kita nikmati saja nasi dan lauk pauk cinta di atas piring yang juga kedinginan, nasi dan lauk pauk hati kita, dan tubuh kita yang terlentang… kehendak kita yang kadang jalan…”<br />Wanita itu berbalik, wajahnya memandang mata lelakinya:“Tentang mata, laki-laki memang jarang tahu kalau ia sering diperhatikan; Tentang hati, kau tidak pernah mampu menandingi penantian perempuan. Tapi sebentar, mimpi-mimpiku yang kalaedoskopis kadang menceritakan tentang hamburger, jagung, ketela, dan bunga-bunga indah yang kujaga di taman kita. Dan resiko itu kuambil dari pada akhirnya kita, malam ini, dan malam-malam yang lain, saling terikat karena aku takut kehilangan… Semasa kepergianmu yang amat jauh, aku selalu menunggu malam itu dan malam-malam berikutnya. Malam-malam selalu menyatakan diri dalam kesunyian, Kekasihku! Dan malam ini, tentu saja, kau akan berlaku sebagai nabi…”<br /><br />“Kematian hari-hari itu memang senantiasa mendekam pada jarak. Bukan kita yang menciptakan, tapi Tuhan barangkali. Kerinduan bagi cinta yang membara telah tertunda. Tetapi bukankah keabadian cinta bisa kita pelajari dari dunia yang dingin dalam segala hal? Dingin dalam segala rindu, kehidupan dan kematian yang ditimbulkannya. Malam ini kau dan aku bertemu, siapa tahu nanti jarum jam berputar tak searah, kau dan aku terbagi dari angka 1 sampai 12. tanpa bekas. Dan tuhan juga mampu menjatuhkan jam yang tergantung, sementara dinding bisa saja tak membekaskan apa-apa.”<br /><br />“Tidak! Kematian tak harus diawali dengan kisah hidup setragis itu. Tidak. Pada malam semerah ini jangan mengatakan kemungkinan dan ketidakmungkinan, kasihku. Meskipun Tuhan tak pernah mengirimkan kertas bagi keputusan-keputusan yang dibuat, biarlah takdir menjadi bahan cemoohan yang agak masuk akal. Cinta, keturunan, uang, nafsu, biarlah rontok secara alami.<br /><br />“Tapi sebentar, sayang! Cinta, uang dan nafsu tidak perlu diucapkan bersama; biarlah mereka menjadi persekongkolan yang paling kita benci di luar malam ini…”<br /><br />“Tentu saja mereka adalah pilihan-pilihan, kekasihku! Mereka memiliki logika dan mulutnya sendiri-sendiri. Dan kita selalu menilai kebajikan—KEINDAHAN!—dan kebusukan di dunia ini. Kita harus memilih yang terbaik bagi kesucian tubuh dan jiwa kita, kasihku!”<br /><br />“Ya. Tidak kah kau mendengar, cinta telah mengatakan pada keindahan: “Setiap manusia membutuhkan diriku (seolah berupa satu!). Tapi benarkah aku adalah pengertian yang paling tolol sebagaimana mereka sangka?”; Uang juga selalu menyombongkan dirinya dengan berkata: “Bagaimana kusediakan hidup ini jika diriku yang selalu diidolakan tiba-tiba tidak memiliki tuan?... aku bisa mengatasi segalanya termasuk cinta!”; Dan nafsu berkomentar dari balik dada kita: “Segalanya telah jelas, bahwa aku mampu memburu; malam-malam, siang-siang, mengukiri badan—dan wujudmu selalu dipermainkan! Waktu, jarak, ruang yang terpancing akhirnya menjelma jadi sesal yang melingkar!”Wanita itu melenguhkan nafasnya. Ia seperti memahami sebuah arti baru. “Dari mana kamu mendengarnya? Apakah perjalanmu menjumpai banyak hal tentang keindahan dan maukah kau memberikannya untukku?... Mungkin katamu benar, kasihku. Tidak ada yang kekal, seperti aku yang malam ini tiba-tiba sangat jatuh cinta padamu. Perpisahan dan pertemuan barangkali telah mengatur segalanya.”<br /><br />“Ya, untuk apa kita cari siksa bila pilihan-pilihan menjadi tanda-tanda hayat yang kelak jadi maut. Kini aku telah kembali membawa keindahanmu sendiri!...” Ia mengangkat kepalanya hingga wajahnya berada di atas wanita yang terlentang itu. Ia pandangi wajah kekasihnya, ia seperti mencari, tetapi sebenarnya ia hanya dihinggapi keinginan yang diujarkan sebelum dia kembali. “Baiklah, biar kumulai cintaku malam ini. Biar kukecup, pertama-tama, keningmu”, ia mengecup. “Di sini kau senantiasa memikirkanku saat perpisahan, khususnya waktu terpanjang yang hilang.”<br /><br />“Panjatlah malam dengan menyebut Dewa-Dewi...,” ucap wanita itu lirih, dan tubuhnya menggeliat.<br /><br />Laki-laki itu tubuhnya juga bergetar. “Ya. Mereka dapat merasakan keindahan kita. Dewa…Dewi…Oh, Tuhan!”<br /><br />“Ohhh…”<br /><br />Demikianlah. Mereka menegaskan hidup dan peradaban. Cinta yang diselenggarakan dengan tingkah suci persetubuhan.<br /><br />“Hmm… tahukah kamu. Mimpi-mimpiku yang kaleidoskopis itu… menghitung hari, menghitung bulan… dan akhirnya aku terjemput. Aku bahagia karena kau telah menjadikanku sebagai istrimu, kekasihmu! Apakah kita baru saja menyerahkan satu tetes air hidup pada Tuhan? Tidakkah tuhan akan berkomentar tentang cinta kita ini?”<br /><br />Mereka masih saling merangkul, masih sama-sama telanjang.“Tuhan telah menyediakan argumen-argumen yang melekat pada waktu. Dalam mulut manusia, bahasa kadang tak mampu membikin maknanya sendiri. Kata-kata menguap di atas aspal jalanan yang tertempa matahari…”<br /><br />“Mungkin juga menguap di kamar ini, juga di luar rumah ini…,” potongnya, “aku merasakannya.”<br /><br />“Bahasa juga jadi kematian. Dan kita juga melihat manusia menyuarakan firman-firman dari langit. Kita malu untuk menyerah, bahkan mungkin sesudah keindahan malam ini belum sampai babak terakhir. Oh, melelahkan sekali… Argumen-argumen apa yang kita buat? Aku telah menjadi pencerita, tapi mereka ingin jadi pendheta dan nabi yang sukses. PREDIKAT! Kekasihku, tapi musik selalu menyanyikan wajahmu di telingaku, suara-suara yang menghantui kemiskinan dan penderitaan… Kekasihku, O, kekasihku,” bisikknya, “Dan kau biarkan aku menjadi pengembara. Dalam pengembaraanku kudengar argumen-argumen besar yang hanya berujung pada peran. Tubuh mereka memerankan kerja bagi penderitaan jiwa, dan menambah kecongkakan orang lain. Pada hal ada peran yang lebih besar: argument-argumen warung yang kadang lebih rasional dari pada berita radio dan Koran yang menyusun kepintaran atas kebodohan orang lain. PASAR, suatu peran yang dianggap paling mendekati Tuhan pada abad ini, adalah argument-argumen yang benar-benar congkak bagi pertemuan mereka yang melakukan transaksi bagi tuhan barunya masing-masing.”<br /><br />“Wahai, wahai. Cintaku benar-benar suci padamu kekasihku. Aku senang jadi puisi. Sedangkan uang bukanlah kepasrahanmu dan kepasrahanku. Mungkin ia bisa jadi TV, bangunan-bangunan baru, dan benda-benda purba yang kuharap tidak terkandung dalam perutku kelak. Anak cucu kita akan menjadi MANUSIA ANGKASA, yang telah mensucikan peradaban dengan mimpi dan puisi. Aku ingin anakku mewarisi jiwa bapaknya, seorang pengembara yang selalu rindu bagi kepulangannya..”<br /><br />“Aku ingin anakku seperti ibunya, yang pasrah pada Tuhan, bukan pada pelukan jaman yang berbadan kecut dan bernafsu besar. Ia kelak akan menjadi wanita yang patuh pada suaminya; dan selalu menyambut hangat kepulangan kembaranya…”<br /><br />“Ya Dewa, Ya Dewi. Ya Tuhan…”<br /><br />“Ya Tuhan…”<br /><br />“Ya Tuhan.”<br /><br />…<br />“Tetes kehidupan membuktikan bahwa keringat tidak harus kecut bagi kehidupan selanjutnya, anak-anak peradaban yang baik pasti akan lahir.”“Biarlah aku kembali memanjat malam ini bagi baya yang akan dilahirkan bagi perutmu kelak, kasihku! O, kekasihku!”<br />“Ohhh..”<br /><br />Dan peradaban baru benar-benar lahir. Mungkin sekarang masih di jiwanya, kelak itu akan terbukti nyata.<br /><div align="right"><br /><em><span style="color:#3333ff;">Lembah Prigi-Trenggalek, 27 Februari 2005.</span></em><br /> </div>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-73692373069738443972007-08-25T13:51:00.000-07:002007-08-25T13:57:36.726-07:00(Puisi): KUBIARKAN SAJA IA BERKACAOleh: Nurani Soyomukti<br /><br /><br /><div align="right"><span style="color:#cc33cc;"><em>(1)</em></span></div><div align="right"><span style="color:#cc33cc;"><em>Kubiarkan saja ia berkaca, yang kadang tersenyum dan<br />mencibir pada wajahnya dengan dipaksa hatinya sendiri<br />Telah ia curi ideologi dari orang buta dan tuli<br />Dan ia merasa mengantongi dosa dirinya sendiri.<br /><br />Dan kubiarkan ia berkaca, memandangi wajah yang<br />seakan dicuri dan sulit kembali<br />Permohonan kosong malam itu menggilas sepi.<br /><br />Sungguh,<br />Bintang membutuhkan teman kencan, batinku.<br /><br />Lalu esoknya kusuruh ia bermake-up dalam damai angin pagi<br />Di mana pada menyendiri kesepian seakan memanggil sepoi.<br />“Tersaruk dalam bayang, genggamlah api ke awan.<br />Duduklah menunggu di sini. Lantas bangkit berjalan dan cium tangan Ibunda yang<br />Berbaring di beranda belakang. Sebab lewat kehilanganmu, beliaulah temuan itu!”<br /></em></span><br /><span style="color:#cc33cc;">(2)<br /></span><em><span style="color:#cc33cc;">Alam telah miskin kata kata, tak lagi mendendangkan lagu kehidupan, pohon pohonnya tumbang, menerpa nasib terhimpit malang. Kesedihan segera teguk air sucinya, dari puting beliung<br />Sunyi malam susu perawan. Bulan bugil<br />Bulat terang dan merangsang,<br />yang pernah menatap dengan berani diriku dalam sajak sajakku. Kesegaran aksara aksara abadi setelah kau bawa pergi buku harianku<br />Yang menyimpan kata kata yang pasti akan membuat kita enggan bercumbu esok malam.<br />Karena kau akan tahu siapa diriku sebenarnya.<br />Penyesalan pasti akan melingkar dalam bilik hatimu, mengumpat diri<br />karena telah bertemu dengan<br />Orang palsu.</span></em></div><div align="right"><em><span style="color:#cc33cc;"></span></em> </div><div align="right"><em><span style="color:#cc33cc;"></span></em> </div><div align="right">*Jakarta, 2007</div>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-67199195152795427702007-08-25T13:38:00.000-07:002007-08-25T13:44:11.671-07:00Essay: THE SPIRIT OF LOVE: MOTHERLY LOVE<div align="left"><em>By: Nurani Soyomukti</em><br /></div><div align="right"><br /><em><span style="font-size:85%;">"Homology of meaning directed by cultural globalization also make the people have nothings to define their existence for elucidating in their own world".</span></em></div><br /><br />THE SPIRIT OF LOVE is being challenged by today Indonesian condition in which social disintegration, violence, and terrorism become real threat for humanism. Terrorism as the practice of how people realize their religious believe is very difficult to prevent. It doesn’t mean that terror will make this world to be difficult to face. Terror is everywhere.<br /><br />There are some historical epoch that create the dialectical relation between material circumstance with ideological dynamics among society where inter-individuals and inter-groups define their existence. Terrorism as ideology of violence has no roots in human existence but in the material circumstance where human face real economic and material condition for fulfilling their need. Today economic and political contradiction seem to be the basic of how human existence cannot be expressed naturally.<br /><br />Homology of meaning directed by cultural globalization also make the people have nothings to define their existence for elucidating in their own world. Government should provides the basic of human need because the material things is the most identical with human existence itself. The disintegration of economic suc the dramatic gap between the haves and the haves not will spread out dissatisfaction among the people. Our less-educated people cannot explain why such contradictory world happen. Their just understand that government cannot gives anything what they need for developing their lifes (food, shelter, education, healthy, and so forth). They just feel unsatisfied and disappointed.<br /><br />Liberal-individual ideology brought by capitalist-globalization is really inserted among people. It accelerates the disintegration social relation. Love and beliefe become expensive things among the social. Even in the difficult economic life, cheerfulness, tolerance, reliability, ambition, and an ability to get along with other people is in friction. No more creative activities pertain and developing union. Most of people are pessimistic toward “love” when this world just colouring the commercial song lyrics, just spoken by pretending artist in the (electronic) cinema or telenovela. And the most important, the government never fullfil their promises for welfaring people.<br /><br />Commitment of love doesn’t belong to geverment because it cannot give their people what they want. The real love is giving. Ability to love is an act of giving. Beyond the element of giving, the active character of love becomes evident in the fact that it always implies certain basic element, common to all form of love. These are care, responsibility, respect and knowledge.<br />That love implies care is most evident when government care the people as mother’s love for her child. Government is representation of the state, the state is always assumed as ‘mother earth’ where all land and other productive thing must be managed for all people, not for few ones. In Indonesia this is kind of state mission, the earth and what in it must be used for all people.<br /><br />It is really that we are lacking of motherly love. Government and leaders are mothers, people are infant. No assurance of mother love would strike us as sincere if we saw her lacking in care for the infant, if she neglected to feed, to bathe it, tto give it physical comfort. And we are impressed by mother’s love if we see her caring for the child. It is not different even with the love for animals or flowers. If a woman told us that she loves flowers, and we saw that she forgot to water them, we would not believe in her “love” for flowers.<br /><br />Erich Fromm in his “The Art Of Loving” (1956) argued that “love is the active concern for the life and the growth of that which we love”. Where this active concern lacking, there is no love. Care an concern imply another aspect of love; that of responsibility.<br />In our society today, unfortunately, responsibility is often meant to denote duty, something imposed upon one from the outside. Responsibility could easily deteriorate into domination of possessiveness, where it not for a third component of love, that is respect. But responsibility, in its true sense, is an entirely voluntary act. To be “responsible” means to be able and ready to “respond”. Without the will to dominate others, we can see others respectly because respect is not fear and awe.<br /><br />If the persons who govern this country are fear that they are not be wealthy, if the interest groups are fear with economic policy who is pro-people, it mean that they are not responsible and respect to people. The feeling of possessiveness is opponent of the real love as well as it is clear that respect is possible if we have achieved independence, and if we are able to stand and walk without needing crutches, without having to dominate anyone else. Respect exists only on the basis of freedom: “l’amour est l’enfant de la liberte” as an old French says “love is the child of freedom”, never that of domination.<br /><br />But, our contradictory life cannot be reached merely by the feeling. Love as the feeling or pshycological phenomenon is a fact of material things that is easy to come and go. That is so problematical when love just become the infrastructure and lies in an objective, independent of subjective analysis. Such deterministic and positivistic thinking will take “love” (that can be spirit) away from social analysis and practices. Rationality as part of modernization aspect cannot look the spiritual dimension of human relation. Homogenization of culture implies that love is meant in one-dimensional interpretation.<br /><br />However, love is great spirit; but rationality will only covers the eyes of individual from the existence of inter-subjectives relation that invites meaning that must not be destroyed by everythings. In practical words, the action and reaction among globalization have to be placed in intersubjective analysis. Each person and group have their meaning from their existence. The problem of how the objectives contradiction cannot explained yet by people has its relation with how love also have another aspect, that is knowledge. Educate people to love is to educate people to know and to touch the reality. No loving without knowing.<br />Terror and aggressive action can be motivated by “love” but without knowing the reality. Also, terror can be mitivated by “knowing objectively” but without love with its inter-subjective relation that exists. Love is not aggressive instinct or death instinct (Thanatos), but love is unifying instinct or life instinct (Eros).<br /><br />Love is active penetration of the other person in which the desire to know is stilled by union (not separateness and destruction). In the act of union, we know each other, we also know ourself, we know everybody and everything. We know in the only way knowledge of that which is alive is possible for man—by experience of union—not by any knowledge our thought can give. For example, sadism is motivated by the wish to know the secret, yet we remain as ignorant as we were before. The sadistic man have torn the other being apart limb from limb, yet all he has done is to destroy him. Love is the only way of knowledge, which in the act of union answers our quest. In the act of loving, of giving ourselves, we discover ourselves, we discover us and them, we discover human(ism).<br /><br />The government and most of the elites in our country not only give nothing for people’s welfare. They also let the people un-knowledgeness not just because of expensive education but also of the illusions made by government. That condition of poor and un-educated omong peoples have been blunt the productive force of our nation. The president has urged people for creating excellent culture. But the basis for driving productive and creative force among people cannot be provided. Really, welfare and democracy are important things. When love will become our spirit? Wallahu’alam!***Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-61377571606255977152007-08-25T13:34:00.001-07:002007-08-25T13:36:51.889-07:00(Essay): ERICH FROMM AND HIS 'ART OF LOVING'<em><span style="color:#993399;"></span></em><br /><em><span style="color:#993399;">Oleh: Nurani Soyomukti</span></em><br /><br /><span style="font-size:85%;"><strong>(Saya adaptasi dari Resensi Buku Erich Fromm, THE ART OF LOVING, yang pernah dimuat di JAKARTA POST)</strong><br /></span><br /><br /><span style="color:#3333ff;">The lack of human solidarity in our society is part of the fact of how our society disintegrated. Violences and terrorism also become the true threat of humanism when we loss our spirit to unify our existence within social relation and creating productive activity to handdle such contradiction.<br /><br />Today we see that the word “love” is easily spoken by averybody. In any time the political elite, religious figure, artist-celebritist, and other public figures may say that they love people. politician give sweet promises to people in order to ger support in political proccess such in goal of winning election. Artist-celebritist play roles in some cinema and “love” exploited as a word. But, does love really come to our life? Is such figures mind and heart full of love for the people?<br />Love is not merely words. Love is the real action to pull our productive force to give best for society. Love cannot separated from the act for loving.<br /><br />In his book entitled “THE ART OF LOVING”, Erich Fromm insist that love is an art, an action for solve the problem of separateness among human being. He was worried about the human existence in its dialectical relation with proccess of capitalistic globalization. He doesn’t argue that love, as human spirit or just as a psychological phenomenon, can be the solving problem. But, as the creative power in human existence love must be undertood and realized as real human power itself. Erich Fromm as a great thinker delivers us to the understanding that love can be seen as creative commitment and activity such respects, responsibility, descipline, and the productive character of existence.<br /><br />The commercial logic in all aspect of (capitalistic) cociety make the meaning of love is reduced even misunderstood. As Fromm argues, At any rate, the sense of falling in love develops usually only with regard to such human commodities as are within reach of one's own possibilities for exchange. I am out for a bargain; the object should be desirable from the standpoint of its social value, and at the same time should want me, considering my overt and hidden as-sets and potentialities. Two persons thus fall in love when they feel they have found the best object available on the market, considering the limitations of their own exchange values. Often, as in buying real estate, the hidden potentialities which can be developed play a considerable role in this bargain. In a culture in which the marketing orientation prevails, and in which material success is the outstanding value, there is little reason to be surprised that human love relations follow the same pattern of exchange which governs the commodity and the labor market (pp.4).<br />To enlarge the undersanding about the meaning of love, Erich Fromm disticts some kinds of love that be able to explain the character of existence because “whatever theory about love must begine with the theory of human, human existence”.<br /><br />The mazhab Frankfurt thinker who expressed his idea with mix of pshycoligical, phylosophycal, economical, and historical approach try to distinct love based on attitude and character of human existence: broherly love, motherly love, erotic love, self-love, and love to God. Each character can describe the character of human related to how human engages their life. For example, if we love just for someone (one person) and forget others, his “love” is not love, but just a mutual exchange, or enlarging egotism.<br /><br />Coming into Fromm’s thought about LOVE will open our subconscious thinking. We will be brougt to the fact that our society is truly lost the spirit of love. It can be seen in the attitude of people representatives and the way government make policy that mostly oppressed the people. Further, the awakening the new spirit of meaningfull love perhaps experienced by most of us.***</span>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-28205311092769282062007-08-25T13:23:00.000-07:002007-08-25T13:25:59.081-07:00Resensi Buku: PEOPLE MOVEMENTS IN THIRD WORLD<em><span style="color:#ff6666;">Resensi Buku (Book Review), dimuat di <strong><span style="color:#3366ff;">Jakarta Post</span></strong>: </span></em><br /><br />Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga (People Movements in Third World)<br />Noer Fauzi (Editor)<br />Resist Book, Yogyakarta, September 2005<br />Xvi + 304<br /><br />Oleh: Nurani Soyomukti<br /><br />The resistant movement toward globalization will be come the interesting phenomenon to study by any disciplins today. The effort of global capitalist to force neo-liberal system in third world is also facing any protests in all over the world. It is clearly understood that such protests stimulate by the unjust outcomes of third world weakness vis a vis the international institution like WTO (World Trade Organization).In the middle of this month, we have also witnessed big number of people gathering in Hongkong to mark the history that the international people power will never stop along with the international oppression of global capitalist. Most of them are peasants from any country like Korea, Thailand, Indonesia. Philipine, India, and so on. The WTO’s policy has been considered benefecial for “rich” countries as well as they winning the trade war on the agricultural products aginsts the weak poor countries. The people were committed to be in Hong Kong for peace protest WTO ministerial meeting that will only make them more suffer and loose our food sovereignty. For examples, the impact of WTO to the Thailand farmers even worse, the production cost is very high and make them tight up by the debt and many farmers committed suicide since they cannot pay the debt. In Indonesia, many children suffer from malnutrition most of them come from the peasant families who live in poverty. Agriculture products have to sale with the very low price and do not cover the production cost. Young peoples are no longer interest to be farmer, in Japan number of young farmer is decreasing and will make Japanese agriculture disappear make Japan totally depend on food import. While the peasant fight to protect our farming land, the peasant rights violation face by the peasants in Philippine, intimidate, torture, disappearance, and even murder of the peasant. The violation faces by the peasant make the woman peasant responsible for the family and the farming land. The consequences of international unjustice, the movements has been organized by any activists with any perspectives of ideology, tactics and strategies, programs, and even the way how they survive with poor recourses (organizer and funding). When the elites ang governments in the third world speak nothing to the driver of globalization, the people such peasants feel that they have to empowering themselves by political movement.Highlighting the real dinamics of people movements in the third world is the goal of Noer Fauzi when he edited some articles which gathered in a book entittled “Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga” or People Movements in the Third World.He try to delivers his some observers view in describing different movements of people in defferent countries. Any profiles of peoples movements with their own characteristics from third countries intended to enrich our perspectives in looking the movement. Every (people) movements and organization has its own history. The way they response the oppressing globalization show their weakness and strongnees described by this book. But this book focus on the movements of local people in rural areas that marginalized by (capitalistic) development.But is is clear that the ideas expressed by authors related to the fact that local politics in rural third world is persistently influenced by the actors of both national and global proccess which suffers the poor. It is underlined that not all local people follow the policy toward both local and national government in their country as oftenly come from global capitalist preassure when they want to find real economic activity or expanse the marketplaces. Some the rural people react and even, in most cases showed by this book, organize profound resistance.This book is so interesting as comprising selected writing from observers with sharp views in analysing each movement. The editor select them in order to gain details, context, anatomy, and the dinamic of such movements. To fulfill that goal, it was selected 9 contemporary people movements representing Asia, Latin America, and Africa as third world countries. The movements are: “Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST)” or Movement of Rural Landless Workers in Brazil; “Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional” (EZLN) or Zapatista National Liberation Army in Mexico; “Föderation der indigenen Organisationen des Napo” (FOIN) or Federation of Napo Indigenous People Organization in Ecuador; Landless People's Movement (LPM) in South Africa; Land Occupation Movements in Zimbabwe; Narmada Bachao Andolan (NBA) or ‘Save Narmada’ Movement in India; The Assembly of the Poor (AOP) in Thailand; “Pambansang Ugnayan ng mga Nagsasariling Lokal na Samahang Mamamayan sa Kanayunan” (UNORKA) atau National Coordinator of Autonomous Rural and Local People Organtization in Philipine; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) or Indigenous Peoples Alliance of the Archipelago in Indonesia.The effort to contest some organizations of people movements extremely suppoted by clear and deep illustration of each organization. The dinamics of movements that is presented chronologically delivers description about the historical basic of such different sircumstance in today reaction of globalization. The complete situation of people resistance covered by this book offers reader so may perspectives of ideology, strategy-tactic, and programs. Further, readers can learn any challenges faced by movements and how to solve them when resistance as still the idealistic choice for activist.***Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-37621828158259928542007-08-25T13:04:00.000-07:002007-08-25T13:08:52.350-07:00(Esai Politik): "SOFT POWER", STRATEGI GERAKAN ANTI-TEROR(ISME)<span style="color:#993399;"></span><br /><span style="color:#993399;">Oleh: Nurani Soyomukti<br /><br /></span><span style="color:#993399;"></span><br /><span style="color:#993399;">Adalah <span style="color:#ff6600;">Joseph Nye</span>, pemikir yang sangat teguh mengkritik berbagai kebijakan Amerika Serikat yang selalu melawan gerakan garis keras Islam dengan cara-cara kekerasan seperti serangan bom ke Irak dan Afgnanistan beberapa tahun lalu. Tokoh intelektual yang juga menjadi rektor Harvard’s Kennedy School of Government yang juga pengarang “<em>Soft Power: The Means to Succes in World Politics</em>” ini sejak awal telah mewanti-wanti bahwa serangan fisik untuk melawan kaum teroris tidak akan cukup efektif dalam mencapai tujuan.<br />Ramalannya terbukti. Irak yang telah ditakhlukkan pemerintahannya justru menjadi ladang aktivitas kaum teroris yang beraksi tiap hari (<em>daily terrorism</em>). Teror yang bagi mereka dimaksudkan untuk menandai perlawanan terhadap kaum “kafir” yang disimbolkan dengan Amerika dan pemerintahan anteknya. Ini membuktikan bahwa kekerasan yang telah mengawali setiap tindakan untuk meraih tujuan akan berujung pada kekerasan yang tidak kunjung selesai.<br />Tindakan yang dilakukan manusia selalu memiliki landasan ideologis. Kekerasan yang dilakukan oleh kaum teroris juga dilandasi dengan keyakinan (<em>truth-claim</em>) bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar—bahkan dari sudut pandang agama. Dengan demikian, kita sesungguhnya berhadapan bukan hanya dengan tindakan kekerasan, tapi juga ideologi kekerasan dan mitos kebencian itu sendiri.<br />Penulis beranggapan bahwa kekerasan selalu lahir dari kontradiksi yang dihadapi manusia baik dalam tingkatan realitas (ekonomi, politik, sosial, budaya) konkrit maupun dalam tingkatan pemikiran. Ketimpangan antara menafsirkan realitas dan akar-akar persoalan yang ada dalam ranah objektif kepolitikan masyarakat dewasa ini membuat jawaban-jawaban yang ada diwujudkan dalam tindakan politik yang juga salah.<br />Sesungguhnya muara objektif antara kepentingan ekonomi-politik dan pemikiran ideologis akan menghasilkan kondisi yang dapat meminimalisir kekerasan. Jadi, ketimpangan pemikiran yang ada harus diluruskan dengan diimbangi dengan pemikiran yang objektif, yang mampu mendekonstruksi kepalsuan ideologi kekerasan yang mungkin dimiliki oleh kelompok sosial-politik.<br /><br /><em>Melawan Keyakinan Dengan Keyakinan</em><br /><br />Perang pemikiran (ghaswul fikri) adalah tema kehidupan modern katika demokrasi yang dibawanya menyediakan ruang-ruang publik (<em>public sphere</em>) yang memungkinkan setiap individu dapat menyalurkan pemikirannya. Kontestasi wacana akan menguji mana ide-ide yang paling menarik dan mampu menjelaskan persoalan yang ada di masyarakat.<br />Dalam pengertian itu, perang melawan terorisme bukanlah benturan peradaban (<em>clash of civilization</em>)—sebagaimana dikatakan Huntington yang lebih mewakili ketakutan (oknum) penguasa Amerika Serikat sendiri. Perang terhadap terorisme harus dimaknai sebagai perang sipil di dalam peradaban manapun antara kaum ekstrimis yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan visi dan tujuan mereka dengan mayoritas kaum moderat yang menginginkan pekerjaan pendidikan, pelayanan kesehatan dan nasib yang diusahakan sesuai dengan keyakinan yang dipraktekkan. Perang terhadap teror tak akan menang jika pemikiran yang menginginkan keadilan dan demokrasi keyakinan tidak menang.<br />Pemerintah Indonesia terbukti selalu gagap dalam menghadapi kaum teroris karena mereka pada saat yang sama juga tidak mampu memenangkan suatu yang penting, yaitu memberi keyakinan pada rakyatnya bahwa mereka aman bukan hanya secara politik, tetapi juga ekonomi (kesejahteraan). Tambahan lagi, semaraknya pemikiran agama yang menyimpang dengan ideologi kekerasan yang dibawanya juga disebabkan oleh kemiskinan masyarakat yang semakin meluas. Rakyat yang kurang terdidik, karena memang mereka dibatasi dalam akses pendidikan, dan juga karena kurangnya pendidikan demokrasi yang mereka terima, membuat pemikiran anti-objektif semarak di masyarakat. Penjelasan yang sekenanya, tidak objektif, juga dibumbui dengan rasialisme dan sentimen kelompok, membuat ideologi kekerasan mudah merebak di masyarakat.<br />Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah juga lebih menekankan pada aspek politik keamanan (<em>hard power</em>). Pada hal yang paling dibutuhkan adalah pemahaman masyarakat tentang kehidupan keberagamaan. Keberagamaan yang hanya jadi ritualitas wantah dan cuma menjadi kesemarakan dalam media komersial seperti TV ternyata juga tidak mampu membawa pemahaman masyarakat pada hakekat agama sebenarnya. Pada titik inilah, potensi pemikiran fundamentalisme menemukan persemaiannya. Pemerintah terlalu banyak menghabiskan dana bagi pendekatan militeristik dan politik keamanan tersebut, dan tidak memperhatikan pentingnya pembangunan pendidikan dan penyadaran. Minimnya anggaran untuk pendidikan adalah suatu contoh nyata dari kelemahan itu.<br />Hal yang sama juga terjadi secara internasional. Dengan berakhirnya Perang Dingin, sebenarnya Amerika Serikat pernah tertarik dalam mengeluarkan anggarannya bagi pembangunan soft power-nya. Berbagai dana dikeluarkan untuk menarik perhatian masyarakat dunia tentang nilai-nilai demokrasi dan HAM yang menjadi warisan para pendirinya. Tetapi setelah peristiwa 11 September 2001, tindakan militeristik justru ditingkatkan. Bahkan biaya militer sebesar 400 kali lipat dibanding pengeluaran untuk pendekatan non-militer (Nye, 2004).<br /><br /><em>Membentuk Mental Kaum Muda</em><br /><br />Kaum muda sebagai kalangan yang aktif dalam merespon perkembangan masyarakat, tentunya adalah tulang punggung dari gerakan perdamaian. Memperbanyak aktivitas intelektual adalah hakekat sesungguhnya dari proses pencarian akan kebenaran kehidupan untuk menuntaskan perubahan yang ada.<br />Kajian masalah sosial dan keberagamaan saat ini, sayangnya, semakin melemah. Seharusnya pemerintah dan pemimpin negeri ini melihat bahwa pola pikir dan pemahaman kaum muda sangatlah penting untuk melihat bagaimana arah bangsa ini ke depan. Pada saat ancaman kekerasan telah mengglobal dan melokal, harus ada benteng ideologis yang dapat menjadi kekuatan spiritual bagi serangan-serangan pemikiran sempit dan fanatisme keberagamaan.<br />Dalam konteks ini, pemahaman yang objektif dan mampu menjelaskan persoalan dapat dikatakan sebagai <em>soft power</em> (kekuatan lunak), tetapi imbasnya adalah kekuatan kemanusiaan yang dahsyat. Kekuatan militer dan semangat kekerasan akan kelihatan remeh pada saat masyarakat mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. “Soft power” adalah kemampuan yang dibangun dengan cara menarik (<em>attract</em>) ketimbang dengan memaksa (<em>coercion</em>). Ia muncul dari daya tarik suatu negara, budaya, idealisme politik, atau kebijakan yang dapat membuat masyarakat merasa nyaman baik secara kognitif maupun praktis. Kognitif dalam arti bahwa kaum muda dapat mengetahui realitas sesungguhnya, kesadarannya muncul, dan kehidupannya menjadi bergairah menatap masa depan. Hal ini membuat mereka bebas dari frustasi dan tak berpengetahuan (<em>un-knowledgeness</em>) yang mudah disusupi pemikiran-pemikiran menyimpang (<em>fallacy</em>). Praktis dalam arti, mereka dapat terlibat aktif dalam memecahkan persoalan bangsa, terlibat aktif dalam membangun kembali puing-puing kehancuran kehidupan sosial, kebangsaan, dan keberagamaan. Mereka dapat terlibat aktif dalam organisasi-organisasi kemanusiaan di masyarakat untuk mengatasi persoalan-persoalan pengangguran, anak jalanan, HIV/Aid, penyalahgunaan obat terlarang dan narkoba, hingga kampanye perdamaian dan kesetaraan manusia. Membangun komunitas ilmu pengetahuan dan gerakan penyadaran yang berstruktur kuat akan dapat menjadi tameng dari kaum teroris yang bahkan sudah punya struktur di kampung-kampung.***<br /></span>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-53800115614761251252007-08-25T11:41:00.000-07:002007-08-25T11:48:23.727-07:00Undangan Diskusi Sastra: MENGAJI CERPEN "CORAT-CORET DI TOILET", Karya Eka Kurniawan<div align="center"><strong><span style="font-size:180%;"></span></strong> </div><div align="center"><strong><span style="font-size:180%;color:#33ff33;">Undangan Terbuka/Gratis:</span></strong></div><div align="center"><strong><span style="font-size:180%;"></span></strong> </div><div align="center"><strong><span style="font-size:180%;">Adakah Nasionalisme Dalam Sastra Indonesia di Era Globalisasi?</span></strong></div><div align="center"><br />Sebuah pertanyaan menggelitik pada saat banyak pengamat sastra mencurigai bahwa sastra Indonesia telah menceburkan diri dalam estetika dan ideologi globalisasi neoliberal, di mana identitas dan kedaulatan bangsa telah digerus dan akhirnya dikaburkan. </div><div align="center">Untuk mengujinya kita bisa mengambil sampel, membaca dan menganalisis karya sastra dan proses kreatif sastrawan itu sendiri.<br />Sastra koran, demikian istilahnya, barangkali adalah wujud sastra yang paling mudah terjangkau karena kita bisa menikmatinya tiap hari minggu dalam hampir setiap koran harian. Tak heran jika, hari minggu disebut sebagai “Hari Cerpen Indonesia”Ya, masih adakah nasionalisme dalam sastra Indonesia?Bagaimanakah manusia Indonesia dalam cerpen?<br />Pertanyaan ini jarang sekali dijawab. Oleh karena itu dari Galeri Publik, Institute of Global Justice (IGJ) dan Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) mengadakan acara "<strong>Diskusi Sastra: Menelaah Cerpen Corat-Coret di Toilet, karya Eka Kurniawan" pada:<br /></div></strong><div align="center"><strong>Kamis, 30 Agustus 2007, Pukul 18.30-selesai (Plus dinner)</strong></div><div align="center"> </div><div align="center">Bertempat di Galeri Publik, INSTITUTE FOR GLOBAL JUSTICE, Jln Diponegoro No. 9 Menteng Jakarta Pusat 10340.</div><div align="center"><br />Menghadirkan pembicara:</div><div align="center"><strong>Eka Kurniawan</strong> </div><div align="center">(Penulis), </div><div align="center"><strong>Helvy Tiana Rosa </strong></div><div align="center">(Cerpenis, ketua Forum Lingkar Pena/FLP, Dosen Sastra Universitas Negeri Jakarta),</div><div align="center"><strong>Ramses Sihar Simatupang</strong></div><div align="center"> (Cerpenis, Esais, dan mantan Redaksi Budaya SINAR HARAPAN).</div><div align="center">Moderator: </div><div align="center"><strong>Nurani Soyomukti </strong></div><div align="center">(Esais dan Kabid Seni Sastra Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat/JAKER) .</div><div align="center"><br />Info selengkapnya dapat menghubungi:Revitriyoso HusodoKoordinatorGALERI PUBLIK INSTITUTE FOR GLOBAL JUSTICEJl. Diponegoro No. 9 Menteng, Jakarta Pusat 10340.Telp: 62-21-3193 1153, Fax: 62-21-3913956Email: galeri_publik@globaljust.orgwww.galeripublik.multiply.com<br />Atau:Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER)Jl. Tebet Dalam II G No 1/Telp: (021) 8354513;Email <a href="mailto:pp.jaker@yahoo.com">pp.jaker@yahoo.com</a></div><div align="center"> </div><div align="center">Informasi:Irma 081387760879;Nurani Soyomukti 081559947664<br /> </div>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-77071792354529579662007-08-25T11:32:00.000-07:002007-08-25T12:08:58.931-07:00(Esai): PENGARANG YANG MATI ATAU LUPA DIRI ALIAS PINGSAN?<em><span style="color:#ff6600;">Oleh: Nurani Soyomukti</span></em><br /><br />Esai Saudari Maya Susiani berjudul “Kematian Pengarang sebagai Peringatan” di harian SURYA (Minggu, 15/07/2007) menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Tulisan tersebut berusaha mengklarifikasi apa yang pernah ditegaskan oleh filsuf dan pakar semiotik Roland Barthes yang mengumumkan “kematian pengarang”. Klarifikasi penulis dikaitkan dengan pemahaman umum yang berkembang dengan menganggap bahwa “kematian pengarang” lebih banyak ditafsirkan sebagai hilangnya tanggungjawab atas pengaruh apapun dari karya yang ditulisnya.<br />Sekarang ini budaya literer tanah air bisa dikatakan mengalami kemajuan jika dilihat dari kian berkurangnya jumlah orang yang buta huruf, meningkatnya kebiasaan membaca dan menulis, serta menjamurnya berbagai macam lembaga penerbitan media baik koran, tabloid, majalah, hingga penerbit buku. Salah satu efek dari tumbuhnya institusi penerbitan tersebut juga melahirkan banyak pengarang yang mencoba eksis dalam dunia kepenulisan, bahkan tidak jarang yang menggantungkan eksistensi hidupnya (semata-mata) dari mengarang atau menulis.<br />Penulis-penulis baru, terutama dari kalangan kaum muda (mahasiswa), bermunculan dan saling bersaing berebut eksistensi dalam dunia penulisan. Para esais, penyair, cerpenis, kolumnis, dan bahkan reporter lepas terus bersaing agar tulisannya dimuat di media dan dapat memapankan namanya dalam dunia kepengarangan ini. Tetapi di satu sisi, persaingan ini juga telah membawa dampak pada pragmatisme intelektual dan kepengarangan yang dimiliki. Inilah yang kemudian mengakibatkan kondisi memprihatinkan dalam budaya literer kita. Ternyata semaraknya gairah menulis dan mengarang di kalangan muda hanya berkutat pada upaya meraih eksistensi, dan tak tersisa sama sekali idealisme ataupun komitmen sosial kepengarangan.<br />Dari sinilah nampaknya harus dilihat bahwa selain sebagai proses melontarkan nilai keindahan, nilai ideologis, maupun nilai idealisme pengarangnya, sesungguhnya menulis/mengarang tidak lebih dari proses dan kegiatan produksi ekonomis baik dari para pengarang, penerbit, toko buku, maupun masyarakatnya. Apalagi dalam masyarakat kapitalistik sekarang ini, dunia literer adalah sebuah industri. Buku, misalnya, bukan hanya struktur makna dari tulisan yang ada, tetapi juga komoditi yang diproduksi penerbit dan dijual di pasaran untuk mencari keuntungan. Karya tulis bukan hanya merupakan kumpulan teks-teks atau kata-kata; ia adalah lahan bisnis yang mempekerjakan orang-orang tertentu untuk menghasilkan komoditas yang dikonsumsi oleh pembaca untuk suatu keuntungan.<br />Penulis bukan hanya transposer (pengubah) struktur mental trans-individual, mereka juga para pekerja yang diupah oleh penerbit untuk menghasilkan komoditi yang ingin dijual. Bahkan Karl Marx sebagai pemikir yang intens dalam melakukan analisa terhadap kapitalisme, dalam Theories of Surplus Values ia juga mengatakan bahwa “seorang penulis adalah pekerja, tak sampai hanya sebatas penghasil gagasan, tetapi hanya sebatas memperkaya penerbit, sebatas buruh yang bekerja demi upah”.<br />Pertanyaan terhadap para penulis menyangkut hubungan produktif di zaman kapitalis sekarang ini memang patut dipandang secara dialektis. Para pengarang terikat dengan kedudukannya secara material dalam hubungan produksi, bahkan biasanya juga dari eksistensi kelas. Sastrawan rata-rata adalah mereka yang berasal dari latar belakang kelas yang memungkinkan mereka memiliki waktu luang, mendapatkan pendidikan dan akses informasi dan ilmu pengetahuan, juga memiliki akses dengan penerbit (kapitalis perbukuan atau media). Tesis ini semakin kuat ketika belakangan dunia kepengarangan diisi oleh kalangan artis selebritis, kalangan yang benar-benar telah menikmati kelimpahan ekonomis sehingga memiliki waktu luang untuk menulis, belajar menulis, atau sekedar menghasilkan tulisan (buku harian, biografi, dll).<br />Memang tidak ada yang meragukan bahwa penulis adalah bagian dari kaum intelektual dipahami sebagai orang yang ‘pintar’, ‘banyak pengetahuan’, ‘pandai menggambarkan realitas’. Bahkan lebih jauh lagi penulis dianggap ‘orang hebat’, ‘begawan’ seperti di dongeng-dongeng kuno, ‘bermutu’, ‘bermartabat’, dan kadang juga mendapat sebutan-sebutan lain seperti ‘pemikir’, ‘filsuf’, dan lain sebagainya.<br />Hal itu terjadi karena kaum itu dianggap memiliki pengetahuan dan mau ngomong tentang realitas yang lebih luas di luar dirinya, tetapi juga hubungannya dengan orang lain, masyarakat, bangsa dan Negara. Sebagai intelektual, penulis juga merupakan orang yang suka melontarkan gagasannya tentang masyarakat, mampu menghubungkan suatu konsep dan gambaran-gambaran yang ada tentang masyarakat dan lingkungan—sehingga dia dianggap ‘hebat’ karena (dianggap) mampu dan mau menggunakan waktu untuk ngomong tentang persoalan yang lebih besar. Kalau manusia “biasa” dalam ruang-waktunya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan (dan memikirkan) dirinya sendiri, misalnya bagaimana bisa makan, minum, atau sekedar membikin kegiatan yang berguna bagi kepuasan dan kesenangan diri (‘heppy-heppy’, ‘dugem-dugeman’); maka intelektual (dianggap) manusia yang dengan tidak menafikan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, masih sempat atau (bahkan) menghabiskan waktunya untuk berpikir, menganalisa, dan dalam hal tertentu menghasilkan solusi atau bahkan bukan hanya menulis, tetapi juga menyusun kekuatan dan strategi taktik untuk mewujudkan sesuatu yang lebih adil, objektif, dan tidak kontradiktif. Yang terakhir inilah yang disebut penulis progresif, yang tidak hanya menulis untuk tujuan pragmatis-individualis tetapi berkomitmen dan turut bertindak untuk perubahan masyarakat yang lebih baik.<br />Memang, penulis dan kaum intelektual banyak lahir dari orang-orang yang secara ekonomi cukup serta memiliki banyak waktu luang; dan bukan orang-orang miskin yang harus menghabiskan hari-harinya untuk bekerja sekedar untuk bertahan hidup atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar seperti makan, sekolah anak, membangun rumah, dan lain sebagainya. Tidak mungkin kaum miskin akan ngomong jauh-jauh tentang masyarakat, alam, dan lingkungan yang lebih luas karena ruang dan waktunya sangat terbatas dalam sistem hubungan produksi yang menghisap.<br />Maka salah satu tanggungjawab sosial penulis sebenarnya adalah memahami persoalan-persoalan masyarakat dengan menyadari posisinya tidak lahir dari ruang hampa. Ia harus sadar bahwa kondisi yang membuat dirinya memiliki banyak waktu luang dan banyak belajar adalah karena hasil kerja kaum miskin dalam hubungan ekonomi yang bersifat saling berhubungan (dialektis). Dia juga harus sadar bahwa posisi itu mampu membuatnya memetik kata-kata dari kehidupan karena pikirannya telah didekatkan dengan realitas, dan seharusnya adalah realitas total dari hubungan-hubungan yang ada dalam kehidupan nyata. Ia memetik kata-kata dan menyusun konsep-konsep untuk menggambarkan kehidupan. Sedangkan kehidupan sosial dibatasi oleh hubungan yang ekonomis di mana tidak mungkin posisi sosial dan kekayaan material sebagai landasan situasi riil yang mendatangkan imajinasi dan pengetahuan semata-mata terjadi begitu saja, pasti ada yang bekerja dan memberikan situasi material itu.<br />Dari situlah tanggungjawab dan komitmen sosial pengarang tertagih, baik disadari atau tidak. Ketenaran dan pendapatan besar yang didapat penulis biasanya membuatnya hilang ingatan. Ia tak sadar bahwa ia mendapatkan kata-kata karena telah mengeksploitasi realitas kemiskinan yang melahirkan kontradiksi yang ia tangkap. Dan ia mustahil mampu berpikir jika tidak ada realitas sosial konkrit, yang menagihnya untuk bersikap (baik melalui tulisan ataupun berpihak melalui tindakan).***Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-12240504150180016502007-08-25T11:25:00.000-07:002007-08-25T11:31:55.298-07:00(Puisi): GLOBALISASI<span style="color:#3333ff;"><strong><em>Oleh: Nurani Soyomukti</em></strong></span><br /><br /><br /><span style="font-size:130%;">01 Januari 2004,<br />Virus belum teridentifikasi melayang-layang di udara<br />Tak tertembus mata kita<br />Dan aku bosan membayangkan sajak tentang dukamu menangis, meraung-raung, menjerit-jerit. Bait-bait curianmu pasti terdesak prasangka tanpa voltase keimanan<br />--karena itulah, kau takut menjadi pahlawan abad ini?<br />Dunia mengobral kata-kata murahan.<br />Etalase.<br />Dunia iklan.<br />Sajak-sajak artifisialmu yang baru kau baca di layar TV… aku yakin semua akan tertolak dalam kesepianmu.<br /><br />Virus-virus peradaban melayang-layang di udara<br />Juga tak terdeteksi oleh mesin komputermu<br />Cuma gosip murahan yang akan berkembang, yang kini masih kau simpan rapi dalam fail-fail yang hanya bisa dibuka saat sisa air hujan sudah mengering. Dan kembang plastik dalam puisi, hanyalah lambing sepi: Bukan lambing Cinta murni!<br /><br />Cinta, dalam mimpi-mimpi di dunia ketiga, adalah uluran tanganmu yang membekaskan dendam.<br />Keakraban harus mampus dalam dikotomi. Jarak begitu jauh di antara jurang ideologi.<br />Cinta, dalam mimpi-mimpi dunia sajakku, adalah dongeng-dongeng seribu harapan pada segenap episode dari pulau-pulau terpencil dalam aorta: darah akan terus mengalir membawa sisa-sisa tragedi yang terjadi.<br /><br />Kita tiba di abad dua puluh satu, bisikmu.<br />Dan malam akan datang dengan hawa rindu dendam, yang lari tunggang langgang, mengombinasikan angan-angan orang di pinggir jalan dan rumah-rumah sebesar detik-detik waktu, dengan atap-atap beterbangan.<br />Rindu dendam pun berhamburan.<br />Bulan yang merayap di atas pohon-pohon duren perkasa adalah kesunyian.<br />Bintang yang merayap di atas dua hati terbuai adalah kehampaan.<br />Jengkerik yang bernyanyi mengiringi perselingkuhan mendobrak angin malam kembali ke kamar peradaban menunggu.<br />Semak-semak kecil aset pivotal bagi kain cinta yang semakin transparan.<br />Dan lihatlah mereka berdua yang berkaca pada kabut, tanpa busana dan pikiran.<br />Malam ini kita tak lagi berada di kegelapan, angin kan senantiasa menjenguk bulan yang terpenjara, bisik seorang dari mereka. Lalu mereka berjalan bergandengan melanjutkan menikmati malam.<br />Dan ada kekeringan nyata di antara gegap gempita orang-orang membangun rumah sewa di sepanjang perjalanan kemelaratan. Di dalamnya, noda-noda yang tercipta dilengkapi dengan obat perangsang, serta ada guci-guci arak berserakan.<br />Di jalan lain, mulut-mulut berkeliaran mencari kawan bermain, sambil berkata tentang alat kelaminnya yang telah mengencingi bumi yang tak lagi murni.<br />Di sebuah meja rumah penginapan juga ada irisan hati yang tak layak disajikan di atas piring dan mangkuk makan malam, kecuali dengan rayuan iklan kebohongan yang menjiplak khotbah-khotbah setan yang juga kelaparan pada alamnya sendiri.<br />Dan alangkah suburnya pohon-pohon paha manusia-manusia besi yang terbuka, pada etalase-etalase, yang menggantikan padi dan kebutuhan sehari-hari.<br /><br />01 Januari 2005,<br />Mungkin aku terlalu pandai menyambut kedatangnmu, di abad dua satu yang katamu ada bulan-bulan memerah jambu<br />Beberapa porsi menu pesta yang kau sajikan untuk menyambut sejarah,<br />yang kau bilang tak dapat dimakan usia,<br />kubanting tanpa kata-kata,<br />tanpa puisi jiwa.<br />Kau hendak menggunduli kepalaku<br />Tapi aku merasa bukanlah anak atau darah dagingmu<br />Aku hanya kau temukan di persimpangan jalan kekolotan. Nafasku berbau hutan, dan aku hanyalah bocah yang akhirnya terbuang dari peradaban semak belukar.<br /><br />Dan sepertinya tahun ini layar bioskop masih akan memproyeksikan tebalnya gincu merahmu. Pada hal aku telah puas mengecupmu sebelum memulai adegan.<br />--sepertinya gedung bioskop juga akan terbakar.<br /><br />Di dalam rumahmu, praduga kejang pada interlude.<br />Iklan TV mengiringi jarum jam, sempoyongan.<br />(Egak egok egak egok egak egok egak egok..<br /> pengayuh becak jamanpun sempoyongan.<br /> Lalu kau buang besi-besi tua itu ke samudra Indonesia,<br /> sebelum memulai kisah selanjutnya!).</span><br /><br /> (Jakarta, 2004).Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-2918606407538174852007-08-21T11:06:00.001-07:002007-08-25T12:55:50.309-07:00(Gagasan): TINGGALKAN CINTA EKSKLUSIF, TEGASKAN CINTA UNIVERSAL: CINTA MENURUT KARL MARX<p class="MsoBodyText" style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><b><span lang="PT-BR"><br /></span></b></span></p><p class="MsoBodyText" style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><b><span lang="PT-BR"><br /></span></b></span></p><p class="MsoBodyText" style="COLOR: rgb(51,51,255);font-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="PT-BR" style="color:#330099;">Oleh: Nurani Soyomukti</span></span></p><p class="MsoBodyText" style="font-family:verdana;"><br /></p><p class="MsoBodyText" style="FONT-FAMILY: verdana"><b><span lang="PT-BR"><span style="font-family:times new roman;"><span style="font-size:130%;"><span style="color:#ff6600;">Cinta <i>Versus</i> Kapitalisme<?xml:namespace prefix = o /><o:p></o:p></span></span></span></span></b></p><p class="MsoBodyText" style="TEXT-INDENT: 14.2pt;font-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="PT-BR">Ungkapan terpenting lain dari Marx, yang mungkin bisa mewakili seluruh idealisme humanisnya, adalah:<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoBodyText" style="MARGIN-LEFT: 14.2pt;font-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="PT-BR"><o:p></o:p></span><i><span lang="PT-BR">Mari kita mengasumsikan manusia menjadi manusia dan hubungannya dengan dunia menjadi hubungan yang manusiawi. </span></i><i>Kemudian cinta hanya dapat ditukar dengan cinta, kepercayaan dengan kepercayaan, dan sebagainya. Jika Anda ingin mempengaruhi orang lain, Anda harus memiliki pengaruh yang menstimulir dan bersemangat pada orang lain. Setiap hubungan yang Anda miliki dengan orang lain dan dengan alam pasti merupakan ungkapan khusus yang berkaitan dengan tujuan keinginan Anda, tujuan hidup pribadi Anda yang nyata. Jika Anda mencintai tanpa membangkitkan cinta, yakni jika Anda tidak dapat, dengan memanifestasikan diri Anda sebagai orang yang mencintai, membuat<span style="font-size:+0;"> </span>diri Anda sebagai orang yang dicintai, maka cinta Anda tumpul dan mengenaskan.<o:p></o:p></i></span></p><p class="MsoBodyText" style="MARGIN-LEFT: 0.5in; TEXT-INDENT: 14.2ptfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 14.2pt; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN">Seabenarnya bukan hanya Marx, para nabi dan filsuf<span style="font-size:+0;"> </span>nampaknya sama-sama sepakat bahwa Cinta adalah esensi manusia yang terpenting. Setelah watak manusia adalah makhluk yang berpikir, nampaknya hal ini belum cukup kalau tidak didasari oleh Cinta (agape): ini adalah syarat untuk menjadi manusia. Marx nampaknya mendefinisikan cinta sebagai ungkapan manusia terhadap dunianya (orang lain dan alam). Tesis yang mendasari pemikiran Marx adalah bahwa dalam kondisi kepemilikan pribadi tidak terdapat cinta; sehingga keadilan ekonomi-politik dan pemerataan akses-akses pemenuhan kebutuhan hidup dianggap lebih dekat dengan substansi cinta. <o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 14.2pt; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN">Ketimpangan sosial karena ketimpangan kepemilikan alat produksi tidak kondusif bagi termanifestasikannya cinta. (Tidak ada Cinta selama orang hanya disibukkan untuk mengurusi kebutuhan materinya dengan pertukaran jual-beli kapitalistik: Cinta dibatasi oleh klaim-klaim kepemilikan pribadi.) Bagaimanapun, cinta adalah ungkapan khusus yang memanifestasikan “tujuan hidup manusia yang nyata” itu. Kemurnian cinta tidak akan ada kalau manusia teralienasi dari hubungan produksi yang timpang, karena alienasi ini terjadi dalam hubungan manusia dengan objeknya. Cinta pada dasarnya adalah kemampuan untuk memberi, atau setidaknya untuk berbagi dengan orang lain. <o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 14.2pt; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="PT-BR">Perasaan manusia secara alamiah dibentuk oleh objek di luar perasaan itu. Akan tetapi subjek dan objek tidak bisa dipisahkan kalau manusia berani kembali ke dalam watak alamiahnya dan meninggalkan hubungan kepemilikan pribadinya. Sehingga adalah penting untuk menegaskan bahwa—meskipun juga sering diungkapkan dalam lagu-lagu atau puisi pop—“cinta itu buta”; dalam pengertian bahwa cinta itu tidak mengenal status (ekonomi-politik), jenis kelamin, ras, agama, dan lain-lain: “cinta hanya dapat dipertukarkan dengan cinta”, kata<span style="font-size:+0;"> </span>Marx. Perlu dicatat bahwa Marx membicarakan cinta, sebagaimana konsep alienasi yang ia rumuskan, secara filosofis dan bukan secara psikologis.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoBodyText" style="TEXT-INDENT: 14.2pt;font-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="PT-BR">Sedangkan basis material cinta akan terpenuhi bila secara ekonomi-politik tidak ada ketimpangan kelas. Cinta memerlukan basis materi untuk tidak menjadi suatu konsep yang utopis dan ide-ide kacangan sebagaimana diperdengarkan dalam <i>lip-service</i> para<span style="font-size:+0;"> </span>eli-elit dan politisi penipu rakyat atau penyanyi-penyanyi dan para <i>entertainer</i><span style="font-size:+0;"> </span>kapitalis. Pasalnya, meskipun mereka menjual suara-suara bahwa mereka akan memperjuangkan rakyat, ternyata mereka tidak mau merubah hubungan material-produktif di masyarakat. Mereka justru konservatif dan anti-perubahan ketika posisinya yang elitis membuat mereka bisa mendapat kemudahan hidup dengan mengatasnamakan “wakil rakyat”; sementara kebijakan yang mereka buat justru membuat rakyat menderita. Ini sekaligus untuk menegaskan bahwa materialisme-historis Karl Marx masih cukup relevan sebagai analisa dan perjuangan bagi perubahan yang mendasar menuju<span style="font-size:+0;"> </span>keadilan.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoBodyText" style="TEXT-INDENT: 14.2pt;font-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="PT-BR">Dari sini saya menyimpulkan bahwa Marx telah menunjukkan kontradiksi dasar dari cita-cita Cinta dan hubungan sosial: Kepemilikan Pribadi, Individualisme, Liberalisme, dan aspek ketidaksadaran dalam menganalisa hubungan sosial itu.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 14.2pt; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN"><o:p></o:p>Orang boleh berkata (dan mengejek), ‘’apa yang bisa didiskusikan dengan cinta’’. Tapi nampaknya tetap perlu untuk membicarakannya sebab manusia butuh pengetahuan, tentang apapun. Mungkin mereka juga mengejek romantisme dan kata-kata indah: karena, mewakili kalangan yang pesimis-apatis, mungkin mereka terbiasa melihat kenyataan<span style="font-size:+0;"> </span>bahwa kata-kata indah selalu menghiasi dan menjadi aroma dalam dinamika kapital; kata-kata indah menjadi alat dan komoditas<span style="font-size:+0;"> </span>pasaran, iklan, kepura-puraan artis film dan sinetron. Masyarakat disuguhi<span style="font-size:+0;"> </span>estetika yang bapak-ibunya<span style="font-size:+0;"> </span>adalah modal. Mereka belum membayangkan masyarakat selain masyarakat kapitalisme: mereka, manusia massa dewasa ini, jarang yang berpikir dan merasa, atau merenung, tentang hakekat<span style="font-size:+0;"> </span>cinta. Akhirnya mereka apatis dan tidak lagi percaya dengan cinta, dan menempuh cara-cara yang justru menjauhi nilai-nilai holistis dari cinta itu sendiri. Akibatnya, pelarian filosofis orang-orang korban sistem mengarah pada hal-hal berupa ikut arus secara membuta, atau menyatakan kebejadan sistem dan kemanusiaan dengan cara menjadikan diri sebagai pelaku yang asal-asalan. Banyak orang menjadi pelacur, maling, pembunuh, dan lain-lain hanya karena mereka apatis dalam menghadapi keadaan yang seolah-olah semuanya “bejad”. Adagium “Jaman edan, yen ra edan ra melu keduman” (jaman sudah gila dan rusak, kalau nggak ikut rusak tidak akan mendapatkan sesuatu yang kita inginkan) merupakan ide yang mewakili kalangan itu. Pelarian ini adalah akibat dari ketidakpercayaan masyarakat pada cinta, kebersamaan, kebajikan, serta mengilusi mereka bahwa percuma diadakan perjuangan untuk mengembalikan makna cinta sejati dalam sistem sosial ini. Dan apa yang kita lihat dari hari ke hari? Amoralitas, kanibalisme, dekadensi, degenerasi, kehancuran lingkungan kemanusiaan dan alam semakin merajalela. <o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 14.2pt; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN">Tapi, dalam kondisi pesimisme sosial-budaya seperti itu, tetap masih ada sosialisasi tentang makna dan esensi cinta secara benar dalam masyarakat. Sehingga dunia saat ini butuh propagandis-propagandis cinta yang militan, bukan sebagai artis atau pelacur di<span style="font-size:+0;"> </span>majalah-majalah, koran dan TV. Aparat-aparat kapital itu hanya menunjukkan pemaknaan mereka yang “tidak karuan” terhadap cinta, yang justru menjadi propagandis penindasan dan akselerator dehumanisasi. Telah lama muncul istilah ‘’pacaran’’—ditunjukkan dengan agresifitas perburuan (<i>hunting</i>) antar lawan jenis dalam kesemarakan remaja kita, yang tetap mengatasnamakan cinta… cinta yang benar-benar “buta”.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 14.2pt; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN">Jadi, selain<span style="font-size:+0;"> </span>ada orang-orang yang pesimis sekali terhadap cinta dan keindahan, juga ada orang yang optimis. Sementara<span style="font-size:+0;"> </span>masyarakat kapitalis menciptakan manusia pemuja keindahan secara membuta berdasarkan<span style="font-size:+0;"> </span>logika kapital dan buaian-buaian iklan. Kreasi<span style="font-size:+0;"> </span>keindahan<span style="font-size:+0;"> </span>yang diciptakan dalam logika pencarian keuntungan dan akumulasi kapital demi kemewahan dan kemudahan hidup golongan penumpuk modal telah mengkondisikan manusia mengalami estetisasi kehidupan sehari-hari, atau membuat pengaburan<span style="font-size:+0;"> </span>atas perasaan dikotomis antara kebahagiaan dan penderitaan: manusia bahagia dalam penderitaannya, menderita dalam kebahagiaannya ataupun puas melihat kebahagiaan orang lain. Inilah corak masyarakat yang dirayakan sebagai modernitas itu: Hasil dari kontradiksi kapitalisme yang berupa kesenjangan kelas ekonomi-politik diestetisasi menjadi kemampuan untuk menerima begitu saja yang hadir bertubi-tubi sebagai humor, erotika, kesedihan, kebahagiaan; dan semuanya bercampuraduk menjadi estetika yang berganti-ganti tiap detik: manusia menjagi gila dalam ketidaksadarannya— sebentar ketawa, sebentar marah, sebentar sedih, sebentar bahagia dari situasi iklan TV yang berganti-ganti dengan sinetron, humor, tragedi, serta acara-acara yang berganti-ganti sebagai kegilaan yang berubah-ubah dalam kesemarakan pasar yang ramai barang-barang konsumen. Tawa, tangis, kesedihan, kemarahan, humor, senyum, air mata, juga menjadi barang dagangan yang menjadi hiburan. –Dalam kapitalisme dewasa ini segalanya menjadi komoditas, termasuk cinta: dan di antara mereka ada yang pesimis, bahwa cinta tidak ada... Tapi mereka masih memungkiri bahwa mereka hanyalah spesies biasa yang kehilangan ancangan filsafat. Inilah <i>the death of phylosophy</i> itu. <o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 14.2pt; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN">Kedalaman hidup, makna cinta sejati, sulit ditemukan<span style="font-size:+0;"> </span>dalam manusia kapitalis jika tidak ada perjuangan yang konsisten menuju sistem lain. Karena mereka tidak bisa berpikir banyak di luar<span style="font-size:+0;"> </span>hubungan kepemilikan pribadi serta upaya-upaya dan tindakan-tindakan untuk mengatur hubungan pertukaran diri (tubuh dan jiwa) dalam percaturan kapitalistik. Bahwa diri adalah modal, bahwa tubuh, kerja, dan perannya, adalah pertukaran<span style="font-size:+0;"> </span>yang diwadahi oleh klaim-klaim kepemilikan pribadi. Pada hal cinta adalah kebebasan untuk dibatasi selain kerelaan; tidak ada cinta sejati selama manusia menganggap bahwa dirinya adalah miliknya sendiri tetapi sebenarnya terasing. Kemanusiaan dan cinta adalah “menjadi”, dan bukan “memiliki”.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 14.2pt; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN">Jadi, kapitalisme mengembalikan manusia pada wilayah kedalaman <i>id</i> dan <i>ego-</i>nya yang paling liar, bukan alami pada tingkat konformitas alamiahnya dengan individu lain, alam dan Tuhan. Akhirnya, manusia kembali pada kebinatangannya yang lebih buruk dari pada jaman (komune) primitif. Sebagaimana dipercaya oleh banyak ilmuwan, agamawan, tokoh-tokoh humanis dan filsuf, kapitalisme adalah kesalahan sejarah umat manusia.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 14.2pt; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN"><o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoBodyText" face="verdana"><span style="font-size:100%;"><b><i><span lang="IN">Perawan Manis: </span></i></b><b><span lang="IN">Melawan Kapitalis</span></b><b><span lang="IN"><o:p></o:p></span></b></span></p><p class="MsoBodyText" style="TEXT-INDENT: 14.2pt;font-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN">Cinta, dalam masyarakat kapitalis dewasa ini, setidaknya bukan hanya diteriakkan oleh para nabi, filsuf, agamawan-agamawan pembebas, tetapi, celakanya, juga oleh mahasiswa kacangan;<span style="font-size:+0;"> </span>dipropagandakan dan dipresentasikan oleh para pahlawan religius, spiritual dan moral cabul untuk mempertahankan tatanan kapitalisme ataupun feudalisme yang telah mapan, juga oleh tokoh-tokoh yang sedemikian runyam seperti artis (sekaligus pelacur borjuis<span style="font-size:+0;"> </span>yang lebih dihormati dari pada pelacur miskin), penjahat negara, dan si ideot. Cinta palsu dalam kapitalisme hadir untuk mengembangkan kontrol jasmani, mental dan emosional sebagai bagian dari proses peradaban yang didesain oleh para pemilik modal. Penumpuk modal adalah pemimpin dan penguasa peradaban kapitalisme. Dinamika dominasi masyarakat industri kapitalis yang bersifat manipulatif terhadap kebutuhan, ide-ide, dan idealisme keadilan memberikan peluang bagi cinta sejati untuk diubah menjadi perasaan romantik temporal dan kepentingan pragmatik dalam semarak konsumerisme dan kapitalisasi budaya estetis-hedonis, hasil dari perluasan pekerjaan dalam propaganda iklan, <i>marketing</i>, desain industri dan pertunjukan komersial untuk mendatangkan estetika<span style="font-size:+0;"> </span>cinta baru sebagaimana dirancang oleh para propagandis kapitalisme; tujuannya: mencari keuntungan, mengakumulasi kapital: untuk dengan mudahnya melampiaskan instink hewaniahnya.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoBodyText" style="TEXT-INDENT: 14.2pt;font-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN">Hanya dengan menganalisa hubungan produksi masyarakat, pertama-tama perjuangkan menuju cinta dan kemanusiaan (keadilan ekonomi-politik) akan menemukan pendasaran ide dan materinya. Syarat-syarat terjadinya perubahan adalah adanya kesadaran historisnya. Kesadaran masyarakat barangkali telah dianggap kalah dengan kapasitas untuk memanipulasi imajinasi dan ide-ide; tapi masyarakat yang sadar akan terus bergerak, dan semakin cepat ketika kondisi materialnya terpenuhi. Bukankah kebutuhan-kebutuhan itu (meskipun kadang, kata Herbert Marcuse dalam <i>One-Dimensional Man</i> adalah,<span style="font-size:+0;"> </span>semu) selalu memerlukan pemenuhan-pemenuhan; sementara orang, misalnya menurut Freud, akan <i>neurotik</i> ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi: mekanisme sublimasi inilah yang bisa diarahkan pada kesadaran kelas ekonomi-politik bagi perjuangan menciptakan masyarakat adil nantinya.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoBodyText" style="TEXT-INDENT: 14.2pt;font-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN">Sehingga basis material Cinta dan kemanusiaan akan dapat ditemukan kembali dalam masyarakat ketika pemuasan kebutuhan adalah suatu keharusan yang mewujudkan diri menjadi gerakan-gerakan penuntut pemenuhan kebutuhan, ketika itu tidak harus dimonopoli oleh minoritas borjuis; jadi, bukan sebagai pesan-pesan film Hollywood dan nyanyian-nyanyian populer itu, tetapi sebagai gerakan orang-orang yang menuntut keadilan atau membangun struktur sosial yang memungkinkan cinta menjadi benih-benih kemanusiaan universal. Hanya cintalah nampaknya yang peduli pada harga BBM, tarif dasar listrik, dan kesejahteraan umat manusia. Material cinta telah terbukti bergerak di berbagai wilayah dunia, dari Seattle sampai Genoa, dari Chiapas sampai Bogota, dari Korea menuju ke Asia Tenggara dan menyebar ke seluruh penjuru jagad. Setidaknya, di awal milenium ini, gerakan perlawanan terhadap kebencian yang sesungguhnya.<span style="font-size:+0;"> </span>Kaum progresif sudah berani memimpin masyarakat untuk berbicara<span style="font-size:+0;"> </span>tentang sistem alternatif di luar kapitalisme: <i>Another World Is Possible!</i> Dengan menunjukkan strategi dan taktik untuk mencapainya, pastilah kemenangannya<span style="font-size:+0;"> </span>akan cepat terwujud.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 14.2pt; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN"><o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoBodyText" style="TEXT-INDENT: 14.2pt;font-family:verdana;" ><span style="font-size:100%;"><span lang="IN">Gejala-gejala dunia telah mencatat berbagai pertentangan kelas: di satu sisi para kapitalis internasional (mulai dari yang menggerakkan koorporasi sejagad demi mengakumulasi keuntungan dengan menjejalkan produk-produk ke otak dan mulut konsumen pasif sampai borjuis yang mempropagandakan ide-ide neo-liberal<span style="font-size:+0;"> </span>dan imperialisme baru untuk melapangkan cara akumulasi kapital internasional dengan bantuan militer, entertainmen dan periklanan) terus beroperasi mendompleng IMF dan WTO untuk menghancurkan otoritas negara dalam melindungi ekonomi-politik rakyatnya melalui program <i>structural adjustment</i> (SAP) dalam utang luar negeri negara-negara miskin (seperti Indonesia) yang dipergunakan oleh kapitalis domestik untuk memanfaatkan keuntungan demi stabilitas kelas sosialnya. Sementara di sisi lain, gerakan buruh, orang miskin, petani, intelektual dan mahasiswa progresif masih berlangsung di berbagai sektor untuk menuntut keadilan—jumlahnya semakin masif dari waktu ke waktu. Dalam situasi seperti ini kemanusiaan dan cinta sejati hanya dapat diperoleh dengan meneriakkan—dari<span style="font-size:+0;"> </span>puisi Wiji Thukul—: “Hanya ada satu kata: Lawan!”<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><span lang="IN"><o:p></o:p></span></span></p>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-65118944226378799472007-08-21T10:00:00.000-07:002007-08-21T10:49:04.144-07:00(Refleksi): PERCAYA PADA KEKUATAN CINTA<span style="color: rgb(51, 0, 51);font-size:130%;" ><span style=""><o:p></o:p></span><br /></span> <p style="color: rgb(204, 102, 0);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;">Oleh: Nurani Soyomukti<o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p></o:p>Di negeri ini cinta semakin mahal, kebencian semakin murah. Pada hal manusia diciptakan oleh Tuhan untuk saling berpasang-pasangan, untuk saling mengenal satu sama lain, untuk saling memahami, dan untuk menciptakan kehidupan (hubungan sosial) yang lebih baik. Fenomena cinta adalah fenomena yang bisa dilihat ketika hubungan itu menunjukkan tingkat kedamaian, keharmonisan, dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Tapi itu<span style=""> </span>tak terjadi di sini. Cinta adalah misteri jika tanpa kemampuan untuk mengetahui.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p>Dan maka demikianlah, setelah melangkahkan kaki bersama seorang kekasih, misalnya, kita tidak tahu<span style=""> </span>apakah cinta<span style=""> </span>akan mengatakan pada kita tentang keabadian, suatu aras waktu yang, meskipun bisu,<span style=""> </span>mampu mengatasi ruang dan jarak di mana makna kehidupanpun senantiasa diukur baik dengan jumlah bayangan keindahan, rencana-rencana, dan tindakan cinta. Terus terang, dalam banyak hal seseorang tidak bermaksud bermain-main (play around) terhadap apa yang telah diucapkan tentang kebesaran cinta, misalnya: “Aku cinta padamu”, sebagai komitmen untuk membangun cinta bersama, meskipun ekslusif dan tertutup di luar dua orang yang saling “mencintai”. <o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;">Kadang seseorang juga berfikir bahwa ia akan kecewa suatu saat kelak ketika tidak bisa mengabadikan lakon cinta yang telah<span style=""> </span>disepakati bersama kekasihnya secara eksklusif. Tapi dari cerita cinta itu, mereka bisa berharap untuk belajar membuang penyakit narsisme dan egotisme kemanusiaan. Cinta menekan kecenderungan pada pemenuhan individual saja, suatu ruang yang membatasi gerak kasih yang tinggi. Mereka masih mengharap cinta akan mampu membantu menemukan identitas dan otonomi diri, sehingga tindakan<span style=""> </span>yang dilakukan, baik tentang cinta berdua (eksklusif), maupun tentang cinta pada manusia secara universal, adalah kerelaan resiprokal secara sadar. Mereka yang benar-benar memahami cinta, benar-benar berusaha menghindar untuk memanfaatkan perasaan<span style=""> </span>demi tujuan individual itu; dan tesa bahwa cinta adalah persoalan kepentingan individualis<span style=""> </span>harus dibuang. Jadi benar-benar harus menyadari relasi yang dibangun bersama, apapun tindakan yang dilakukan bersama seorang kekasih harus didasari oleh ketahumenahuan (pengetahuan) intersubjektif berdasarkan moral, kebaikan, dan keindahan (<i style="">beauty</i>) bersama. Manusia memang harus hirau dan, nampaknya,<span style=""> </span>harus berhasil dalam hal ini pada saat hidup benar-benar diterkam oleh berbagai kebutuhan (baik yang asli maupun yang palsu). Cinta harus mengatasinya bersama-sama.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Tapi orang yang punya pemahaman tentang konsep dan praktek<span style=""> </span>cinta serta<span style=""> </span>keindahan tidaklah banyak jumlahnya. Apalagi ada sistem besar dan tradisi-tradisi yang mengkampanyekan bahwa kemanusiaan dan parameter-parameter moral hanya dianggap kontras dengan logika-logika kapital, kekuasaan, dan nafsu semata, sehingga manusia sekarang ini diserang dengan ukuran-ukuran keindahan dan model-model moral baru yang latah dan demi mencapai kepuasan individual-egoistis itu.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;">Jarang sekali mereka, yang percaya begitu saja pada kata “Cinta”,<span style=""> </span>bertanya: apakah lakon<span style=""> </span>cinta yang kita bangun (baik dengan seorang kekasih, maupun dengan manusia universal) sudah<span style=""> </span>ditegaskan dengan pemujaannya terhadap <i style="">beauty</i>, <i style="">melancoly</i>, dan <i style="">Truth</i>?<o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;">Betapa sulit mendatangkan dan memiliki negative capability, yaitu kemampuan untuk selalu berada dalam keadaan ragu, tidak menentu, dan misterius tanpa mengganggu keseimbangan jiwa dan tindakan cinta yang dipercaya dan disetujui bersama.<span style=""> </span>Jika kita peka, hanya fikiran dan hati kitalah yang selalu diliputi keresahan (yang harus dijawab bersama-sama). Tingkat tertinggi dari cinta, sebetulnya, adalah bahwa suatu yang dianggap rendah (oleh orang lain di luar hubungan kasih) dan dianggap tidak memiliki nilai dapat menjadi suatu hal yang<span style=""> </span>berarti. <i style="">Things base and vile, holding quality/love can transpose to form and dignity. <o:p></o:p></i></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;">Demikianlah adanya, k</span><span style="font-size: 14pt;" lang="PT-BR">esulitan ini tentu saja akan terus berada dalam<span style=""> </span>lakon kapitalisme seperti sekarang<span style=""> </span>ini. </span><span style="font-size: 14pt;" lang="EN-GB">Akibatnya, n</span><span style="font-size: 14pt;">egative capability seperti itu belum seluruhnya diraih oleh manusia. <o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;">Tapi, bagi para pecinta yang serius, <span style=""> </span>pada hakekatnya ia adalah suatu proses; keraguan, ketidakmenentuan; dan misteri amat bersahabat dengan proses. Jadi, persoalannya adalah bagaimana menciptakan sistem sosial, budaya, dan hubungan antar individu yang memungkinkan manusia mengalami pengalaman hidup yang membuat ia berpikir, merasa, dan bertindak berdasarkan kepeduliannya dengan Tuhan, alam, dan manusia lainnya. Proses itu akan membuat kita menjadi kreatif, berperasaan, dan percaya secara terus menerus pada keindahan yang dikandung oleh alam ciptaan yang maha Kuasa.<span style=""> </span>Orang yang tidak punya negative capability tak akan kreatif, karena bagi mereka segala sesuatunya telah jelas, tidak menimbulkan keraguan dan tidak merupakan misteri. Jika memang proses kreatifitas<span style=""> </span>identik dengan struggle for getting beauty, atau lebih tepatnya menciptakan suatu yang “layak” dan “elok” bagi kemanusiaan,<span style=""> </span>maka apa yang telah dan akan<span style=""> </span>kita tempuh sebagai manusia sejati<span style=""> </span>haruslah<span style=""> </span>menjadi nuansa cinta yang berbeda dengan spesies lain (binatang) yang tidak memiliki sense of beauty. Dalam logika kapitalistik, estetika adalah keindahan yang bersahabat dengan dinamika modal dan kepentingan mengumpulkan<span style=""> </span>uang.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;">Kondisi-kondisi eksistensial<span style=""> </span>manusia yang rindu keindahan sejati tidak begitu gampangnya menerima sesuatu yang tampak begitu saja: manusia kapitalistik yang dangkal dalam memandang materi (bentuk, ukuran, berat, warna, dan ukuran-ukuran materi yang lain) akan menerima apa yang didapat dari daya tangkap inderanya secara instan. Pada dasarnya ia adalah budak dunia, dia objek alam, pesuruh sejarah yang nilainya bagi kemanusiaan sebenarnya<span style=""> </span>sangatlah rendah.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;">Siapa, di antara kita, yang tak setuju bahwa cinta harus mengandung unsur pembebasan, bukan dominasi atau penindasan. Cinta produktif memiliki elemen-elemen: perlindungan, tanggung jawab, penghormatan dan pengetahuan. Elemen-elemen inilah yang menjauhkan kepentingan sempit, <span style=""> </span>termasuk libidinal and material needs saja dalam logika pertukaran komoditif. Rasa kasih yang didasari penguasaan, pengaturan, dan kepentingan adalah anti-“pengorbanan tulus”. Jika tujuan dan kepentingan tidak terpenuhi akan terjadi physical or pshycological violence dalam hubungan antar manusia yang bertentangan dengan dengan cinta (love) yang tulus (genuine, sincere, thrutful, honest, no pretention), bahkan akan terjadi tindakan yang pragmatis (licik) dan—dalam hubungan yang eksklusif—mudah “pindah ke lain hati”. suatu watak binatang yang meracuni jiwa-jiwa kemanusiaan dan kebaikan.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;">Sehingga<span style=""> </span>harus dirumuskan kembali kisah<span style=""> </span>kasih kemanusiaan<span style=""> </span>dalam kehidupan kita. Cinta, bagaimanapun, perlu dirumuskan agar bisa dikomunikasikan dengan baik. Jika kita sama-sama sepakat tentang rumusan cinta (dan kehidupan), mungkin kita akan benar-benar mampu membangun cinta yang berbeda dari ketololan yang disusun oleh manusia tolol di muka bumi ini. <o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;">Pemikiran cinta sangat perlu, sebab toughtlessness dalam bertindak sama saja dengan kebodohan. </span><span style="font-size: 14pt;" lang="PT-BR">Pencarian identitas eksistensial berkaitan dengan pengetahuan. Seorang hanya akan ‘mengenal’ sesuatu sejauh ia ‘mengasihinya’ (<b style=""><i style="">res tantum cognoscitur quantum diligitur</i></b>). ’Mengenal’ di sini pertama-tama bukanlah<span style=""> </span>aktifitas ‘mental pikiran’, karena kalau itu yang terjadi, hasilnya adalah ‘pengetahuan akal’ (‘ilm) dalam wujud dan gagasan di otak semata. </span><span style="font-size: 14pt;">Cinta yang hanya di otak, bukan di hati, adalah berbahaya. Mengenal dalam pengertian ”ma’rifa” mengikutsertakan hati nurani, dan hasilnya adalah pengetahuan batin yang akan mendorong<span style=""> </span>kita melakukan tindakan yang bersumber dan bermuara pada pertimbangan-pertimbangan suara hati. </span><span style="font-size: 14pt;" lang="PT-BR">Arahnya pasti pada apa saja yang baik dan mulia bagi manusia. Pengertian ‘pamrih’ tidak berlaku – inilah ‘mahaba’ (cinta-kasih) yang pusatnya bukanlah hawa nafsu si ‘ego’, melainkan Sang Hati Nurani. Keadilan menghendaki perasaan manusia yang<span style=""> </span>bisa menjadi hunian bagi cinta yang tidak punya rumah….***<o:p></o:p></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="PT-BR"><o:p> </o:p></span></span></p>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-88409597551261004202007-08-21T09:51:00.000-07:002007-08-21T11:46:40.436-07:00(Gagasan): MERINDUKAN KEPEMIMPINAN ALTERNATIF<p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b><span lang="IN"> </span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 19.95pt; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><b style="color: rgb(51, 51, 255);"><span lang="IN"><br /></span></b></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 19.95pt; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><b style="color: rgb(51, 51, 255);"><span lang="IN">Oleh: Nurani Soyomukti</span></b><span lang="IN"><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> </span><br /></span></span></p><span style="color: rgb(51, 0, 51);font-size:130%;" ><span lang="IN"></span><br /></span> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Isu tentang kepemimpinan nasional terus menggelinding terutama mendekati pemilu 2009 serta berbagai momen pergantian kepala pemerintahan di berbagai daerah. Belakangan juga muncul isu tentang dibutuhkannya para pemimpin alternatif. Isu semacam itu sangatlah wajar mengingat hingga saat ini belum ada pemimpin rakyat yang menjawab berbagai macam persoalan yang ada di negeri ini.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Tentu saja masih banyak yang optimis dalam melihat masa depan mengingat sejarah menunjukkan bahwa kelahiran pemimpin selalu diberikan dari rahim sejarahnya sendiri, terutama lahir dari bayi-bayi perlawanan yang terus tumbuh. Saat ini Indonesia memang belum memperlihatkan calon pemimpin yang merakyat, kecuali elitis dan anti-rakyat (bahkan tak percaya potensi kekuatan massa rakyat). Tetapi dari pergulatan sosial-politik yang ada pasti akan muncul generasi pimpinan yang mampu mengungkapkan tuntutan sejarah. Media massa memang belum pernah mau dan mampu menelisik calon-calon pemimpin dari kalangan gerakan rakyat, makanya jarang (hampir tidak ada) tokoh dan pimpinan gerakan yang popular—beda dengan para tokoh penipu, penjilat, pembohong, dan bahkan penjahat yang tubuhnya berlumuran darah yang tiap hari ditampilkan dengan politik pencitraannya. Kita bisa melihat perjalanan tokoh yang kini menjadi “pimpinan” negeri Indonesia (SBY). Tokoh ini semasa mendekati pemilihan umum selalu sering ditampilkan dengan citranya yang “elegan”, “berwibawa”, “tegas”—yang pada akhirnya tetap tegas, sebagaimana para pendahulunya, dalam menyengsarakan rakyatnya, bahkan jauh lebih tegas dalam hal ini.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Seiring dengan kian kejamnya kebijakan neoliberalisme, pergerakan rakyat bawah juga makin massif, dan melatih keberanian, keseriusan, memajukan cara pandang dan strategi-taktik untuk merubah nasib Indonesia, dengan sendirinya akan lahir banyak tokoh dari bawah. Tokoh dan pemimpin semacam inilah yang kelak akan dibutuhkan oleh rakyat. Tokoh yang berani, bahkan dengan sedikit kenekatan gila sebagaimana dilakukan Hugo Chavez pada tahun 1992 yang justru mempercepat kesadaran rakyat hingga pada akhirnya berujung pada kemenangannya yang lebih nyata. Sebelum menang pemilu 1998, pada tahun 1992 Chavez pernah berusaha merebut kekuasaan untuk menerapkan kebijakan anti-neoliberal.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Pimpinan yang dibutuhkan rakyat adalah pimpinan yang mampu menjelaskan kontradiksi dan bukan memutasikan kontradiksi atau mengalihkan perhatian rakyat yang telah bangkit kearah kecacatan cara pandang. Hingga saat ini banyak tokoh yang mencoba mengalihkan perhatian rakyat terhadap situasi yang terjadi di negeri ini sebagai imbas dari imperialisme. Sebagian juga tokoh agama, yang secara umum selalu mengatakan bahwa sumber kesengsaraan rakyat bukanlah neoliberalisme dan watak elit yang mendukungnya (menjadi antek), tetapi karena kurangnya moral dan agama. Maka solusi yang mereka tawarkanpun adalah solusi moral yang dalam banyak hal memasung kebebasan rakyat untuk berpikir maju, bertindak leluasa, dan berjuang secara konkrit dalam gerakan yang bukan hanya bersiaf ekonomis tetapi juga politik.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Dengan memutasikan kontradiksi, kebanyakan elit ini juga berusaha mengambil keuntungan dari kebodohan dan kepsarahan rakyat, juga prasangka dan sentimen kebencian yang bersifat SARA. Memang ada pihak yang sengaja membiarkan terjadinya konflik suku, agama, dan kelompok. Secara nyata mereka mendapatkan keuntungan politik dan finasial, tetapi secara umum penindasan kapitalisme akan langgeng karena rakyat yang seharusnya bergerak melawan penindasan kelas (vertikal), menjadi bergerak dan bertentangan secara horizontal. Elit penipu dan penindas yang seharusnya dilawanpun selamat, karena rakyat justru saling bertarung. Solidaritas kelas pekerja atau rakyat miskin yang seharusnya bersatu melawan elit, justru dipecah belah dan diilusi dengan janji-janji.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Lalu apakah Indonesia mampu melahirkan pimpinan politik seperti Hugo Chavez dan Evo Morales di Amerika Latin? Dalam hal corak masyarakat, Indonesia sangat multikultural atau plural dari segi agama dan suku. Sedangkan Amerika Latin tidak seplural negeri ini. Sehingga perlawanan kelas begitu mudah dialihkan menjadi perlawanan dengan basis gerakan agama dan kesukuan. Hal ini berbeda, misalnya, dengan gerakan Tani Indian di Bolivia yang melawan imperialisme dan memenangkan Evo Morales. Sentimen suku (Indian) melekat dengan sentimen kelas (anti-neoliberal). Ketertindasan suku Indian justru mendukung sentimen kelas. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Logikanya, terlalu mudah bagi kelompok elit untuk memanipulasi kesadaran rakyat, terlalu mudah perlawanan kelas dialihkan menjadi konflik agama—ini yang terjadi di Indonesia . Yang menjanjikan dari Venezuela adalah keberhasilannya menjadi bangsa mandiri, tidak menjadi bangsa kuli seperti Indonesia . Bagaimana tidak menjanjikan jika banyak Negara yang tergiur tentang apa yang terjadi di Venezuela , terutama Negara-negara tentangganya di Amerika Latin dan Amerika Tengah (kawasan Karibia).</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Kepemimpinan politik untuk kemandirian bangsa menjadi tren di sana . Memang, tokoh-tokoh politik kiri atau tengah-kiri di berbagai negeri Amerika Latin itu mempunyai kadar yang berbeda-beda dalam sikap mereka terhadap imperialisme AS atau kapitalisme neo-liberal. Dan, tidak semuanya mempunyai sikap yang sama terhadap sosialisme atau komunisme. Tetapi boleh dikatakan bahwa pada umumnya mereka bukanlah orang-orang kanan yang reaksioner atau tokoh-tokoh yang memihak kepentingan Washington, seperti halnya kebanyakan presiden atau diktator-diktator Amerika Latin di masa yang lalu, juga sebagaimana kekuatan dan elit politik di Indonesia pada masa kini. Selain Hugo Chavez di Venezuela, ada Michelle Bachelet di Cili, Lula di Brasilia, Nestor Kirchner di Argantina, Tabaré Vazquez di Uruguay, Lucio Guttierez di Ecuador, Evo Morales di Bolivia, Ollanda Humala di Peru, Andrés Manuel Lopez di Meksiko, dan Daniel Ortega di Nikaragua.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Untuk tidak pesimis, sesungguhnya di negeri kita ini masih ada jalan terang bagi pembebasan rakyat dari ketertindasan. Tentunya harus ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi bagi perjuangan politik rakyat. Sekarang ini tingkat ketidakpuasan rakyat terhadap nasibnya kian membesar karena kehidupan mereka memang kian memburuk akibat kebijakan-kebijakan neoliberalisme, bahkan rakyat kian muak dengan watak elit yang tetap saja korup, aji mumpung, dan mengurusi kepentingannya sendiri (dalam menumpuk kekayaan). Corak perlawanan yang salah juga kian banyak terjadi, misalnya adanya konflik dan kekerasan bernuansa agam dan suku. Tetapi intinya, entah reaksi rakyat benar atau salah (objektif atau subjektif), potensi bagi pembesaran dan kemajuannya tak diragukan lagi.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Sekarang tinggal bagaimana muncul tokoh yang menjadi sang pelopor dan mampu memimpin reaksi massa tersebut. Yang jelas saat ini rakyat butuh penjelasan tentang apa yang terjadi dan tentang bagaimana kemudian cara merubah nasib mereka—setelah tahu apa yang terjadi (tahu bahwa mereka ditindas dan butuh merubah nasibnya). Harus ada sarana untuk memungkinkan rakyat berkumpul dan mendiskusikan persoalan-persoalan itu dan menbicarakan perubahan. Yang lebih penting juga mendorong agar massa rakyat terlibat aktif dalam kegiatan politik semacam itu.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Singkatnya, saat ini rakyat butuh alat politik bagi mereka untuk memperjuangkan nasibnya. Alat politik modern bagi perubahan sosial tentunya adalah organisasi atau wadah tempat berkumpul yang terikat dalam satu tujuan yang maju, yaitu pembebasan diri dari penindasan dan mewujudkan tatanan yang adil. Sekian banyak organisasi perlawanan dan perjuangan rakyat, maka harus didorong semakin banyak pula keterlibatan mereka secara aktif. Organisasi tersebut haruslah maju secara ideologis (anti penindasan dan mencitakan tatanan baru), secara programatik (dengan program-program yang mampu menjawab masalah yang ada), dan strategi-taktik (suatu cara untuk menyusun kekuatan dan mewujudkan tujuan).</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Organisasi tersebut bersifat politik. Artinya harus menyatu dalam sebuah wadah yang memiliki kangkauan politik yang luas dan mampu mengintervensi panggung-panggung politik di negeri ini. Alat politik ini juga harus menciptakan panggung-panggung politiknya sendiri agar program dan ide yang disampaikan dapat diterima massa dan menggerakkan atau melibatkan lebih banyak lagi massa yang tergabung.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN">Alat politik yang efektif menurut saya adalah partai politik yang memiliki syarat-syarat untuk berperan dalam merebut hati massa , bersaing dengan kekuatan-kekuatan lainnya yang selama ini hanya membohongi rakyat. Partai politik ini harus bersifat menyatukan kekuatan-kekuatan sosial politik dari massa rakyat tertindas dan juga membangun aliansi dengan siapa saja yang bisa menguntungkan gerakan rakyat. Apalagi, mendekati momentum pemilu (2009) yang semakin dekat, maka alat politik berupa partai sangat dibutuhkan untuk berinteraksi secara lebih luas dengan kekuatan-kekuatan social yang ada, juga untuk menjadi sarana bagi pendidikan politik rakyat. Dengan tetap bertumpu pada penguatan basis-basis perjuangan rakyat, pemilu 2009 dapat dijadikan momen untuk memenangkan program-program yang maju.***</span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><span lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><tt><span lang="IN" style="font-size:14;"></span></tt><span lang="IN" style="font-size:14;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-size:130%;"><tt><span lang="IN" style="font-size:10;"> </span></tt></span></p>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-53865513862470127832007-08-21T02:42:00.000-07:002007-08-21T10:35:17.571-07:00(Esai): Nyai Ontosoroh, Dari Novel ke Teater untuk Pencerahan Kaum Perempuan<div style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(51, 51, 255);" align="left"><span style="color: rgb(204, 102, 0);font-size:100%;" >Oleh: Nurani Soyomukti,</span></div><div align="left"><span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(51, 51, 255);font-size:100%;" ><br /></span><span style="color: rgb(204, 102, 0);"><span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(51, 51, 255);font-size:100%;" >Aktif di sastra JARINGAN KEBUDAYAAN RAKYAT (JAKER); Pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA); Penulis Buku "REVOLUSI BOLIVARIAN: HUGO CHAVEZ DAN POLITIK RADIKAL" (RESIST BOOK, YOGYAKARTA 2007).</span><br /></span><br /><br /><div style="text-align: left;"><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Pementasan teater “Nyai Ontosoroh” yang diselenggarakan tiga hari bereturut-turut, tanggal 12, 13, dan 14 Agustus di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta benar-benar patut mendapatkan catatan tersendiri. Bukan hanya karena penontonnya yang membludak hingga tiket telah habis jauh-jauh hari sebelum pertunjukan dimulai, tetapi juga karena yang dipentaskan adalah adaptasi dari karya sastrawan terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Nyai Ontosoroh adalah tokoh Novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer yang menyebabkan sastrawan ini dikenal luas di dunia, hingga ia sempat dicalonkan sebagai orang yang layak memperoleh hadiah Nobel Sastra. Dan pementasan tersebut menarik juga karena keterlibatan beberapa artis-selebritis seperti Heppy Salma (pemeran Nyai Ontosoroh), Rudi Wowor, Ayu Dyah Pasha, dll.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Tak ada yang menolak bahwa aspek sosial yang penting dari karya Pramoedya Ananta Toer adalah munculnya pencerahan dan penyadaran di kalangan masyarakat, terutama kaum perempuan. Bagi saya, pementasan ini adalah sebuah terobosan yang akan membawa dampak besar terutama bagi kaum perempuan yang butuh referensi tentang sosok yang bisa dijadikan contoh, tokoh yang dikisahkan memiliki pandangan maju dan berlawan dalam sejarah bangsa yang diwarnai penindasan dan ketertindasan kaum perempuan.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Nyai Ontosoroh adalah kisah perempuan di jaman kolonial, perempuan yang mengalami kebangkitan dan pencerahan sehingga cara pandang baru teradap diri dan persepsi terhadap realitas mampu mengimbangi realitas baru yang dialami bumi putera sebagai akibat modernisasi kapitalis (kolonial) yang membutuhkan respon kemanusiaan baru. Dikisahkan bahwa jaman Nyai Ontosoroh atau Sanikem hidup adalah ketimpangan akibat penjajahan. “Bumi Manusia” karya Pram adalah sebuah karya yang luar biasa dalam meneliti detail-detail psikologis dan dialektika historis manusia di masa transisi (benih-benih hancurnya tatanan feodalisme kerajaan beserta tatanan ideologisnya dan munculnya perlawanan baru terhadap kapitalisme kolonial yang bercokol).</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Pada jaman ini Belanda Totok berkuasa dengan perusahaannya, dengan Gubermennya dan dengan hukum putihnya. Orang putih dan orang pribumi tidak bergaul dan tidak membaur. Hanya sana sini ada satu dua orang yang masuk sekolah orang Belanda. Kecuali ada satu golongan yang pada waktu ini, pada tahun 1898, sangat dekat dengan Belanda dan Eropanya. Ironisnya mereka adalah golongan yang sangat tertindas dan dihina oleh masyarakatnya yaitu perempuan-perempuan yang disebut “gundik” atau “nyai”. Para nyai inilah yang sempat kenal rumah tangga Eropa dari dekat; sempat berbincang-bincang intim dengan “lelakinya”, bisnisnya, temannya, ilmu pengetahuannya dan dunia modernnya.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Memang kisah tentang nyai dalam karya sastra Indonesia bukan pertama kalinya diangkat oleh Pram melalui “Bumi Manusia”. Cerita tentang nyai diangkat juga banyak mewarnai karya sastra di negeri ini, misalnya dalam </span><span style="font-size:130%;"><a title="Cerita Nyai Sarikem" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_Nyai_Sarikem" target="_blank" rel="nofollow"><span style="color: rgb(153, 153, 0);">Cerita Nyai Sarikem</span></a></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" > (</span><span style="font-size:130%;"><a title="1900" href="http://id.wikipedia.org/wiki/1900" target="_blank" rel="nofollow"><span style="color: rgb(153, 153, 0);">1900</span></a></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >), </span><span style="font-size:130%;"><a title="Nyai Isah" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nyai_Isah" target="_blank" rel="nofollow"><span style="color: rgb(153, 153, 0);">Nyai Isah</span></a></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" > (</span><span style="font-size:130%;"><a title="1903" href="http://id.wikipedia.org/wiki/1903" target="_blank" rel="nofollow"><span style="color: rgb(153, 153, 0);">1903</span></a></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >), </span><span style="font-size:130%;"><a title="Nyai Permana" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nyai_Permana" target="_blank" rel="nofollow"><span style="color: rgb(153, 153, 0);">Nyai Permana</span></a></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" > (</span><span style="font-size:130%;"><a title="1912" href="http://id.wikipedia.org/wiki/1912" target="_blank" rel="nofollow"><span style="color: rgb(153, 153, 0);">1912</span></a></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >). Cerita </span><span style="font-size:130%;"><a title="Nyai Dasima" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nyai_Dasima" target="_blank" rel="nofollow"><span style="color: rgb(153, 153, 0);">Nyai Dasima</span></a></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" > yang ditulis oleh G. Francis, misalnya, juga merupakan karya sastra yang dikenal. Oleh G. Francis, Dasima digambarkan sebagai perempuan dari Kampung Koeripan menjadi nyai Tuan Edward W., yang sangat dicintai dan dimanjakan layaknya istri yang sah. Namun, Dasima yang cantik menawan ternyata bukan tipe perempuan yang bisa dipercaya. Ia selingkuh dengan Baba Samioen dari Kampung Pedjambon.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Cerita Nyai Dasima tersebut juga memiliki kesamaan dengan cerita </span><span style="font-size:130%;"><a title="Si Tjonat" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Si_Tjonat" target="_blank" rel="nofollow"><span style="color: rgb(153, 153, 0);">Si Tjonat</span></a></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" > karangan F.D.J. Pangemanann, yang merupakan sastrawan pribumi. Dikisahkan, Saipa, nyai Tuan Opmeijer, asal Desa Tjirenang adalah perempuan cantik dan masih belia. Sebelum menjadi nyai Tuan Opmeijer, Saipa dijual Kaenoen, abahnya, kepada Tjengkao seharga F 40 dan kemudian dijual lagi seharga dua ratus rupiah. Selama menjadi nyai, Saipa sangat dicintai tuannya. Tetapi, Nyai Saipa berbuat serong dengan si Tjonat, jongos di rumahnya. Bahkan, Saipa memilih kabur bersama si Tjonat setelah terlebih dahulu mencuri uang, perhiasan, dan barang tuannya.</span><span style="font-size:130%;"><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Dibanding karya-karya tentang Nyai, Bumi Manusia Pram menggambarkan seorang nyai yang berwibawa karena prinsipnya, yang punya cara pandang maju dan tercerahkan, bukan sekadar nyai yang hanya menjadi objek seksual dan prestise sosial tuan kolonial. Nyai Ontosoroh menghadirkan dirinya tidak lagi sekadar gundik, piaraan, dan pajangan tuannya. Citra “suka selingkuh” yang menjadi watak Nyai terbantahkan oleh diri Nyai Ontosoroh.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" ><span>Perlawanan Perempuan Pribumi</span></span><span style="font-size:130%;"><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Nyai Ontosoroh awalnya adalah Sanikem, gadis berumur 14 tahun yang dijual oleh ayahnya sendiri menjadi gundik seorang Belanda. Sanikem adalah perempuan pribumi sederhana yang awalnya tak berdaya untuk menolak menjadi gundik (nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema. Tetapi ia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk ketakberdayaan menolak untuk menjadi gundik mendorong Nyai Ontosoroh untuk banyak menyerap berbagai arus pemikiran Belanda dan bahkan mengendalikan perusahaan milik Herman.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Nyai Ontosoroh tetaplah Sanikem wanita pribumi yang lagi-lagi tak berdaya ketika anaknya, Anellies, diambil paksa dari tangannya. Tetapi bagaimanapun juga Nyai Ontosoroh dalam novel tersebut telah berusaha keras melakukan perlawan mempertahankan anaknya meski kalah. Kekalahan adalah resiko dari pertarungan. Tetapi semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh berkata kepada tokoh Minke dengan kepala tegak: "Kita kalah. Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya!"</span><span style="font-size:130%;"><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Sanikem adalah gambaran dari gadis-gadis di Bumi Putra yang mewarisi ketertindasan feodalisme (kerajaan), yang bukan saja tidak memiliki pengetahuan karena tidak dapat bersekolah bukan hanya karena berasal dari keluarga miskin, tetapi juga karena kepercayaan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah karena perannya hanya untuk mendampingi suami, melayaninya, melahirkan anak dan merawatnya. Sanikem adalah salah satu gadis jawa yang dilarang berbuat sesuatu seperti laki-laki.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Dan pada umumnya gadis Jawa yang tidak berpengetahuan apa-apa mengahadapi raksasa peradaban Eropa. Jangankan gadis-gadisnya, seluruh tatanan kejawaan yang didominasi laki-laki saja tidak berdaya menghadapi kolonialisme.</span><span style="font-size:130%;"><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Tetapi Sanikem justru menemukan kebangkitan karena pergumulannya dengan tuan Eropanya justru dimanfaatkan untuk belajar mengerti tentang kehidupan, sedikit demi sedikit menjadi banyak pengetahuan yang diserap, memunculkan pencerahan diri yang muncul dalam sebuah sikap dan prinsip. Awalnya adalah pemberontakan batin karena sang Ayah telah menggadaikan dirinya. Ia tak berdaya karena budaya yang jahat, tetapi dari ketidakberdayaan itu ia berjanji untuk meninggalkan kebudayaan yang jahat dan tidak memiliki dasar lagi dalam ilmu pengetahuan san prinsip kemanusiaan baru.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Akhirnya pengalaman pahit si Sanikem alias Nyai Ontosoroh ini ternyata bisa menjadi penggerak orang berdiri tegak dan membangun karakternya dengan mempergunakan pengetahuan yang didapat dari musuhnya untuk membangun dirinya. Dari sinilah kita dapat belajar tentang karakter, character building, pelajaran yang pasti memberi semangat Pramoedya Ananta Toer dari karyanya yang lahir di pulau Buru tetapi juga memberi pelajaran pada kita di zaman sekarang juga.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Bagian lain dari ceritera Nyai Ontosoroh ini adalah ceritera tentang perpolitikan keluarga dan pelajaran Sanikem alias Nyai Ontosoroh di dalamnya. Dengan lelakinya, Herman Mellema, dengan anak perempuannya, si bunga Surabaya, Annelies, dengan putranya yang dendam terhadap semua pribumi, Robert. Kemudian ada “anak angkatnya”, Minke, pribumi Jawa, pelajar HBS yang tertaklukkan oleh Ibu maupun anak gadisnya. Perjuangan dalam keluarga ini mengajar banyak tentang kemunafikan peradaban Barat, sekaligus kekuatan yang datang dari berprinsip.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Sanikem tidak hanya menghadapi perpolitikan rumah tangga keluarga kolonial. Dia pada akhirnya harus menghadapi sistem dan hukum kekuasaan kolonial itu sendiri. Kaum Nyai sepenuhnya tergantung pada perlindungan dari lelakinya. Bagaimana kalau lelaki itu pergi? Atau mati? Atau dibunuh? Apa nasib si Nyai dan keluarganya? Apa kedekatannya dengan peradaban Eropa membantu? Apakah akan cukup untuk membela diri kemampuannya menyuarakan prinsip-prinsip yang dia pelajari dari peradaban Eropa, bahkan kemampuan yang melebihi orang-orang perpanjangan tangan kekuasaan kolonial itu sendiri?</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Pada akhirnya seorang Sanikem yang sudah jadi seorang Nyai harus berhadapan langsung dengan tuan-tuan Hakim Belanda untuk membela dirinya dan membela haknya sebagai seorang Ibu. Adalah dari mulut seorang Nyai ini keluar kata-kata yang mengungkapkan kebenaran sesungguhnya. Hikayat Sanikem alias Nyai Ontosoroh, nyai dari pemilik perusahaan susu Surabaya yang tinggal di rumah seram dan menakutkan seolah-olah perempuan sihir, adalah hikayat perlawanan.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Nyai melakukan perlawanan terhadap nasib sebagai gadis yang terjual jadi nyai; terhadap kemunafikan dan kezaliman dalam rumahnya sendiri; terhadap sistem dan hukum kolonial itu sendiri. Buat Nyai melawan itu sendiri adalah prinsip, terpisah dari persoalan akan menang atau tidak. Melawan kezaliman adalah sebuah kehormatan kalau dilakukan secara terhormat. Itupun yang diajarkan pada “anak angkatnya” dan kekasih Annelies, Minke. Minke, adalah seperti Nyai dalam hal kedekatan dengan peradaban Eropa. Dia adalah murid H.B.S., sekolah elit Belanda. Tetapi dia bukan budak belian seperti Nyai. Dia adalah anak orang elit Jawa, tetapi yang sudah mempertanyakan budaya tradisi Jawa. Diapun ditantang untuk melawan kekuatan kolonial dan juga latarbelakangnya sendiri.</span><span style="font-size:130%;"><br /><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Buat Minke ada dua kekuatan baru yang dia harus belajar menggunakan: pena dan kekuatan rakyatnya sendiri. Dia menulis dalam bahasa Belanda dan menulis dalam bahasa rakyatnya untuk membela keluarganya. Dan adalah rakyatnya sendiri—rakyat “Melayu”—memberikan solidaritas, tidak lain dipimpin oleh seorang pendekar Madura, si Darsam.</span><span style="font-size:130%;"><br /></span><span style="color: rgb(153, 153, 0);font-size:130%;" >Itulah yang menyebabkan pementasan “Nyai Ontosoroh” sangat relevan pada saat ini. Ada isu pembangunan watak bangsa yang diajarkan oleh perempuan Sanikem alias Nyai Ontosoroh. Ada isu tentang bagaimana kaum perempuan bersikap dalam menghadapi perubahan sosial yang begitu cepat, saat tatanan kolonialisme baru masih berjalan. Dan dalam kondisi seperti ini kaum perempuan diharapkan memiliki prinsip dan sikap yang tercerahkan, agar dapat membimbing anak-anak dan teman-temannya, juga kaum laki-laki. Sebagaimana Nyai Ontosoroh mempercepat prinsip perjuangan Minke, sebagaimana Ibunda-nya Gorky juga mendukung dengan keharuan dan keagungan hati pemuda-pemudi yang berjuang membela kaum buruh di pabrik-pabrik kumuh dan merencanaakan gerakan sosial, kaum perempuan dapat memetik pelajaran bahwa bagaimanapun semua orang, laki-laki dan perempuan, harus berpartisipasi dalam perjalanan sejarah. Partisipasi aktif dan berprinsip, bukan pasif dan dikorbankan.***</span></div></div>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-37293060990245184152007-08-21T02:24:00.000-07:002008-12-08T14:26:15.789-08:00(Resensi Buku): MEAMBANTAH TESIS 'AKHIR SEJARAH' FUKUYAMA<a style="font-weight: bold;" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgexNGSF6RnQOt8AWD33IF4fEQncQlJOAwwzkVfYoAb4XrZX88EWi14DctAPbPYy7RaNJSp8Kq2eKOlgOr0kwD8_jG05-6eeGCMBW87dLINWonCRwgAgHlGAvAhfb4OIKhbRNC6lHttaYtK/s1600-h/cover_Revolution_Bolivarian_Hugo_Chaves_dan_Politik_Radikal2.png"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5101084999500237538" style="margin: 0px 10px 10px 0px; float: left; width: 154px; height: 196px;" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgexNGSF6RnQOt8AWD33IF4fEQncQlJOAwwzkVfYoAb4XrZX88EWi14DctAPbPYy7RaNJSp8Kq2eKOlgOr0kwD8_jG05-6eeGCMBW87dLINWonCRwgAgHlGAvAhfb4OIKhbRNC6lHttaYtK/s320/cover_Revolution_Bolivarian_Hugo_Chaves_dan_Politik_Radikal2.png" border="0" height="196" width="217" /></a><br /><br /><span style="color: rgb(255, 204, 51);"><span style="font-weight: bold; color: rgb(51, 51, 255);font-size:130%;" >Ulasan Buku karya Nurani Soyomukti:</span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 51, 102);">Judul Buku: </span><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(102, 51, 102);">Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Presiden</span><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(102, 51, 102);">Radikal</span><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 51, 102);">Penulis: </span><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(102, 51, 102);">Nurani Soyomukti</span><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 51, 102);">Pengantar: </span><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(102, 51, 102);">GUS SOLAH/SALAHUDDIN WAHID</span><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 51, 102);">Penerbit: <span style="font-style: italic;">RESIST BOOK, YOGYAKARTA</span></span><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 51, 102);">Cetakan: <span style="font-style: italic;">I, Mei 2007</span></span><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 51, 102);">Tebal: <span style="font-style: italic;">xxii + 212 halaman</span></span></span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(51, 51, 255);">Tesis ‘akhir sejarah’ yang dilontarkan Francis Fukuyama pada awal tahun 1990-an kini telah banyak digugat. Dan selama dekade terakhir ini, perkembangan gerakan internasional melawan globalisasi kapitalisme-neoliberalisme nyata-nyata menunjukkan bahwa tesis Fukuyama patut dikubur. Dari Bangkok sampai Barcelona, dari Prague sampai Porto Alegre, dari Seatle sampai Seoul, jutaan rakyat dan kelas pekerja telah menegaskan bahwa mereka tidak akan menerima globalisasi kapital. Pertumbuhan gerakan populer untuk “globalisasi keadilan” (the globalization of justice) bisa secara tepat menunjukkan tanda-tanda—apa yang disebut Naomi Klein— “akhir dari akhir sejarah” (the end of ‘the end of history’).</span><br /><br /><div style="font-weight: bold;" align="justify"><span style="color: rgb(0, 153, 0);">Buku yang berjudul “Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Presiden Politik” karya Nurani Soyomukti ini menunjukkan suatu bukti tentang benih-benih nyata dari kegagalan kapitalisme di sebuah kawasan Amerika Latin. Beberapa negara telah meninggalkan cara lama (neoliberalisme) dalam menempuh kebijakan ekonomi-politiknya. Penulis memotret secara komprehensif apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh Hugo Chavez di Venezuela yang kini gaungnya semakin kuat dalam kepolitikan global.<br /><br />Belakangan jejak Venezuela juga diikuti oleh Bolivia yang memenangkan Evo Morales dan Nicaragua yang memenangkan Daniel Ortega yang merupakan tokoh gerakan Sandhinista, sebuah gerakan yang dulunya melakukan gerakan bersenjata. Gerakan Sandhinista, atau tepatnya Frente Sandinista de Liberacion Nacional (FSLN), pernah memenangkan revolusi Nicaragua pada 19 Juli 1979. Di hari itu, mereka melakukan serangan dari berbagai penjuru, memasuki ibukota Managua . Dua hari sebelumnya, diktator Anastasio Somoza Garcia sudah mengundurkan diri dan lari menuju Miami , Amerika Serikat (AS). Tapi, sebelas tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 25 Februari 1990, Sandinista kalah dalam pemilihan umum di Nicaragua . Di bulan November 2006 ini, Daniel Ortega menang pemilu dan dipastikan perubahan menuju sosialisme akan dilakukan.<br /><br />Penulis begitu elaboratif dalam menunjukkan kebuntuan kapitalisme, potensi bagi adanya sistem alternatif, dan munculnya tatanan lainnya di berbagai negara. Buku ini menggali sosok dan pola kepemimpinan Hugo Chavez. Bagaimana, sang presiden pernah di coba di kudeta olah kelompok "kaum" pemodal. Karena mereka merasa, jika Hugo Chavez memimpin terus dengan ide-ide sosialis maka kehidupan mereka akan terancam. Sepak terjang sang presiden sangat memihak kaum miskin, terbukti banyak perusahaan negara yang dulu di kuasai oleh pihak asing kini di nasionalisasikan. Selain itu, peraturan dan undang-undang yang di jalankan di sana berdasarkan sistem referendum.<br /><br />Hugo Chavez, memiliki program di televisi nasional (baca: Indonesia semacam TVRI) Hallo President. Dalam acara ini, rakyat bisa menyampaikan pendapatnya "masalah" kepada president, selain itu acara ini juga mengambarkan aktivitas sang president selama satu minggu. Selain itu, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka dibuatlah misi-misi khusus yang bertugas menangani bidang-bidang publik yang bertujuan untuk memfokuskan kerja pada bidang masing-masing. Misalnya: Mission Robinson I, yaitu pemberantasan buta huruf bagi mereka yang terpaksa drop-out karena miskin mampu untuk dijalankan. Program ini adalah program pemerantasan buta huruf pertama kali dalam 102 tahun dan selesai Juni tahun lalu setelah 1.230.000 orang dianjarkan membaca. Dilanjutkan dengan Mission Robinson II mengajarkan 900.000 orang dewasa yang buta huruf hingga tingkat enam (hlm. 108).<br /><br />Program pembangunan sekolah dan beasiswa bagi anak-anak orang miskin adalah Mission Ribas dan Sucre, program pembangunan pusat-pusat kesehatan di tiap barrio (kampung-kampung kumuh dan miskin) Mission Bario Adentro I, program kredit bagi petani kecil tak bertanah dan bertanah kecil Mission Vuelvan Caras, program pemastian makanan/sembako murah bagi rakyat miskin Mission Mercal, program pembuatan tanda identitas (cedullas) gratis bagi orang-orang yang sudah tinggal di Venezuela 20-30 tahun namun tak memperoleh hak perlindungan sebagai warga negara Mission Identidad, hingga saat ini, menurut informasi yang saya peroleh bahwa Mission Bario Adentro II ditetapkan untuk melanjutkan pembangunan pusat-pusat diagnosa kesehatan guna semakin mengintensifkan misi yang pertama.<br /><br />Misi Robinson berhasil membebaskan Venezuela dari buta huruf di tahun 2005 lalu (data UNICEF) dan meluluskan 900.000 orang yang drop out sekolah dasar di tahun 2004. Mission Ribas menyekolahkan orang-orang yang drop out SLTA, dan Sucre memberi beasiswa untuk orang miskin masuk ke Perguruan Tinggi. Secara simultan juga membangun 200 Universitas Simon Bolivar di kota-kota. Selama 102 tahun rakyat tak pernah membayangkan program-program sosial ini dapat dinikmati dengan gratis. Mission Science diluncurkan pada bulan Maret 2006 dengan investasi lebih dari 400 juta US $ untuk menciptakan jaringan-jaringan penelitian baru di universitas-universitas Venezuela . Salah satu tujuannya adalah “mendemokratiskan” ilmu pengetahuan, dalam rangka untuk dapat dijangkau sekaligus untuk melayani masyarakat.<br /><br />Program, kebijakan, dan tindakan Chavez tentunya bukan tanpa hambatan. Sebagaimana digambarkan dalam buku ini, gerakan kontra revolusi berunglangkali dilakukan oleh kaum oposisi. Kudeta yang dilakukan oleh mereka yang merasa dirugikan oleh Chavez bahkan telah berhasil merebut kekuasaan selama 48 jam. Akan tetapi, karena Chavez telah membangun fondasi yang kuat pada gerakan rakyat yang secara mandiri mengorganisir diri dalam lingkaran-lingkaran Bolivarian sebagai basis pertahanan revolusi demokratis, maka perebutan kekuasaan tersebut dapat digagalkan. Chavez hingga kini masih bertahan, bahkan pada bulan Desember 2006 lalu terpilih kembali dengan suara yang lebih besar dari pemilu sebelumnya.<br /><br />Buku ini memberikan pelajaran terbaik bukan saja dalam hal bagaimana kebijakan alternatif selain kapitalisme dijalankan, tetapi juga bagi mereka yang ingin membangun sebuah gerakan yang berkarakter kerakyatan. Menajalankan kekuasaan rakyat tidak perlu dilakukan dengan gerakan bersenjata seperti banyak dijalankan oleh gerakan Kiri klasik yang ada di Amaerika Latin dan kawasan-kawasn lainnya. Dengan jalur parlementer Chavez ajuga bisa merubah rakyat dan nasibnya, dengan keberanian dan keberpihakan, suatu yang diperolehnya dari interaksinya dengan gerakan rakyat.***</span></div>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-30147826547088406782007-08-21T02:21:00.000-07:002007-08-21T10:45:00.885-07:00(Esai): MENGUAK IDEOLOGI MILITERISME DALAM FILM INDONESIA<div style="color: rgb(255, 102, 0);" align="justify"> <span style="color: rgb(204, 153, 51);font-size:130%;" ><span style="color: rgb(102, 51, 255);">(Dimuat di Harian SURYA, Minggu 19 Agustus 2007)</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 0, 51);">Menurut Amitabachan, film tidak hanya merupakan gambar hidup yang dipertontonkan semata, namun film merupakan ungkapan emosi dan perasaan, refleksi budaya, dan ekspresi seseorang dalam seni, social, dan politik dengan keunikannya. Yang dapat mempengaruhi perilaku penonton dengan dukungan seting dalam film maupun tempat untuk menonton (Amitabachan, Festival Film India, 2004). Sebagai sosok yang menerjuni dunia perfilman, bintang India yang terkenal ini mengakui bahwa film memang hendak mengarahkan penonton (masyarakat) pada pemahaman tertentu.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 0, 51);"> Hubungan antara film dan kekuasaan sesungguhnya menjadi perhatian yang serius dari para pemikir dan ahli komunikasi. Menurut Stuart Hall (dalam Eriyanto, 2000), misalnya, mengatakan bahwa film sebagai medium massa pada dasarnya tidak memproduksi melainkan menentukan realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih; maka tidaklah secara sederhana dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa tetapi sebuah pertentangan social, perjuangan dalam mewenangkan wacana.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 0, 51);"> Di negeri ini, kekuasaan juga telah menggunakan film sebagai media untuk melakukan dominasi dan hegemoni terhadap rakyat banyak, demi kepentingan segelintir orang yang ingin hidup enak sendiri. Di masa pemerintahan rejim militeristik Orde Baru, film digunakan untuk mengkonstruksikan pandangan ideologis warga Negara yang tujuannya adalah mengekang kehidupan berdemokrasi. Nasionalisme semu ditebarkan dengan memperbanyak film-film perjuangan merebut kemerdekaan, tetapi menyembunyikan fakta bahwa pemerintah melakukan tindakan sistematis untuk menciptakan ketertundukan, menumpulkan nalar kritis sebagai landasan kehidupan demokrasi. Kebebasan seniman film di era Orde Baru begitu sempit dan yang ada hanyalah penulis cerita yang didikte oleh perusahaan produser film yang diawasi secara ketat oleh pemerintah.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 0, 51);"> Film yang berkembang dikontrol secara ketat di bawah kendali pemerintah militeristik dengan memberlakukan penyensoran formal, informasi, dan kepemilikan suatu karya. Pada masa itu, film-film bertemakan sejarah politik yang tampil sebatas pada kisah perlawanan bersenjata terhadap penjajahan sebelum dan sesudah Perang Dunia II di mana dominasi kekerasan fisik lebih ditonjolkan oleh perjuangan tokoh utamanya, seperti Joko Sembung dan Si Pitung. Dominasi militer sangat menonjol dalam film-film yang ditonton secara massif oleh rakyat karena mobilisasi struktur pemerintahan militer waktu itu, misalnya film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1983). Belakangan diketahui bahwa film tentang “Serangan Umum 1 Maret 1949” ini tidak objektif dalam menggambarkan sejarah yang sebenarnya karena terlalu menonjolkan (posisi dan peran) Soeharto dalam merebut ibukota Yogyakarta (sebagai ibukota RI waktu itu); sedangkan peran diplomatis yang sangat menentukan dari Hamengku Buwono IX dinegasikan. Film-film sejarah lain seperti Mereka Kembali (1972) dan Bandung Lautan Api (1975) yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) dan disponsori oleh Kodam Siliwangi juga bertujuan sama, untuk melanggengkan dominasi militer dalam kebudayaan Indonesia.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 0, 51);"> Menjelang akhir keruntuhan Orde Baru, film-film Indonesia mengalami kemunduran. Bahkan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru, perfilman Indonesia berada titik yang paling mengerikan. Masyarakat dibombardir dengan produksi film-film ‘panas’ yang mengumbar syahwat.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 0, 51);"> Maka setelah Soeharto tumbang dan peran militer mulai berkurang, dominasi militer dalam film juga mulai digugat. Film sejarah Gerakan Tiga Puluh September (G 30 S) 1965 yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PPFN), yang selama pemerintahan Ode Baru diputar setiap tahun, menjadi kontroversial. Film tersebut bukan hanya menceritakan konteks politik yang terjadi pada awal tahun 1960-an hingga tahun 1966, tetapi juga sangat kentara sekali dalam menonjolkan Soeharto sebagai seorang prajurit yang paling nasionalis setelah mempelopori pembantaian sejuta lebih nyawa rakyat yang dituduh terlibat memberontak terhadap bangsa dan Negara. Ada permainan dan manipulasi nasionalisme dalam film sejarah ini.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 0, 51);"> Film-film independen yang mencoba menjernihkan manipulasi sejarah Orde Baru pun juga mulai dibuat. Kehadiran film dokumenter “Kado Buat Rakyat Indonesia (KBRI)” yang dipeoduksi oleh Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), mencoba menarasikan peristiwa mulai tahun 1960-an hingga Orde Baru secara kronologis dan dialektis. Artinya, film ini mengungkap konstelasi politik yang sebenarnya dari peristiwa yang terjadi hingga kekuasaan rakyat disodomi oleh minoritas elit bersenjata dan borjuis kecil Indonesia yang pada perkembangannya mendominasi panggung politik bangsa ini. Sebelum film documenter yang dibuat pada tahun 2003 itu, film “Gerakan Mahasiswa 1998” (Student Movement in Indonesia 1998) yang diproduksi pada tahun 1999 juga ikut memberikan pencerahan bagi rakyat karena film ini juga bercerita dari perspektif gerakan (mahasiswa), sebuah refleksi penting tentang transisi demokrasi di Indonesia antara sebelum dan sesudah Soeharto jatuh dari kursi kepresidenan. Tak mengherankan jika film yang disutradarai oleh Tino Saroengalo ini dinobatkan sebagai film dokumenter terbaik dab mendapatkan Piala Citra FFI (Festival Film Indonesia) 2004. Selain film dokumenter tersebut, FFI 2004 memberikan film-film perjuangan rakyat tertindas dalam memaknai nasionalisme. Nasionalisme kekinian masihlah menjadi spirit perjuangan rakyat bawah, yaitu nasionalisme yang mengakar. Sendal Bolong untuk Hamdani, Marsinah, yang juga dinobatkan sebagai karya terbaik memotret kesusahan hidup dan perlawanan yang dilakukan oleh kaum buruh.***</span> </span></div>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-61565918999850378042007-08-21T02:16:00.000-07:002007-08-21T11:28:05.655-07:00(Gagasan): MASA DEPAN HUMANISME KITA!<div style="color: rgb(51, 51, 255);" align="justify"><span style="color: rgb(153, 153, 0);"><span style="font-size:130%;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Oleh: Nurani Soyomukti</span><br /><br />Dewasa ini umat manusia tengah dilanda apatisme kemanusiaan yang berlebihan. Bagaimana tidak, perjalanan sejarah yang merangkak terus justru semakin tidak memajukan kehidupan manusia, malah dalam banyak hal dan dalam kualitas tertentu mundur jauh. Tenaga produktif yang dihasilkan manusia dapat dikatakan telah maju, tetapi itupun belum mampu mengatasi persoalan yang ada. Bencana alam, perang, kemisikinan demoralisasi kemanusiaan kian merajalela. Salah satu yang paling menyakitkan di dunia ini adalah adanya ketimpangan dan eksploitasi antara sesama manusaia dan eksploitasi terhadap alam yang kian merusak serta mengancam keberlangsungan alam.<br /><br />Manusia juga bagian dari alam tetapi keberadaannya yang seharusnya mampu mengatasi dan mengisi alam justru tidak dapat berbuat apa-apa. Kekalahan dan ketidakmampuan manusia dalam mengatasi bencana tersebut, tentu saja, menunjukkan bahwa, peradaban kita juga masih belum maju dan beradab. Krisis alam dan krisis kemanusiaan tersebut selalu melahirkan sentimentalitas kemanuasiaan mereka yang kemudian disebut sebagai pemikir dan intelektual. Meskipun demikian, hingga saat belum ada ancangan pikiran dan tindakan yang jelas terhadap keberlangsungan kehidupan yang berjalan akut ini. Ketakutan mengenai terancamnya eksistensi dan keberlanjutan bumi dalam masyarakat pada dasarnya belum disadari oleh manusia.<br /><br />Otomatis, isu-isu lingkungan hidup tidak pernah mendapat perhatian serius. Bukti bahwa masalah ekologi telah menjadi perhatian dan keprihatinan global adalah terselenggaranya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) pada 3-14 Juni 1992 di Rio De Jeneiro. Fenomena-fenomena ancaman terhadap lingkungan yang bisa dicatat di sini, antara lain: melebarnya lubang ozon (O3) pada lapisan atmosfer. Pada bulan Maret 1988 datang berita dari NASA bahwa lapisan ozon atmosfer yang melindungi hidup bumi dari sinar ultraviolet yang membahayakan telah mulai menipis di seluruh dunia; pencemaran di berbagai ekosistem (darat, laut, udara) yang diakibatkan oleh industrialisasi yang terjadi di semua negara; peningkatan suhu bumi (global warming) yang bisa mencairkan es di daerah kutub yang bisa menyebabkan air laut akan naik dan daratan akan semakin berkurang; penyakit-penyakit baru bermunculan dengan masalah yang sulit disembuhkan; penyusutan SDA (hutan, minyak bumi, bahan-bahan tambang, dan gas alam); kepunahan jenis-jenis spesies; tersingkirnya masyarakat asli dari lingkungan hidupnya; dan masalah-masalah kehidupan yang lain.<br /><br />Pemikiran dan deologi sebenarnya sangat penting sebagai landasan yang menggerakkan manusia untuk memperlakukan lingkungannya. Sebenarnya banyak pandangan yang menempatkan alam sebagai kenyataan dunia yang harus dilestarikan. Dalam ajaran kejawen, misalnya, ada ajaran yang mengungkapkan "memayu hayuning buwana", yaitu sikap keharusan memelihara "kecantikan" alam semesta. Ajaran Islam juga demikian, manusia harus memperlakukan alam sebagaimana ciptaan Tuhan yang harus dilestarikan. Akan tetapi ajaran-ajaran seperti itu telah "luntur" karena terjadinya "shock" modernisasi kapitalisme yang dialami masyarakat Jawa dan Islam.<br /><br />Sistem pemikiran Marxisme sebagai penolakan terhadap kapitalisme punya yang bersahabat terhadap alam. Filsafat Marxis merupakan "suatu filsafat yang sepenuhnya ekologis: manusia diletakkan dalam rahim alam secara utuh, adalah bagian dari alam, sarana yang diciptakan oleh alam demi perkembangan lebih lanjut alam sendiri, demi pemanusiaan terakhir alam... Bagi Marxis, tak ada satupun dalam diri manusia yang menyeruak mengatasi alam, karena tak ada apapun yang bukan alam." Teori Karl Marx muncul karena adanya kenyataan masyarakat kapitalis. Marx mengajukan pemikirannya karena kapialisme telah menjadikan manusia mesin yang digunakan oleh pemilik modal untuk mengakumulasi keuntungan.<br /><br />Kapitalisme telah memunculkan manusia dan masyarakat teknologis yang implikasinya adalah eksploitasi terhadap sesama manusia dan alam: teknologi diciptakan untuk 'digunakan', dijadikan alat. Optimisme Karya yang menarik adari optimisme kemanusaiaan sebenarnya telah digoreskan oleh para filsuf-filsuf besar di jagat ini. Engels, dalam karya besarnya "The Dialectics of Nature" merupakan wakil dari pemikiran radikal tentang keindahan masa depan alam dan kehidupan kita. Bagi Engels, sebab-sebab munculnya kontradiksi dalam kehidupan ini bersiaft material dan karenanya jawabannya harus mengena pada kontradiksi yang bersifat material tersebut.<br /><br />Penindasan utama berada pada aras ekonomi. Unsur membabi-buta telah memancangkan dirinya paling kukuh dalam hubungan-hubungan ekonomi, tapi manusia juga sedang mengusir unsur itu keluar dari sana, melalui pengorganisasian keadilan dan kesetaraan di bidang ekonomi. Hal ini memungkinkan untuk merekontruksi secara mendasar kehidupan berkeluarga.<br /><br />Akhirnya, 'sifat buruk manusia' itu sendiri akan dibuang ke wilayah kesadaran yang paling dalam dan gelap, di paling dasar, di bawah tanah. Apakah bukan sesuatu yang self-evident bahwa upaya-upaya terbesar dalam pemikiran investigatif dan inisiatif kreatif akan menuju ke arah humanitas dan peradaban? Bagi Engels, jika syarat-syarat keadilan mataerial tercukupi, umat manusia tidak akan lagi diharuskan untuk merangkak di depan penaguasa lalim, raja, atau kapital, untuk sekedar menyerah dengan pasrah di hadapan hukum-hukum gelap hereditas dan seleksi seksual yang membabi-buta.<br /><br />Manusia yang terberdayakan akan butuh untuk mendapatkan satu kesetimbangan yang lebih tinggi dalam kerja-kerja organ tubuhnya dan satu perkembangan dan keausan yang lebih seimbang atas urat tubuhnya, supaya dapat mereduksi ketakutan akan kematian menjadi sekedar reaksi alami dari satu organisme terhadap satu bahaya. Tidak ada keraguan bahwa ketidakharmonisan yang ekstrim dari fisiologi dan anatomi manusia, yaitu ketidakseimbangan yang ekstrim antara pertumbuhan dan keausan urat tubuh, memberi satu naluri dalam bentuk ketakutan yang menekan, gelap dan histeris, yang memenjarakan akal dan yang merupakan bahan bakar bagi khayalan-khayalan memalukan dan bodoh mengenai kehidupan setelah kematian.<br /><br />Masa depan peradaban yang indah tersebut memang tidak akan datang dengan sendirinya terwujud. Manusia sebagai makhluk yang paling memiliki kapasitas untuk memberikan tenaga produktifnya bagi perubahan ke depan. Pemikiran yang maju (progresif), tindakan yang strategis, dan tekad akan menentukan sekali bagi masa depan kemanusiaan kita!***</span> </span></div>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-82529170244924156652007-08-21T02:14:00.001-07:002007-08-21T11:32:05.886-07:00(Gagasan): NURMAHMUDI ISMAIL MEMBAKAR BUKU, HUGO CHAVEZ MEMBAGI-BAGI SEJUTA BUKU SASTRA!!!<div style="color: rgb(51, 0, 51);" align="justify"><span style="color: rgb(153, 102, 51);">Oleh: Nurani Soyomukti<br /><br />Sungguh menyedihkan membaca berita tentang seorang Walikota, pimpinan masyarakat perkotaan, berada di depan mempelopori penghancuran terhadap peradaban buku. Adalah Nurmahmudi Ismail, walikota depok, berada di paling depan aksi pembakaran buku-buku sejarah. Secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan Nuramahmudi bersama Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (<span style="font-style: italic;">Koran Tempo</span>, 21/7.2007).<br /><br />Yang ada dalam pikiran saya saat baca berita itu: Oh, kenapa masih ada saja pemimpin rakyat yang memundurkan kebudayaan dan peradaban bangsa, berada di depan untuk menghambat dan menghancurkan budaya ilmiah dan kebebasan berimajinasi dan berekspresi rakyatnya. Saya bertanya, adakah pemimpin-pemimpin di negeri terdahulu juga melakukan hal yang sama? Presiden-presiden Indonesia saja banyak yang menghargai buku, karya ilmiah, dan karya kesusatraan—kecuali presiden Fasis Soaeharto!<br /><br />Karena saya telah melakukan penelitian tentang pribadi pemimpin besar bernama Hugo Chavez, presiden Venezuela , yang juga saya publikasikan dalam buku saya "Revolusi Bolivarian: Hugao Chavez dan Politik Radikal", maka saya mulai tertarik menyelidiki hubungan presiden radikal itu dengan Buku.<br /><br />Ternyata personality politic Chavez sungguh luar biasa, iaa adalah pengagum buku. Saya banyangkan, Nurmahmudi Ismail yang walikota saja secara jahat memusuhi kebebasan buku-buku mewarnai peradaban Indonesia, bagaimana kalau saja ia menjadi Presiden seperti Chavez, Gus Dura, Soekarno, Megawati, atau lain-lainnya?<br /><br />Karena kecintaan akan buku dan sastra itu, Chavez memperbanyak dicetaknya karya-karya sastrawan Amerika Latin, ia membagi-bagikan secara gratis satu juta naskah buku sastra (novel) Don Quixote yang dirayakan ulang tahunnya yang ke-400 di seluruh dunia pada tahun 2005. Don Quixote de la Mancha (bahasa Sepanyol: Don Quijote) adalah sebuah novel karya Miguel de Cervantes Saavedra yang dianggap secara meluas sebagai karya bahasa Spanyol yang terbaik di dunia dan kini merupakan lambang karya kesusasteraan Spanyol. Diterbitkan pada tahun 1605, ia adalah salah satu novel paling awal dalam bahasa Eropa modern. Chavez membagikan sejuta naskah karya sastra tersebut dalam rangka merayakan kemenangan program melek huruf yang keberhasilannya dipuji oleh UNICEF.<br /><br />Chavez nampaknya mirip Bung Karno dalam hal tertentu. Keduanya adalah presiden yang membangun bangsanya dengan prinsip kedaulatan, anti penjajahan global, anti-imperialisme. Terpilih dua kali (pemilu 1998 dan 2006) dengan suara yang meningkat dan dukungan semakin kuat dari rakyatnya, Hugo Chavez presiden Venezuela memberikan demokrasi dan kesejahteraan berbasiskan pada demokrasi partisipatoris: bukan demokrasi komunis-diktator yang memasung kebebasan berekspresi, juga bukan demkrasi liberal-borjuis yang mengagung-agungkan kebebasan tetapi hanya kosong dengan formalitas dan proseduralitas demokrasi pemilu lima tahun sekali.<br /><br />Demokrasi partisipatoris (<span style="font-style: italic;">participatory democracy</span>) telah membuat rakyat berpartisipasi aktif terlibat dalam pengambilan kebijakan, mengontrol dan bahkan mengeksekusi sendiri program-program kerakyatan. Chavez dan rakyatnya mengakses kesehatan dan pendiikan gratis. Chavez berhasil membebaskan Venezuela dari buta huruf di tahun 2005 lalu (data UNICEF) dan meluluskan 900.000 orang yang drop out sekolah dasar di tahun 2004. Mission Ribas menyekolahkan orang-orang yang drop out SLTA, dan Mission Sucre memberi beasiswa untuk orang miskin masuk ke Perguruan Tinggi. Secara simultan juga membangun 200 Universitas Simon Bolivar di kota-kota. Selama 102 tahun rakyat tak pernah membayangkan program-program sosial ini dapat dinikmati dengan gratis (Soyomukti, 2007: 134).<br /><br />Komunitas-komunitas baca-tulis dijumpai di berbagai tempat, karya Gabrielle Garcia Marquez, Pablo Neruda, Giconda Belli, Marti, dan para sastrawan Amerika Latin dapat diakses oleh rakyat. Untuk melawan media-media kaum oposisi (borjuis) yang menguasai 90% media, pendukung Chavez membangun dan memperluas media komunitas sehingga peradaban baca-tulis dan kesusatraan dapat meluas ke masyarakat banyak. Banyak yang keheranan, ketika semua media (TV, radio, surat kabar) terus saja menyerang Chavez, tokoh ini bukannya kekurangan legitimasi tetapi malah semakin didukung rakyat.<br /><br />Meskipun berlatarbelakang seorang tentara, humanisme dan jiwa kerakyatan Chavez bertolak belakang dengan para pemimpin lain yang berlatar belakang tentara (semacam Soharto atau Susilo di Indonesia). Sejarah telah membentuk Chavez, sang Hugo (Manusia Besar), menjadi manusia yang cerdas, berkarakter kerakyatan, dan memiliki sensitivitas tinggi. Salah satu yang menonjol adalah karena Chavez membaca, menyukai buku-buku, dan keranjingan sastra.<br /><br />Ketika menerima pendidikan militer ia tak hanya membaca literatur Clausewitz, Bolivar, Paez, Napoleon, dan Anibal. Dia juga mengunyah karya Mao dan darinya ia mengobsesikan sebuah peran kerakyaan. Ucapan Mao yang sering ia kutip adalah: "Rakyat bagi tentara adalah ibarat air bagi ikan".<br /><br />Dari situ, sesungguhnya Chavez sejak awal telah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang kemudian hari menentukan pandangannya sebagai seorang tentara. Visi militer-sipil yang ada padanya akan mengarahkan dia untuk membangun hubungan kuat antara militer dengan rakyat miskin. Ada buku lainnya yang juga berpengaruh dalam hal itu. Di antaranya adalah buku yang ditulis oleh Claus Heller, berjudul "Tentara Sebagai Agen Perubahan Sosial" (El ejercito como agente de cambio social). Tentu saja buku-buku lainnya.<br /><br />Selain buku-buku kemiliteran dan strategi-perang, ia juga membaca banyak hal dan Chavez adalah orang yang suka membaca—sebagaimana para pemimpin-pemimpin besar lainnya yang muncul di jagat ini. Buku " Venezuela : Sebuah Demokrasi yang Sakit" (Venezuela: Una democracia enferma) yang ditulis oleh seorang anggota Partai Aksi Demokratik (AD) juga mempengaruhi cara berpikirnya. Buku itu mendefinisikan demokrasi dengan baik, sebagai sebuah sistem pemerintahan rakyat; siapakah rakyat, hak asasi, dan hak-hak rakyat.<br /><br />Kecintaan Chavez pada buku dan minatnya untuk mendidik rakyatnya dengan buku-buku dan karya sastra tidak berhenti hingga ia menjadi orang nomer satu di negeri yang kaya minyak itu. Setiap kali ia mengutip puisi-puisi Pablo Neruda (penyair asal Chili) dan dia tetap keranjingan dengan kata-kata indah. Dalam setiap pidato dan tulisannya kata-kata pilihan selalu dikutipnya. Tak mengherankan, karena obsesinya pada kebudayaan literer ini, ia menutup ijin sebuah stasiun TV swasta (RCTV). TV yang bukan hanya menjadi alat propaganda menyerang dirinya dan terlibat dalam kudeta April 2002 untuk menggagalkan program-program kerakyatan, tetapi juga TV yang dikenal paling banyak menayangkan telenovela (opera sabun) dan dekadensi gaya hidup borjuis yang tidak mendidik rakyat, yang membuat rakyat hanya terilusi dengan gaya hidup yang tak bisa diraihnya, iming-iming konglomerat negeri itu, segelintir orang yang pernah (dan masih akan) memusuhi dirinya.<br /><br />Negeri ini nampaknya tak lagi beruntung karena pemimpin (presidennya) kurang menghargai imajinasi dan ekspresi literer rakyatnya. Bahkan kita juga miskin pemimpin yang menyukai karya sastra, peradaban buku, habitus baca-tulis, dan pembudayaan bangsa melalui budaya membaca dan menulis. Saya tidak tahu bagaimana pengaruh sastra terhadap presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan atau wakilnya Jusuf Kalla (JK).<br /><br />Tetapi mungkin kita masih (pernah) punya Gus Dur, seorang yang, menurut saya, sangat menyokong imajinasi manusia-manusia Indonesia dengan menghargai kebebasan berpikir, mendukung budaya baca-tulis. Bahkan dalam hal ini pribadi Gus Dur sangat menarik (unik) karena ia sendiri juga penikmat dan penulis sastra, pengarang buku, dan juga pandai mengulas karya sastra dan karya intelektual. Tak heran jika hal itu juga berpengaruh pada wataknya yang pluralis, mencintai kedaulatan bangsa, progresif, dan tidak hitam-putih dalam melihat persoalan.<br /><br />Kita, selain Gus Dur, juga pernah mempunyai Soekarno, presiden pertama Republik yang banyak membaca karya-karya pemikir dan sastrawan besar. Soekarno juga seorang perenung, pengarang dan pencipta, menulis dan melukis. Tak heran jika kemudian ia menjadi tokoh besar yang dikenang oleh rakyat dan masyarakat dunia. Jatuhnya beliau juga sekaligus menandai matinya peradaban literer bangsa ini karena pemberangusan terhadap karya secara intensif dikonsolidasikan melalui gerakan militeristik yang memperalat negara di era Orde Baru.***</span></div>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-2657654967907939742007-08-21T02:10:00.000-07:002007-08-21T10:22:38.071-07:00(Cerpen) BURONAN<span style="color: rgb(51, 0, 51);font-size:130%;" >OLEH: Nurani Soyomukti</span><span style="color: rgb(51, 0, 51);font-size:130%;" ><br /><br /></span><span style="color: rgb(51, 0, 51);font-size:130%;" >Drrrrrrrrttttt…!<br />Drrrrtttttttttt…!<br />HP-nya bergetar ketika ia sedang duduk santai di kursi, membuka-buka buku tebal di atas mejanya. Dihampirinya benda yang tergeletak di atas ranjang, di samping bantal. Satu pesan masuk. Dipencetnya tombol baca. Lalu muncul pesan yang ada di dalamnya: Kirimi aq 'Ibunda'-nya Gorky . Aq lagi blenk, separo lagi mungkin bisa kuselesaikan novel ini. I miss u.<br /><br />'Aku rindu padamu!'<br /><br />Ia sendiri juga merasakan kerinduan, bahkan menggetarkan dadanya sehabis membaca kalimat terakhir di tilpun selulernya itu. Ia menarik nafas. Kekasihnya sedang berada di suatu tempat yang jauh darinya. Tempat yang dia tidak tahu, tempat yang hanya bisa dibayangkannya. Tempat persembunyian di mana kekasihnya itu harus selamat, tidak boleh tertangkap seperti dua orang kawannya. Lalu ingatannya terbang ke hari-hari sebelumnya..<br /><br />Dua minggu yang lalu segerombolan massa berjumlah ratusan orang, berbendera merah dan membentangkan sepanduk panjang, telah melakukan aksi pembakaran terhadap bendera partai politik yang oleh pemerintah dianggap sah. Dia sendiri sempat menyaksikan sebentar barisan massa mahasiswa, buruh, dan orang-orang muda perkotaan yang berbaju lusuh dan mirip preman itu melintas di sebuah jalan.<br />Waktu itu ia lewat bersama teman kuliahnya, dan di melihat kekasihnya yang sedang sibuk mengatur barisan masih sempat melambaikan padanya. Ia sendiri sedang menuju kampus untuk mengikuti kuliah.<br />Lalu ia berharap bahwa sore harinya ia bisa menemani kekasihnya melepas lelah, di teras rumah kosnya, atau pada malam harinya di warung-warung lesehan pinggir jalan.<br />Tetapi tepat jam satu siangnya, ia dengan mata kepala sendiri melihat dan mendengar berita di sebuah TV swasta bahwa situasi politik ibukota memanas karena aksi massa yang di pimpin kekasihnya itu bentrok dengan aparat. Lima orang luka-luka. Dua orang aparat bocor kepalanya.<br />Bentrokan terjadi karena massa aksi telah membakar bendera partai politik yang sah. Ya, sah! Dua dari tiga orang eksekutor aksi, pembawa bendera, pembawa bensin, sudah tertangkap. Pembakar bendera berhasil melarikan diri. Kekasihnya dan beberapa kawan yang bertanggung jawab juga melakukan evakuasi. Lalu melarikan diri dan bersembunyi. Dua orang diantaranya sudah tertangkap.<br /><br />Tinggal kekasihnya dan satu orang lagi yang masih menjadi buron.<br />Ia mendapat berita bahwa Polisi juga telah mendatangi beberapa orang yang ikut aksi, menangkapnya lalu mengintrograsi. Tetapi setelah di interograsi mereka dipulangkan karena mereka bukanlah orang yang bertanggung jawab, tetapi untuk dikorek keterangannya tentang keberadaan yang melarikan diri dan bersembunyi.<br />Gadis cantik itu menarik nafas lagi. Beberapa orang yang menyembunyikan diri sudah tertangkap. Semula ia begitu resah tentang keberadaan kekasihnya. Dimanakah ia berada?<br />Lalu seseorang yang belum dikenalnya mendatangi kosnya. Orang itu mengaku kawan kekasihnya. Ia mengatakan bahwa kekasihnya aman di suatu tempat yang tidak bisa disebutkan.<br />"Ia tidak boleh tertangkap, itu kesepakatan kawan-kawan kami. Sebab ini berkaitan dengan keberlangsungan gerakan kami ini."<br />Wanita itu bertanya, "Apakah ia tidak bisa menghubungiku lewat HP?"<br />"Sementara tidak bisa. Dia berada di suatu tempat di mana tidak ada sinyal. Ia ada di luar kota , tepatnya di desa yang sepi", kata lelaki itu, "Yang jelas kekasih kamu aman. Dia tidak boleh di penjara. Mungkin belum. Mungkin juga dia tak akan kurus. Karena yang menjaganya ramah dan baik".<br />"Sampaikan salamku padanya. Aku kangen dengannya", ucap gadis itu ketika laki-laki berambut gondrong itu akan meninggalkan kosnya. Ia menduga orang itu bertugas sebagai kurir, mungkin teman baik kekasihnya.<br /><br />Dalam hari-hari sesudahnya dia tidak bisa menghilangkan rasa resahnya. Hari-hari yang membuat dia hanya bisa bertanya. Posisi kekasihnya memang tidak begitu jauh, tapi tak jelas dimana. Jarak membuat rindu.<br />Mungkin lebih baik kalau orang yang dirindukannya ikut tertangkap; Ia masih bisa bertemu dengan cara membesuknya di kantor polisi kalau kekasihnya ditahan. Kangennya akan terbalas karena bisa melihat orang yang dicintainya, bisa menggenggam tangannya lama, atau bahkan berciuman kalau tidak ada orang yang melihatnya di tempat pembesukan.<br />Dia telah mencoba kirim sms. Pending. Tidak terkirim karena, seperti dikatakan temannya tadi, HP yang dipegang kekasihnya ternyata tidak ada sinyalnya.<br /><br />Hari telah berjalan.<br />Dia hanya bisa bertanya pada kawan-kawan kekasihnya baik bertemu secara langsung maupun lewat sms atau tilpun. Intinya tetap sama, seperti yang dikatakan lelaki gondrong yang mendatanginya tempo hari, bahwa kekasihnya tidak boleh diketahui oleh siapapun—dan ditambahkan bahwa ia sedang aman.<br />"Bahkan kekasihnya sendiri tidak boleh tahu keberadaannya?", bisiknya.<br />Dia mencoba memancing dengan pertanyaan kenapa dirinya tidak boleh tahu keberadaannya. Seseorang yang merupakan kawan organisasi kekasihnya, tapi tidak masuk target operasi, mengatakan: "Itu sudah kesepakatan kolektif kami. Yang jelas kerja organisasi harus di tata, dan tidak boleh ada proses hukum. Dan itu akan terjadi kalau semua pelaku dan pimpinan yang bertanggung jawab tidak tertangkap, sehingga tidak akan ada penyidikan".<br />Ia juga mencoba menanyakan suatu hal yang bersifat emosional dan pribadi. "Apakah seorang yang menjadi kekasih tidak boleh mengetahui semua tentang orang yang dicintai dan mencintainya? Apakah itu tidak mengurangi kepercayaan?", tulisnya lewat sms seorang kawan kekasihnya, yang juga ia kenal meskipun tidak begitu akrab.<br />Tapi orang yang ditanyainya lewat sms itu menjawab, "Cinta berdua adalah cinta eksklusif. Cinta dalam gerakan adalah Cinta untuk banyak orang, Cinta yang menjadi semangat perjuangan. Che Guevara mengatakan: The highest stage of love is REVOLUTION!".<br />Dan dia tahu, sms itu mengakhiri pertanyaannya tentang hal-hal yang bersifat prinsip. Kekasihnya dikejar-kejar juga karena memperjuangkan sebuah prinsip, perjuangan, dan tindakan yang dipilih. Memang untuk alasan itulah ia mencintai kekasihnya, pemuda yang berbeda dibanding pemuda-pemuda lainnya dan teman-teman kuliahnya.<br />Ia mengerti. Hidup. Kontradiksi. Cinta. Revolusi.<br />Ia paham.<br />Sebagaimana ia memahami kata-kata, pikiran, dan bahkan puisi-puisi kekasihnya.<br /><br />Tapi prinsip itu tak mampu membunuh kerinduan. Emosi bukan rasio.<br />Hari-hari, jam-jam, dan detik-detiknya semakin diserang oleh kerinduan. Bukan peristiwa pembakaran yang jadi masalahnya. Tetapi jarak yang membuat ia rindu. Kerjaannya hanya kuliah, tapi itu tidak tiap hari. Mungkin lebih banyak di kamar, dan membuka-buka bukunya, juga buku kekasihnya yang dititipkan padanya karena terlalu banyak. Juga puisi-puisi kekasihnya yang selalu disimpannya.<br /><br />Hari kedua puluh dari peristiwa aksi pembakaran bendera itu, pesan kekasihnya telah membuat HP-nya bergetar. Di layar benda itu tertulis "Samanku". Hatinya bahagia, lalu ia segera memencet tombol "baca", dan kemudian dibacanya pesan yang ada secara cermat: "Horeee, sinyalnya dah ada. Aku udah pindah dari persembunyian pertama. Kita dah bisa komunikasi, meski tanpa ketemu. Aku kangen kamu, kita harus sabar."<br />Dia sudah selesai membaca pesan itu. Dia tersenyum, merasa lucu karena dalam kondisi seperti itu kekasihnya masih ceria, setidaknya dapat dilihat dari tulisan sms-nya. Seakan hidup adalah permainan. Seakan politik dan negara bisa diperlakukan dengan tersenyum dan tertawa. Bahkan pemberontak juga terdiri dari orang-orang yang bebas tersenyum, pikirnya.<br />Maka ia merasa rindu, rindu yang mirip kesabaran dalam dada yang bertambah. Ternyata kekasihnya bisa menghadapi pelariannya dengan santai. Iapun tersenyum.<br />Dan dia memutuskan untuk mendengar suara kekasihnya. Dan dia memencet tombol bergambar tilpun. Diletakkan HP-nya di dekat telinganya. Dia menunggu, lalu berkata: "Halo…?? Kamu dimana ini?…Keadaanmu gimana?". Lalu dia diam, mendengarkan kekasihnya di seberang sana . Mungkin kekasihnya berkata panjang, cerita tentang keadaannya di sana , tentang kerinduannya, juga keinginannya.<br />"Aku juga", kata wanita itu sambil bersandar di dinding kamarnya. Mungkin kekasihnya baru mengatakan bahwa ia sedang rindu, "Lalu kapan menurut kamu ini semua akan selesai? Bisa gak kita ketemu?"<br />Dia diam lagi menyimak perkataan kekasihnya di seberang. Ada bayangan di pikirannya tentang tempat bersembunyi kekasihnya itu. "Baik, akan aku persiapkan. Kapan orangnya datang?", dia bertanya. Mendengarkan perkataan kekasihnya lagi. Lalu dia berkata: "Hati-hati. Aku juga kangen kamu!". Lalu dipencetnya salah satu tombol HP-nya.<br />Ia tampak sedikit puas.<br />*<br />Dia segera mencari-cari buku yang dimaksudkan oleh kekasihnya. Dia berpikir suatu saat kekasihnya akan menghadiahi sebuah novel, bukan hanya puisi. Hari itu wajahnya ceria. Dia mengingat betul kapan hari ulang tahunnya. Dan ia mengambil spidol berwarna merah. Melingkari sebuah angka di kalender yang terpampang di dinding kamarnya.<br /></span><span style="color: rgb(51, 0, 51);font-size:130%;" ><br /></span><span style="color: rgb(51, 0, 51);font-size:130%;" >April, 2006</span>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-73651874246269868582007-08-21T02:05:00.000-07:002007-08-21T11:43:47.931-07:00(Puisi): BERAPA HARGA KEHIDUPAN<div align="right"><span style="color: rgb(153, 153, 0);"><span style="color: rgb(255, 102, 0);font-size:130%;" ><br /><br />Oleh: Nurani Soyomukti</span><span style="font-style: italic; color: rgb(51, 0, 51);font-size:130%;" ><br /><br /><br />Jika kau bertanya<br />berapa harga kehidupan,<br /><br />Jadilah musim kemarau<br />yang menjadi saksi kepergianku.<br /><br />Anggap saja aku tak akan<br />istirah dalam rasa rindumu<br />Tetapi sebenarnya air hujan mengalir<br />dari matamu<br />Ketika di sepanjang jalan ini<br />aku harus belajar<br />Cinta dan kejayaan di negeri yang amat jauh.</span><br /><br /></span><span style="color: rgb(204, 102, 0);">*Jember, 10 April 2006</span></div>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-18360021291655548532007-08-21T00:33:00.000-07:002007-08-21T11:41:58.577-07:00(Puisi): DUNIA ITU GILA<span style="color: rgb(51, 0, 51);font-family:times new roman;font-size:130%;" ><span style="color: rgb(102, 51, 255);"><br /><br />Oleh: Nurani Soyomukti</span><br /></span><span style="color: rgb(51, 0, 51);font-family:times new roman;font-size:130%;" ><br /></span><span style="color: rgb(51, 0, 51);font-family:times new roman;font-size:130%;" >Aku hanya dapat mengingat masa itu, sebuah masa membangun hubungan cinta eksklusif, yang sering dinamakan orang sebagai PACARAN. Pacaran biasanya dianggap sebagai masa di mana kita akan memasuki jenjang pernikahan, kadang mirip dusta, kadang mirip coba; tapi, bagiku, lebih banyak hanya bisa bercita-cita.....<br /><br />"Dunia itu gila", kata pacarku.<br />Aku masih ingat malam itu, rabu jam dua dini hari, ketika bulan sudah lelah bertengger di atar rumah yang di dalam salah satu kamarnya banyak buku-buku.<br />"Tidak", kataku, "Jangan bilang seperti itu sebab ini tengah malam dan kalau kita ketahuan di rumah ini berduaan, maka oran-orang akan menggeropyok kita karena kita disangka kumpul kebo."<br />"Justru itulah yang aku maksud, bahwa banyak orang sudah gila karena mereka melarang kita bercinta di rumah ini."<br />"Soalnya mereka bukan kita", kataku. Lalu aku menciumnya.<br />Pacarku membalas ciumanku dan kami saling berpagutan, seakan melupakan malam.<br />Tapi tiba-tiba terdengar di luar langkah manusia yang berbunyi "srekk, srekkk..".<br />Pacarku bertanya, "Suara apa itu?"<br />"Itu suara sandal yang bergesekan dengan tanah di depan rumah kita."<br />"Sandal manusia atau…?"<br />"Mungkin sandal hantu."<br />"Sandal orang gila!!", katanya ketus.<br />"Ah, sudahlah. Mungkin sandal hantu arwah orang gila yang mati."<br />"Jangan bikin takut, dong!", katanya sambil mencubitku, lalu merapatkan pelukannya padaku. Dan kamu berciuman erat.<br />"Mau bercinta lagi?", tanyaku, sambil kuelus-elus lehernya hingga ke bawah dada.<br />"Sudah malam, ah."<br />"Salah kamu. Sebentar lagi pagi!"<br />"Dan matahari akan bersinar… lalu akan banyak orang-orang gila menjalankan aktivitasnya lagi. Kita juga akan menjalani ritualitas kita masing-masing."<br />"Jangan begitu dong, Sayang. Kalau semua orang gila mereka tidak akan bisa membaca dan memahami tulisan-tulisanmu."<br />"Hmmm…"<br />Dia memejamkan mata. Kupeluk tubuhnya di atas kasur yang berbaring di lantai rumah itu.<br />"Jam berapa sekarang?", tanyanya tiba-tiba.<br />"Jam setengah tiga. Sudahlah, kita tidur saja menanti matahari."<br />"Aku nggak bisa tidur."<br />"Mikir apa?"<br />Pacarku diam tidak berkata. Dia terpejam agak lama.<br />Aku bertanya: "Kamu tidur apa memikirkan sesuatu?"<br />Pacarku tidak menjawab.<br />"Pasti kamu memikirkan sesuatu… Ngomong dong!"<br />"Tidak. Aku tidak ingin gila!"<br />"Ah, sudahlah. Aku juga tak ingin, kok. Ya udah, tidur saja", kataku ketus dengan menyimpan rasa sedikit marah dalam hati. Lalu aku lepaskan pelukanku dari tubuhnya. Aku berbalik, memberikan punggungku untuk membelakanginya. Aku ingin tidur, lalu bangun dan melihat matahari yang pasti sudah muncul jam enam pagi. Sebab waktu itu musim kemarau.<br />"Kamu marah?", tanyanya tanpa merubah posisi tubuh sedikitpun, "Kalau marah kamu pasti melepaskan pelukanmu padaku. Kalau marah kamu selalu tidak mau menyentuhku. Bahkan kamu juga menjauh dariku dan tidak mau menemuiki, meskipun paling lama dua hari. Kalau marah kamu mirip orang gila.<br />Dia diam sebentar, lalu berkata lagi, "Huh, dasar. Sudah kubilang banyak orang yang gila. Dan kamu seperti anak kecil."<br />"Aku selalu gila jika kamu tidak menjawab pertanyaanku…", kataku enteng dengan mata masih terpejam dan posisi tubuh yang tidak berubah. Mungkin dia juga terpejam saat mengatakan ucapannya tadi.<br />"Akhir-akhir ini kamu seperti memikirkan suatu hal. Tapi ketika aku tanya tentang hal itu kamu selalu mengalihkan perhatian. Selalu diam, atau berkata 'sudahlah, sayang aku bisa menanggungnya sendiri!'. Itu memuakkan sekali. Itu mengingkari aku sebagai parar kamu."<br />"Aku tidak mengingkarimu."<br />"Kau mengingkariku dengan cara tidak pernah mendiskusikan suatu hal yang kau pikirkan."<br />"Kamu tidak suka membicarakan tentang hal yang aku pikirkan."<br />Kali ini aku membalikkan wajah dan badanku. Dengan agak mengangkat kepalaku aku berkata: "Apa kamu bilang?! Aku selalu baca tulisan-tulisanmu, esai-esaimu, puisi-puisimu, semuanya. Bahkan aku mengklipingnya… aku juga ingin membantumu menerbitkan sebuah buku…"<br />"Aku tidak mengingkari itu!"<br />"Lalu apa?", kuturunkan nada kataku. Aku agak ngantuk, pacarku nampaknya juga.<br />"Ini soal kita."<br />"Menurutku aku sangat mencintaimu. Aku juga mencintai tulisan-tulisanmu. Maksudku, aku juga suka apa yang kau sampaikan dalam tulisanmu, pikiranmu."<br />"Kau tidak tahu apa yang kupikirkan."<br />"Tahu."<br />"Apa?"<br />"..bahwa dunia gila. Aku membaca tulisanmu yang berjudul 'Kegilaan Modernitas' dan kuulangi berkali-kali. Tapi kukira modernitasnya yang gila, bukan orang-orangnya. Tepatnya mereka memiliki banyak pengalaman baru yang berbeda-beda. Kalau toh orang-orangnya gila, mungkin tidak sebagian, seperti orang yang tidak menyadari bahwa sandalnya menimbulkan suara keras di malam hari saat banyak orang tidur tadi. Dan bukankah ia tak tahu kalau kita mendengarkan? Tahukah ia kalau kita baru saja bercinta?.. mungkin ia tidak peduli, bahkan dengan suara sandalnya sendiri. Kukira ia tergesa-gesa karena ia pulang larut malam dan istrinya sudah menunggu diranjang."<br />"Dia punya istri, istrinya punya suami. Mereka pasti saling peduli", ucapnya.<br />Lalu pacarku diam.<br />Aku menatap wajahnya, matanya terpejam. Aku juga diam; tapi aku sedang mengira-ngira apa yang sebenarnya dipikirkan pacarku, dan apa yang sedang terjadi. Aku masih menatap wajahnya, dan tanganku memeluk dia yang berbaring dan terpejam. Kupandangi wajah pacarku, ia kelihatan cantik sekali. Saat terpejam bulu matanya nampak panjang. Aku mencintainya… aku mencintainya… selamanya, batinku penuh kejujuran.<br />Lalu aku mencium pipinya, lalu telinganya.<br />Ia diam. Nampak memikirkan sesuatu. Lalu dengan jelas ia berkata sebelum membalikkan badannya membelakangiku: "Kita yang sebenarnya gila!"<br />Aku diam. Kupikirkan apa maksud perkataannya. Sudah berkali-kali malam itu dia mengatakan tentang suatu kegilaan. Orang-orang gila! Semua orang gila! Sandal orang atau hantu gila! Modernitas gila! Lalu, 'kita gila'. Aku dan dia gila! Dunia itu gila! Aku tidak habis pikir tentang hal ini. Aku tidak tahu apa maksudnya.<br />Sayangnya aku sudah mengantuk sekali. 'Dunia gila' aku bawa ke dalam mimpi. Aku tidur kira-kira jam setengah empat saat aku juga tidak tahu apakah pacarku sudah tidur apa belum. Mungkin aku sangat lelah: sepulang dari lembur jam sepuluh malam aku langsung ke rumah karena aku tahu pacarku sudah menunggu di sana tanpa sepengetahuan para tetangga. Aku datang tergesa-gesa untuk menemuinya. Ketika aku tiba, ia sedang menghadapi labtopnya di kamarku yang banyak buku-buku. Lalu kami makan bersama dan setelah itu aku lupa, mulai jam berapa kami bercinta.<br /><br />Ketika jam 10.00 pagi aku bangun, pacarku sudah tak ada di sampingku. Kutemukan selembar kertas bertuliskan: "HANYA ORANG GILA YANG BERCINTA TIAP WAKTU TANPA SEGERA MEMBICARAKAN PERNIKAHAN!"<br />Juga kuraih dan kubaca koran hari itu yang sudah ada di kamarku. Kucari apakah tulisan pacarku dimuat hari itu.<br />Ternyata tulisannya dimuat, aku baca namanya di bawah tulisan yang menjadi judul artikel pada lembaran koran itu: "Kegilaan Modernitas Vs. Revitalisasi Tradisi". Di bawah tulisan itu kubaca identita penulis: "Penulis adalah perempuan umur 25 tahun yang ingin segera dinikahi pacarnya".<br />Aku tersenyum dalam hati.<br />Kubanting koran itu di atas meja.<br />Aku akan menelpon pacarku dan akan kuajak menikah. Secepatnya!<br /></span><span style="color: rgb(51, 0, 51);font-family:times new roman;font-size:130%;" ><br /></span><span style="color: rgb(51, 0, 51);font-family:times new roman;font-size:130%;" >* Yogyakarta , 8 April 2005</span>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-88800061264362479132007-08-21T00:25:00.001-07:002007-08-21T11:38:11.913-07:00(Puisi): COBA, TANYA PADA BOURJUIS!!!<span style="color: rgb(51, 0, 51); font-style: italic;font-size:130%;" ><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Oleh: Nurani Soyomukti</span><br /><br /><br />Coba, tanya pada borjuis: "Kenapa tuan tidak membayar kami secara layak? Kenapa perusahaan ini tidak dinasionalisasi saja, terus diolah dan dikontrol bersama—biar anak cucu kita sama-sama enak, dan tidak ada cekcok lagi dalam sejarah kita?"<br /><br />Jika dia menjawab: "Memang ini perusahaan Mbahmu?!!"…<br />maka Tanya lagi: "Maaf, bisakah tuan memberitahukan tanggal bulan dan tahun berapa Mbah tuan mematoki tanah pabrik ini dan mengaku telah memiliki?"<br />Jika dia jawab: "Mbahku membelinya dari lurah yang menguasai tanah ini, dari jerih payahnya"…<br />Maka Tanya lagi:<br />"Lalu, tanah siapa dulu ini sebelum Pak Lurah itu bertempat tinggal di sini? Dan bagaimana tuan bisa mengatakan bahwa kekuasaannya adalah jerih payahnya sendiri? Tidak adakah keringat, darah, dan air mata dan tenaga orang-orang desa yang membabat hutan bersama-sama? Lalu kenapa hutan yang kini menjadi gedung-gedung dan mesin-mesin ini menjadi milik pribadi? Bukankah semuanya semula dikerjakan oleh banyak orang secara bersama, menghadapi binatang galak bersama, menghadapi angin dan hujan bersama.. lalu bersama-sama pula keinginan untuk menyejahterakan anak cucu menghinggapi hati dan pikiran kita?<br />"Bukankah kita sama-sama manusia yang pasti memiliki keinginan sama (universal), yaitu ingin melangsungkan kehidupan dengan cara dapat makanan, rumah, pakaian, dan kesehatan, pendidikan, serta menurunkan keturunan yang akan mewarisi dunia?"<br /><br />Kalau dia masih saja menjawab: "Tidak bisa, aku yang saat ini berkuasa. Dan yang kau jlenterehkan itu tidak mungkin kuterima, karena aku punya kekuasaan untuk bicara lain pada orang banyak juga!"…<br /><br />Maka jangan jawab lagi kekasihku!<br />Diam, dan bergegas pergi darinya.<br />Lalu datangi Kawan-kawan yang nasibnya sama denganmu.<br />Kumpulkan mereka, ceritakanlah tentang kebenaran sejarah ihkwal asal-usul sejarah manusia.<br />Katakan bahwa dongeng yang dibuat raja-raja dan pujangga-pujangganya adalah kebohongan belaka.<br />Katakan pada mereka bahwa kalian akan dapat merubah nasib kalian sendiri jika memahami asal-usul sejarah itu.<br />Dan katakan pada mereka, bahwa yang penting adalah bertindak dan bersatu menggalang kekuatan.<br />Sebarkan kebenaran sejarah asal-usul kehidupan itu kepada semua orang.<br />Lawan kebohongan borjuis itu bersama kawan-kawanmu, mendekati semua orang yang kau jumpai di rumah kontrakan, di pasar-pasar, terminal-terminal, stasiun, masuklah ke sekolah-sekolah:<br />Dekati para pelajar, dorong mereka baca buku dan mendiskusikan ilmu sejarah secara benar.<br />Ajak mereka mendukung perjuanganmu, suruh mereka meneriakkan kebenaran dengan cara menulis buku sejarah yang benar.<br />Sebarkan buku-buku sejarah yang benar!<br />Dorong mereka bertindak dan berteriak lantang di hadapan borjuis.<br />Tulari mereka dengan keberanianmu.<br />Ceritakan pada mereka, bahwa kamu pernah bertanya pada borjuis itu—dan setelah tahu bahwa kamu tidak digubris kamupun tetap berani untuk membangun sejarah yang baru.<br />Ceritakan itu, ceritakan sesering-seringnya: Bahwa awalnya bumi ini bukan milik siapa-siapa, lalu ada yang mengklaim bahwa itu miliknya dan orang lain tidak boleh merasa memiliki, tetapi harus bekerja sebagai pembantu dan kuli.<br />Katakan bahwa perebutan dan perampasan itu adalah sebab-sebab kenapa manusia selalu cekcok, ada yang mengatasnamakan bangsa, agama, warna kulit, suku, dan tanda-tanda.<br />Bukankah tanda-tanda hanyalah penjelas keberadaan yang hakiki: bahwa kalau tidak hidup, semua mahkluk akan mati. Bahwa kalau tidak mendapatkan makanan, entah beragama A atau B, semua makhluk akan mati. Bahwa kalau tidak mendapatkan kesehatan, semua makhluk akan sakit-sakitan; bahwa kalau tidak mendapatkan rumah, semua akan kedinginan dan kepanasan; bahwa kalau tidak dididik, semua akan bodoh.<br /><br />Katakan pada pelajar-pelajar itu bahwa: apakah guna kepintaran kalian kalau semua orang dapat bersekolah, apa kegunaan ilmu kalian jika semua orang tidak bisa lagi dibohongi dengan pelajaran yang kalian dapat?<br />Dan apa kesan kalian jika masih banyak orang yang tidak bisa sekolah? Apakah kalian masih menginginkan menjadi pintar untuk memintari orang lain yang bodoh? Apakah kalian akan menggunakan ilmu itu untuk membantu borjuis dalam membohongi kami?<br /><br />Jika mereka mengerti, tagih pemahaman mereka menjadi tindakan.<br />Tagih pengetahuan mereka untuk dikonkritkan!<br />Maka ajak mereka untuk mendidik semua orang membongkar kebohongan sejarah.<br /><br />Dan jika semua orang telah mengerti dan menghendaki:<br />Rebutlah sejarah!<br />Singkirkan tatanan borjuis!<br />Ganti dengan yang baru:<br />Tatanan sejarah kemanusiaan dan kebenaran!<br />Kehendak sejati sejarah muara sejati kemanusiaan sepanjang jaman...!!!</span><span style="color: rgb(51, 0, 51); font-style: italic;font-size:130%;" ><br /><br /><br /></span><span style="color: rgb(51, 0, 51); font-style: italic;font-size:130%;" >Mei, 2006</span>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9056875845032694236.post-67882410750790220212007-08-20T23:24:00.000-07:002007-08-21T11:49:48.126-07:00(Puisi): TERMINAL KESEKIAN<span style="color: rgb(51, 0, 51); font-style: italic;font-size:130%;" ><br /></span><span style="color: rgb(255, 102, 0);font-size:130%;" >Oleh: Nurani Soyomukti</span><span style="color: rgb(51, 0, 51); font-style: italic;font-size:130%;" ><br /><br />kemana larinya bus-bus itu…<br />seorang gadis manis di dalamnya yang berkeringat bahkan tidak bisa menjawab.<br /><br />kemarin seorang wanita tua mencari anaknya yang diculik orang dari kota lain<br />tapi masih belum akan terungkap rahasia tentang siapa yang pertama kali memaksa orang-orang harus banyak mengeluarkan keringat<br />darah<br />dan air mata<br />hanya seorang sopir tua yang paling dapat mengenali air mata es apukat<br />ditatapnya pula banyak kendaraan beroda empat yang berkeringat.<br />waktu itu tahun 1998,<br />awal Mei yang membuat orang dengan bebasnya membuat kesimpulan<br />tentang suara keroncongan dalam perutnya pada pukul 11 siang.<br /><br />kini memang terpaksa seorang pengembara mampir kembali.<br />untuk mendengarkan kata-kata yang wajar untuk memperebutkan penumpang<br />Senin, bulan Maret 2005, mentari panas masih memantul di kening mereka,<br />keringat mengalir seperti solar yang harganya telah naik<br />"Segera akan terungkap siapa pelaku sejarah sebenarnya" bisik salah seseorang di sebuah warung yang ingin menikmati nasi pecel ibu tua<br />yang harganya masih murah—dan itu adalah satu-satunya kesempatan hidup yang tersisa.<br />seperti terbayang dan terdengar kembali bisikan Lenin<br />yang seakan baru pergi naik angkutan yang keluar dari terminal itu lima menit sebelumnya.<br /><br />dan memang terpaksa seorang pengembara harus pergi dari sebuah warung kopi<br />tiba-tiba ia kembali diperebutkan,<br />diseret oleh tiga orang kenek<br />bagai para elit yang masih berebut jabatan.<br /><br />"Andai aku bisa membelah diri, aku akan membagi tubuhku menjadi tiga<br />dan akan kubiarkan saja mereka pergi ke mana saja…", bisiknya.<br />dan mesin-mesin menderu lebih keras<br />menegaskan bahwa juga terjadi kenaikan bagi tarif angkutan<br />disesuaikan juga dengan harga beras.<br />—sebab, mulai siang itu, keringat semakin mengalir deras.<br /></span><span style="color: rgb(51, 0, 51); font-style: italic;font-size:130%;" ><br /></span> <span style="color: rgb(51, 51, 255); font-style: italic;font-size:130%;" >(Trenggalek, Januari 2006)</span>Catatan Budaya Nuranihttp://www.blogger.com/profile/11377786838465654318noreply@blogger.com0